cinta dalam jas putih

Dua generasi



Dua generasi

0Nita memandangi dirinya sendiri di sebuah cermin di dalam lift, hanya dia sendirian. Menertawakan dirinya karena begitu nekat memperlihatkan sebuah ciuman walaupun di sebuah pipi di depan yoga.     

"Berani sekali kamu! " Nita berucap pada dirinya di cermin dengan kedua alisnya yang naik turun.     

Karena dia merasa laki-laki membutuhkan pengakuan sama seperti wanita, Nita hanya ingin membuktikan bahwa cinta pertama memang mengesankan tetapi cinta yang kedua lebih menyenangkan. Siapa yang bisa lebih cepat keluar dari masa lalu dia yang akan paling awal untuk bahagia.     

Lift terbuka ketika tepat di lantai enam, sudah berdiri sosok Dion yang telah berpakaian rapi dan membawa tas yang berisi laptop miliknya.     

"Aku baru saja mau memberitahumu, dokter yoga mengajakmu untuk sarapan.. " Nita mengurungkan niatnya untuk keluar dari lift karena sudah lebih dulu masuk.     

"Dokter yoga sudah menelpon saya tadi untuk menunggu ibu, tapi saya memutuskan untuk menunggu di lift saja "     

Mereka berdua di dalam lift terdiam, dan Nita kebingungan untuk bicara apa supaya laki-laki itu tidak tersinggung.     

"Dion.. " panggil Nita pelan.     

Dion menoleh ke arah Nita, "ya? "     

"Boleh saya bertanya tentang hal yang sedikit pribadi? " Nita terlihat berhati-hati membicarakannya, "itu juga kalau kamu tidak keberatan.. "     

"Tentu saja tidak bu " jawabnya "apa yang mau ibu tanyakan? "     

Dion sebenarnya lebih suka memanggil namanya saja jika diijinkan, tapi statusnya sebagai istri dari atasannya membuat dia mau tidak mau harus memanggil wanita yang lebih muda darinya itu ibu.     

"Apa kamu tidak keberatan jika aku memperkenalkanmu dengan seseorang yang sudah lama ingin mengenalmu? "     

Dion tersenyum, "kenapa tidak, saya suka mempunyai banyak teman apalagi diluar profesi saya, jadi kami bisa bertukar dan berbagi ilmu baru "     

"Ya.. " senyum Nita seraya menganggukan kepalanya, dalam pikirannya mungkin akan lebih baik jika mereka saling mengenal terlebih dahulu sebagai seorang teman. Lagipula keinginan yang begitu menggebu-gebu dari Erin sekarang ini hanya karena dia mengagumi sosok fisiknya saja. Kekaguman itu bukan berarti akan menimbulkan cinta, dan jalan keluarnya adalah membiarkan Erin lebih mengenal sosok pria pujaannya.     

"Ibu mau memperkenalkan saya dengan siapa? " Kali ini Dion menjadi begitu penasaran, jika kepala ruangannya saja baik dan sopan seperti ini pasti semua bawahannya akan mengikuti sikap yang sama dengan pimpinan mereka.     

"Bidan Erin, rekan kerja diruang ponek, dia baik, lucu, ngegemesin, besar... "     

Nita sedikit memikirkan kata yang lebih sopan tidak membawa-bawa fisik Erin, "berbesar hati maksud saya.. "     

"Kamu pasti mengenalnya karena kalian pernah bertemu.. " Nita melanjutkan perkataannya dia begitu kesulitan membicarakannya, ternyata lebih mudah berkomunikasi dengan keluarga pasien menerapkan komunikasi efektif tentang kesehatan daripada tentang percintaan yang dia sendiri tidak memiliki pengalaman sama sekali.     

"Kalian pernah bertabrakan beberapa waktu ke belakang.. " Nita sedikit mengingatkan kejadian yang walaupun sebenarnya akan membuat dia malu , tapi hanya itu momen terbaik yang akan mengingatkan dia pada Erin.     

"Oh, iya Bu saya ingat. Jadi dia itu bidan Erin " Dion tertawa ketika mengingat kejadian itu.     

"Boleh saya minta nomor telponnya, bu? " Dion begitu antusias, "saya suka ketika dia bicara begitu lucu.. "     

"Benarkah? " Nita bukan main begitu senang, padahal yang akan berkenalan itu bukan dirinya tapi serasa dia yang menjadi pemeran utamanya kali ini.     

