cinta dalam jas putih

Kehilangan



Kehilangan

0"Sayang " panggil yoga pada nita ketika dia akan berjalan menuju ke suatu ruangan.     

"Kamu mau kemana? "     

Nita menghentikan langkahnya dan tersenyum ke arah yoga, "aku mau ke kamar axel, memberitahukan makan malam sudah siap "     

Raut wajah yoga berubah, dia bergegas beranjak dari duduknya menghentikan kegiatannya membaca laporan yang andien kirimkan di emailnya. Langkah kakinya pasti menuju ke arah nita.     

"Kamu pasti sedih sekali " ucap yoga seraya memberi usapan lembut di pundak nita, "axel sekarang ini sedang bersama elsa di rumah sakit "     

Yoga sebenarnya begitu berat mengucapkan hal tersebut, dan mencoba mengatakannya dengan baik.     

"Ya ampun, aku lupa! " nita memperlihatkan wajah yang penuh dengan keterkejutan, satu tangannya menepuk pelan keningnya.     

"Bagaimana aku bisa jadi sepelupa ini! " lalu nita kembali berucap, "untung aku diberitahu, aku masih belum terbiasa ditinggal oleh axel "     

Yoga tersenyum memeluk nita dari belakang, "lihat bagaimana kamu begitu menyayangi dan telah terbiasa dengan kehadiran axel, aku bersyukur sekali telah dipertemukan denganmu,, "     

"Tidak ada satu hal pun yang membuatku marah dari semua tindakanmu " sambung yoga, "hanya ada satu hal yang membuatku khawatir saja! "     

Nita mengernyit, "khawatir? tentang apa? "     

Yoga tersenyum lebar, "khawatir pada semua orang yang dekat denganmu, ketakutan mereka akan curang dan membawamu pergi "     

"Ada-ada saja! " cetus nita dengan tawa kecilnya, tetapi di wajahnya terlihat tidak semenyenangkan tawanya.     

"Kenapa? "      

"Aku merasa jantungku berdebar lebih cepat sedari tadi " jawab nita.     

"Mungkin kamu kelelahan " yoga membawa nita bersamanya ke tempat tidur, "kamu harus banyak istirahat "     

Yoga menyelimuti nita, "tidurlah, atau kamu mau aku buatkan susu? teh hangat? atau mau aku bawakan cemilan? "     

"Atau,,, aku potongkan buah kesukaanmu? "     

"Tidak mau " nita menggelengkan kepalanya, satu tangannya lalu melingkar di pinggang yoga.     

"Peluk aku saja! " lalu nita menyebutkan permintaannya, dia menyembunyikan wajahnya di dada yoga.     

Yoga tertawa senang mendengarnya, jika nita sudah berkata dengan nada manja dan bertingkah seperti seorang gadis kecil itu membuatnya merasa menjadi laki-laki satu-satunya yang harus memberikan perlindungan.     

"Hahh,, aku tidak tahu kenapa aku selalu suka ketika kamu manja seperti ini! " ucap yoga pelan.     

Dia lalu mengusap rambut nita dan sesekali menciumnya, hal yang sangat dia sukai ketika berada di rumah adalah memeluk nita. Yoga harus memastikan nita merasa nyaman dalam pelukannya itu.     

"Kamu cantik sekali ketika sedang tertidur pulas seperti itu! " yoga tersenyum memperhatikan wajah nita yang tertidur di pelukannya. Dia memastikan nita nyaman saat tertidur, membenarkan posisi bantal dan selimut yang dipakainya.     

Ponselnya yang tersimpan di meja disamping tempat tidurnya berdering ketika yoga mencoba membetulkan posisi kepala nita, kali ini dia sudah seperti seorang ayah yang berusaha agar tidak membuat tuan putri disampingnya tidak terbangun.     

Yoga turun dari tempat tidurnya ketika nama dion terlihat di ponselnya, menghubunginya.     