"Nanti aku kirimkan nomornya " ketika Nita bicara pintu lift mereka terbuka.      

"Silahkan, bu.. " Dion mempersilahkan nita untuk berjalan lebih dulu, dan dia mengikuti dari belakang.     

Dia memandangi langkah nita di depannya, wanita dihadapannya itu benar-benar memiliki satu pemikirannya yang sama dengan suaminya. Menganggap semua stafnya sebagai teman dalam bekerja sama untuk mencapai satu tujuan.     

Nita tersenyum ke arah yoga dan Axel yang duduk bersama dengan Wildan.     

"Berhasilkah? " Tanya yoga pelan ketika nita sudah mengambil tempat duduk di sampingnya.     

Nita tersenyum lebar ke arah yoga, "ternyata dia menyukai Erin, jadi tugasku sudah selesai.. "     

"Terima kasih " nita memegang satu tangan yoga dan pandangan berbinar karena terlalu senang dia perlihatkan pada yoga.     

"Oppa dokter sudah membantuku, jadi aku sangat berterima kasih. Karena setelah ini telingaku akan hening dari kegaduhan erin! " Nita membicarakan hal itu dengan sedikit berbisik di telinga yoga.     

Di beri bisikan lucu seperti itu membuat yoga tertawa kecil, istrinya ini selalu senang jika setiap orang dibantunya itu telah berhasil. Seolah-olah dia sendiri yang mendapat keberhasilan itu.     

Dari sudut mata wildan yang terduduk disamping axel yang begitu lahap menyantap sarapannya bersamanya, terlihat kebahagiaan yang di dapat dari kedua orang yang di sayangnya itu. Dia baru pertama kali melihat sang paman tertawa begitu lepas ketika bersama dengan nita. Kebahagiaan yang membuatnya sesak dan menjadi orang yang sangat tidak beruntung di dunia.     

"Apalagi? " Nita menerima telpon dari Aline ketika dia baru saja selesai sarapan dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.     

"Ibuuu..! " Lagi-lagi teriakan erin yang dia dengar, dia masih meminjam ponsel milik aline untuk menelponnya.     

"Kamu menginap di rumah aline? " Tebak nita.     

"Iya, bu "     

"Kenapa? " Nita teraneh dan memutuskan untuk menanyakan alasannya.     

Terdengar tawa Erin, "supaya belajar hemat bu, siapa tahu kalau aku makan sedikit, jajan sedikit, ngemil sedikit bisa berubah.. "     

Nita tertawa kecil mendengar alasan yang diungkapkan Erin, "Aline tidak keberatan? "     

"Tidak apa-apa!! " Terdengar teriakan Aline menjawab pertanyaannya, "kalau dia minta di gendong baru aku akan keberatan! "     

Lalu tawa yang tidak tertahankan muncul, Nita tertawa mendengarkan jawaban Aline yang semenjak satu tim dengan Erin menjadi pribadi yang humoris.     

"Ihh, kak Aline aku tahu diri juga kali " terdengar perselisihan mereka di ponsel Nita.     

Ketika sedang berbicara dengan kedua rekannya itu, Nita dikejutkan oleh pelukan dari arah belakangnya. Dia memberikan isyarat pada yoga untuk tidak bersuara, yoga lalu ikut mendengar pembicaraan mereka.     

"Kak Dion mengirimkan pesan singkat padaku bu.. " Erin berkata hampir berteriak karena tidak dapat menahan rasa senangnya.     

Kali ini yoga yang tertawa tanpa suara mendengarkan teriakan erin.     

"Tunggu apa lagi, cepat balas ini kesempatan. Ingat balasnya jangan pakai lebay! " Nita memberikan saran pada erin, "jangan terlalu dibuat-buat, jadi diri kamu sendiri saja.. "     

Yoga tersenyum mendengar ucapan istrinya itu pada Erin, dia dengan sangat terbuka pada rekannya dan memberikannya nasehat selayaknya seorang kakak pada adiknya.     

"Iya, bu. Tapi... "      

"Kenapa? Sudah bosen? Atau lihat laki-laki keren yang lain? " Nita menebak-nebak.     

"Bukan " Erin menyanggah tebakan Nita padanya, "babang Dion tetep jadi pujaan erin! "     

"Itu... " Terdengar tawa Erin sebelum melanjutkan ucapannya, "kuota erin tiba-tiba habis! "     

Krikk,,, krikk,,, krikk,,,     

Mendengar alasan Erin itu seketika membuat Nita bengong, tidak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya itu.     

Sedang yoga terkekeh menenggelamkan wajahnya di pundak Nita agar supaya tawanya tidak terdengar oleh Erin. Dia menertawakan ekspresi lucu Nita yang menanggapi jawaban anak buahnya, beruntung saja istrinya itu kuat jika dia yang berada di posisi Nita dia pasti sudah membanting ponselnya itu begitu mendengar jawaban Erin.     

"Jadi kamu mau aku isiin pulsa juga? "      

"Jangan bu, malu Erin.. " jawabnya, "dirumah kak Aline kan ada WiFi gratis jadi aku menginap disini saja.. "     

"Gak bermodal nih, udah nyusahin aku dengan menguasai seluruh tempat tidur milikku minta WiFi gratis lagi! " Suara aline lagi-lagi terdengar ketus dibelakangnya.     

"Solidaritas kak.. " Erin membuat alasan klasik persahabatan ketika dia minta bantuan.     

Nita tertawa kecil, "kalian siap-siap kena mutasi ke washrey ya.. aku kan tadi sudah bilang jangan telpon hari ini, aku mau menikmati liburan! "     

"Aduh, ibu jangan... " Terdengar suara rengekan Erin.     

"Aku tutup deh bu telponnya, selamat berlibur ibuku sayang.... "     

Lalu telponnya terputus begitu saja, karena mendengar ancaman dari kepala ruangannya itu.     

Yoga menertawakan semua ancaman yang di ucapkan istrinya itu, kejam tapi tidak mungkin akan terjadi pada kedua stafnya itu. Tidak mungkin juga seorang bidan dipindah tugaskan ke bagian pembersihan alat linen seluruh ruangan di rumah sakit.     

"Jangan tertawa! " Cetus Nita, dia melihat ke arah jam di dinding kamar hotel.     

"Setengah jam lagi kan acaranya dimulai.. " lalu dia berbalik ke arah yoga, saat ini mereka berhadapan. Dia menerawangkan pandanganny ke seluruh penjuru kamar.     

"Axel dimana? " Tanyanya ketika tidak dapat menemukan sosok Axel di kamarnya.     

"Ikut dengan Wildan, tadi dia mengajak Axel ke tempat bermain anak-anak.. "     

Nita menganggukan kepalanya, "cepat mandi, bau keringat habis olahraga tahu! "     

Nita mencium kaos yang masih dipakai yoga, walaupun harum parfum yang dipakainya masih mendominasi walaupun telah melakukan olahraga.     

"Setengah jam lagi kan? " Tanya yoga, tatapan matanya mulai terlihat lain sekarang terlihat seperti sebuah tatapan singa yang siap menerkam mangsanya.     

"Ayo, mandi. Bau! " Nita mendorong tubuh yoga untuk berjalan ke arah pintu kamar mandi, dia lalu membukakan pintu kamar mandi untuk suaminya itu.     

Yoga tersenyum diperlakukan seperti itu, tidak membuang waktu dia melangkah ke dalam kamar mandi dengan satu tangannya yang membawa Nita ikut masuk ke dalam kamar mandinya lalu menguncinya, agar dia tidak dapat melarikan diri darinya.     

***     

"Ibu menelpon ketika kamu menyusul Dion "      

"Apa yang ibu bicarakan? " Tangan-tangan nita masih sibuk mengancingkan kemeja batik berwarna navy.     

Dia kembali memandangi yoga dari atas ujung rambut ujung kaki, memastikan penampilan suaminya itu terlihat sempurna.     

"Gagah sekali suamiku ini.. " dia memainkan kedua tangannya di pipi yoga.     

Yoga kegeeran di puji seperti itu oleh Nita, semua penampilan terbaiknya ini istrinya lah yang mengatur. Dia pandai membuat penampilan yoga menjadi tidak terkesan kuno tapi tidak berlebihan, tetap sopan dan dia nyaman memakainya.     