"Ada apa? "     

"Dokter maaf saya mengganggu " ucap dion, "tapi harus ada yang saya sampaikan, tadi siang semua anggota komite keperawatan mengadakan rapat dihadiri direktur. Dia menyarankan kami membuat sebuah pelatihan mengupdate ilmu kesehatan untuk semua kepala ruangan "     

"Karena dokter sebagai ketua komite saya meminta saran dokter "     

"Pelatihan seluruh kepala ruangan? " yoga berkata pelan, "kamu mau mengambil siapa sebagai narasumber? "     

"Dokter kim dan tiga dokter spesialis kita termasuk dokter sendiri "     

Yoga tidak lantas menjawab, dia tengah memikirkan sesuatu hal yang sepertinya sangat dia mengganggunya.     

"Kamu sudah dapatkan data berapa jumlah kepala ruangan laki-laki dan perempuan? " lalu yoga bertanya kembali.     

"Saya tidak menghitung itu dokter " jawab dion, "kenapa dokter? "     

Yoga sedikit berpikir dengan menggaruk keningnya, "kamu hitung saja terlebih dulu, saya hanya ingin kamu memisahkan pelatihan kepala ruangan wanita dan laki-laki dengan begitu akan lebih efektif "     

"Dan untuk narasumbernya lebih baik atur saja sesuai dengan pemisahannya, dokter laki-laki untuk kepala ruangan laki-laki dan dokter wanita untuk kepala ruangan wanita "     

"Apa harus seperti itu dokter? " sepertinya kali ini dion mulai kebingungan, pemisahan seperti ini hal pertama yang pernah ada.     

"Bukannya kamu meminta pendapatku sebagai ketua komite? " yoga balik bertanya, "saya sudah menetapkan peraturan seperti itu jadi menurutmu apa yang salah? "     

Dion terdiam sejenak, sepertinya dia memang mulai kebingungan. Memang tidak pernah ada yang salah jika seorang ketua sudah memberikan sebuah instruksi.     

"Dokter sepertinya kita kekurangan dokter wanita, jika dokter menginginkan pemisahan seperti itu " ucap dion pelan disertai canggungnya, "saya sedikit kebingungan "     

"Nanti aku carikan! " yoga memberikan jalan keluar yang justru membuat dion semakin bingung, "lakukan saja pendataannya atau tidak akan ada pelatihan! "     

Suasana hening sejenak, sepertinya dion sedang menangis atau mengumpat dalam hatinya karena perintah yoga itu.     

"Baik dokter " lalu ucapan terakhir dion pun terdengar sebelum dia mengakhiri pembicaraannya dengan yoga di telpon.     

Setelah yoga selesai menyimpan ponselnya di tempat semula dia kembali menghampiri nita yang tertidur.     

"Telpon dari siapa? " tanya nita dengan matanya yang masih terpejam, akan tetapi kedua telinganya dapat mendengar yoga berbicara dengan seseorang.     

"Dion " yoga melingkarkan satu tangannya di pinggang nita, "dia meminta persetujuanku untuk melakukan pelatihan pada seluruh kepala ruangan sesuai arahan direktur "     

"Lalu? "     

"Aku setuju saja " jawab yoga, "tapi aku minta pendataan terlebih dahulu berapa jumlah kepala ruangan laki-laki dan perempuan "     

"Untuk apa? "     

"Aku setuju pelatihan jika di adakan pemisahan kepala ruangan laki-laki dan perempuan, dan narasumbernya pun harus sesuai dengan pemisahan tersebut "     

Nita seketika membuka matanya dan memaksakan diri untuk tidak menahan tawanya ketika dia masih merasakan kantuk.     

"Atas dasar apa pemisahan seperti itu dilakukan? "     

Wajah lelah, kantuk, dan kebingungan berbaur di terlihat semuanya pada nita.     

Yoga berpikir sejenak, "aku juga tahu cerita tentang kepala ruangan yang berpura-pura pelatihan tapi mereka selingkuh! "     

"Alasan sudah nyaman dengan teman satu profesi! jadi aku tidak mau itu terdengar lagi "     

Nita menutupi senyumannya dengan kedua telapak tangannya, dan lalu memainkan pipi yoga.     

"Tidak semuanya seperti bapak ketua komite yang terhormat " ucap nita.     

"Tapi mencegah itu bukannya lebih baik " yoga tidak ingin kalah argumen dengan nita kali ini.     

"Sekalian saja buat pesantren " ucap nita.     

Yoga tertawa mendengar tanggapan nita tentang rencananya kali ini.     

"Kasihan dion! " cetus nita, "pimpinannya selalu membuat perintah yang diluar kebiasaan! "     

"Kalau ngerjain anak orang itu jangan tanggung-tanggung! " celetuk yoga mempertahankan argumennya.     

Nita tertawa seraya menggelengkan kepalanya, "baru kali ini aku dengar ada pelatihan di tempat kita terpisah laki-laki dan perempuan! "     

"Ini baru kan? " yoga berekspresi datar, "karena aku yang pertama membuatnya dan akan seperti itu seterusnya! "     

Dia bukan tanpa dasar menginginkan peraturan seperti itu kali ini, ternyata rasa takutnya mulai merubah pemikirannya yang terdahulu tidak menghiraukan hal seperti ini. Karena pikirnya nita adalah kepala ruangan baru tentu saja belum banyak orang yang mengenalnya, akan tetapi dia merasa lebih baik nita tidak dikenal siapapun terlebih kepala ruangan berjenis kelamin laki-laki.     

Jauh dari tempat ayah dan ibu sambungnya, axel yang terbangun dari tidurnya memandangi ibu kandungnya yang terlelap dengan wajah pucatnya namun masih terlihat senyuman.     

"Ibu cantik sekali " ucap axel pelan, karena pelukan ibunya itu telah terlepas dia perlahan turun dari tempat tidur.     

Dia berjalan menuju ke arah ruang terpisah yang masih berada di dalam kamar perawatan karena mendengar suara seseorang.     

"Paman arga " ucap axel pelan, dia tidak mau suaranya itu mengganggu dokter arga yang tengah melakukan ibadah solat.      

Axel melihatnya terduduk setelah melakukan sujud, dan menolehkan wajahnya ke arah kanan dan kiri. Terlihat olehnya kini dia menengadahkan tangannya dan berdoa.     

"Axel " dia memanggilnya setelah selesai melakukan doa, beranjak dari duduknya lalu merapikan sajadah yang telah dipakainya.     

"Kamu pasti lapar " ucapnya, "kamu mau paman belikan apa di kantin? "     

"Paman mau mentraktirku? "      

Tawa kecil muncul di bibir arga, "tentu saja, kamu ada nasi goreng paling enak di kantin "     

"Boleh " axel menganggukan kepalanya, "apa paman sedang mendoakan ibu tadi? "     

Arga tersenyum mengusap dengan lembut pundak axel, "tentu saja kita semua berdoa untuk kesembuhan ibumu "     

"Terima kasih " ucap axel.     

Axel merasa laki-laki baik dihadapannya itu memang sangat cocok untuk ibunya karena dia selalu mendoakannya.     

"Aku akan tanya ibu apa dia juga lapar "      

"Ayo kita tanya sama-sama " arga menggandengnya untuk berjalan bersama menuju ke arah elsa yang masih terbaring di tempat tidurnya.     

"Ibu,,, " axel berkata seraya memegang pipi elsa.     

"Apa ibu lapar? paman arga akan membeli makanan "     

Axel terdiam sejenak, dia merasakan pipi ibunya itu terasa dingin.     

"Paman " lalu dia menoleh ke arah arga, "kenapa ibu menjadi dingin seperti ini? "     

"Ibu! " dia lalu mengguncangkan tubuh ibunya itu perlahan agar dapat merespon suaranya dengan membuka matanya.     

"Coba paman lihat " arga pun awalnya memegang pipi elsa, dan lalu berpindah ke pergelangan tangan untuk melakukan pemeriksaan denyut radial. Setelah beberapa waktu tangannya berpindah ke leher elsa untuk melakukan pemeriksaan denyut karotis.     

Raut wajahnya mulai berubah, dia secara bergantian menoleh ke arah axel dan elsa.      

Axel dapat menangkap kekhawatiran dari arga ketika sedang melakukan pemeriksaan pada ibunya itu, jantungnya mulai berdetak dengan kencang. Dia mematung sambil memandangi sosok ibunya yang belum juga membuka matanya...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.