"Ibu akan menunggu di lobi hotel ketika acaranya dimulai.. " yoga mengambil sebuah lipstik yang tersimpan di atas meja.      

"Aku suka kamu memakai lipstik ini " yoga memoleskannya di bibir Nita dengan hati-hati, dia sering melihat Nita ketika istrinya itu sedang bersolek.     

"Warnanya sangat cocok dengan kulitmu, membuat kesan alami dan terlihat seksi! "     

Nita tertawa kecil, dia mengusap kemeja suaminya itu di bagian pundaknya.     

"Axel titip saja pada wildan, sesekali kamu dan ibu menghabiskan waktu berdua " yoga memberikan kesempatan pada istrinya itu untuk menghabiskan waktu bersama ibu kandungnya lebih leluasa tanpa harus mengawasi Axel. "     

Nita tersenyum lebar, dia terlihat memasukan pakaian milik Axel kedalam tas karena dia tahu putranya itu pasti belum mandi.     

"Tidak apa-apa, mengawasi axel bukan pekerjaan berat hanya pakai mata sama hati. Axel aku ajak ya sayang.. "     

Yoga tertawa kecil, membantu istrinya itu menyisir rambutnya yang terurai begitu indah, semua yang dia lihat darinya indah, semua yang dilakukannya selalu terlihat indah. Dan dia hanya berharap dan berusaha ini akan selalu dia rasakan sampai dia menua nanti. Dia tidak henti-hentinya memberikan ciuman di pipi kanan nita secara bertubi-tubi sebagai ungkapan rasa terima kasihnya atas kasih sayang yang selalu dia berikan pada putranya.     

"Ibu " nita memberikan ciuman di kedua pipi dan tangan ibu kandungnya yang sudah menunggunya.     

Axel mengikuti nita mencium tangannya dengan senyuman polosnya.     

"Kita berangkat sekarang.. "      

Nita menganggukan kepalanya dan membawa Axel untuk berjalan bersamanya mengikuti langkah sang ibu menuju ke sebuah mobil yang telah menunggu mereka tepat di depan hotel.      

Setelah perjalanan yang kurang lebih dua puluh menit mereka sampai di sebuah rumah dua lantai dan berwarna dasar putih, yang memberikan kesan rumah sehat walaupun bergaya minimalis.     

"Kakak.. " seorang gadis berambut panjang dibawah bahu terlihat berdiri dengan baby sitter disampingnya. menunggu sang ibu menghampirinya.     

Nita memandangi gadis berusia sekitar lima atau enam belas itu menatap Nita dan Axel dengan mata indahnya.     

"Beri salam pada kak nita" ibu mengusap lembut rambut gadis yang berdiri di hadapannya itu.     

"Aku mau punya nama itu.. " dia berbicara seperti seorang anak yang berusia Sama seperti Axel, tapi perkataan Axel sudah jauh lebih jelas.      

"Aku tidak mau nama Icha! "      

Nita mengusap dengan lembut tangan Icha, "namamu lebih bagus dari namaku.. "     

"Icha, ini putra kakak. Namanya Axel.. " ucap Nita, menuntun tangannya untuk bisa berjabat tangan dengan Axel.     

"Axel jago menggambar, kamu bisa belajar dengannya.. "     

Dalam pikirannya terlintas Elsa pasti jika berkunjung ke kota ini pasti jarang atau tidak sama sekali mengunjungi rumah ini, pasalnya Axel sama sekali tidak mengenal Icha. Atau Elsa pernah membawa Axel ketika dia masih sangat kecil.     

"Ikut aku Axel! " Dia lalu menarik tangan axel dan dibawanya Axel menuju ke ruang tengah, sepertinya Icha juga suka menggambar karena di meja yang terletak di tengah ruangan itu sudah tersimpan banyak-banyak kertas yang telah dipenuhi gambar dan bermacam-macam pinsil warna.     

Axel yang mudah akrab dengan icha yang baru saja ditemuinya tadi, dia langsung mengajarkan icha cara menggambar yang baik.     

"Ikut ibu.. " dia meraih tangan Nita untuk ikut dengannya menuju ke suatu tempat, dia membawa Nita ke dalam kamar berukuran besar masih dengan warna putih yang mendominasi dinding-dindingnya.     

"Duduklah.. "     

Nita terduduk di sofa yang terletak di dekat jendela besar yang dapat melihat keindahan taman dan kolam renang.     

Ibunya sedang mencari sesuatu di dalam lemari yang dibukanya, setelah dia mendapatkannya dia lalu menghampiri Nita.     

"Ini ibu siapkan ketika mendengar kamu akan menikah.. " dia lalu menyimpan sebuah kotak berukuran sedang di atas kedua tangan Nita.     

"Tapi ibu merasa malu dan takut untuk menemuimu dulu.. " ucapnya penuh dengan penyesalan "jadi ibu hanya membelinya dan baru ini sampai di tangan pemilik yang sebenarnya.. "     

Dia lalu membukakannya agar Nita bisa melihat isinya itu, "ibu tahu kalau pekerjaan seorang bidan itu tidak boleh memakai perhiasan ketika bekerja karena menjadi salah satu sarang kuman, tapi gunakanlah itu ketika kamu menghadiri acara-acara besar bersama yoga.. "     

"Terima kasih, Bu.. " Nita memberikan pelukannya sebagai rasa terima kasihnya. Dia sebenarnya tidak terlalu suka dengan perhiasan, tapi dia harus menghargai pemberian dari ibunya itu. Dilihat dari perhiasan yang dibelinya untuk nita bermodel simpel dan tidak terlalu berlebihan memperlihatkan sifat sang ibu yang selalu bergaya sederhana.     

"Menjadi istri itu harus seperti ratu di rumah sendiri.. " ucapnya ketika mereka sampai di dapur kotor. "Kamu bisa masak, nit? "     

Nita tersenyum, "bisa, tapi pasti rasanya tidak akan seenak masakan ibu! "     

"Bisa saja "     

"Ratu yang baik menurut ilmu apa ya, ibu lupa lagi. Bukan dilihat dari kecantikan dan harta yang dimilikinya, tetapi dari melimpahnya makanan di rumah untuk memenuhi kebutuhan penghuni rumah setiap hari.. "     

"Jadi jangan cuma satu menu saja " dia melanjutkan ucapannya, "kalau sudah telur goreng itu terus seminggu, atau kalau males masak makan diluar deh! "     

"Iya.. " Nita menganggukan kepalanya membenarkan ucapan ibunya itu.     

"Apalagi Axel sudah besar, pasti sedang masa pertumbuhan membutuhkan gizi makanan yang seimbang.. "     

"Di rumah ada mba mumu, Bu.. " Nita bicara malu karena setelah mba Mumu ikut dengannya semua pekerjaan rumah tangga mba Mumu yang kerjakan.     

"Tidak apa-apa, yoga mengerti pekerjaanmu yang melelahkan itu. Jadi nikmati saja.. "     

Nita begitu lama memandangi ibunya yang memasak sesuatu untuk makan malam, tangannya terlihat cekatan membuat makanan yang dari wanginya pasti sangat enak dia sudah lama ingin melakukan hal seperti ini sejak lama bersama ibu kandungnya itu.     

"Ibu pikir akan menginap " dia terus mengusap lembut punggung nita ketika yoga telah menjemputnya malam ini.     

"Lain waktu aku main dan menginap disini.. " Nita memeluk ibunya itu dengan penuh kasih sayang. "Kami harus pulang besok, karena Axel harus sekolah dan kami masih harus bekerja hari Senin.. "     

"Semoga ketika nanti kamu kembali kesini, kamu akan membawa anak yang kamu lahirkan sendiri dari rahimmu.. " dia bicara dalam pelukannya itu.     

Nita tertegun, dan seketika mimik wajahnya berubah. Dalam pikirannya itu terlintas tanda tanya besar tentang ucapan ibu padanya ketika memeluknya.     

'Apa ibu tidak suka dengan Axel? ' tanya Nita dalam hatinya, jika memang seperti itu dia tidak mengerti apa alasan yang membuat ibunya tidak menyukai axel yang bukan lahir dari rahimnya sendiri.     

Atau ini hanya hati Nita saja yang begitu sensitif ketika berhadapan dengannya, ketidak akrabannya dengan sosok ibu kandungnya itu membuat mereka terlihat sulit untuk menjalin ikatan kasih sayang yang kuat antara dirinya dengan ibu kandung yang begitu lama pergi..      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.