cinta dalam jas putih

Kotak Biru



Kotak Biru

0"Terima kasih " ucap yoga pada dokter edwin dan aditya ketika nita tengah pergi ke toilet.     

"Semoga bidan kanita akan baik-baik saja " ucapan aditya memberikan yoga sedikit pengharapan, "jangan lupa untuk tes skrinning nanti, supaya dapat diketahui dengan cepat! "     

"Asalkan tidak terluka, mungkin itu akan aman dokter " kali ini dokter edwin yang berbicara, "tapi saya yakin dia wanita yang kuat.. "     

"Saya pun berpikir seperti itu " yoga menyetujui perkataan aditya dan dokter Edwin.     

Dia sengaja membawa dokter Edwin dan aditya dengan alasan membayar janji mereka, karena dia yakin jika hanya dia sendiri yang mengajaknya akan ditolak dengan cepat oleh nita dengan alasan tidak tega membiarkan axel makan sendirian di rumah. Mungkin dengan membuatnya tertawa akan sedikit menghilangkan sejenak ketakutan Nita.     

"Terima kasih dokter, pak adit, sudah mentraktir saya.. " ucap nita pada dokter edwin dan aditya setelah acara makan selesai.     

Mereka tampak berdiri di depan mobil yang terparkir berdampingan.     

"Sampai bertemu di project kita nanti " ucapan terakhir aditya sebelum dia masuk ke dalam mobilnya.     

"Kamu jangan lupa jaga kesehatan calon bayimu! " Dokter edwin menunjuk nita dengan senyuman lebarnya, "kalau dia perempuan dokter yoga setuju menikahkan aku dengannya! "     

Pupil mata nita membulat, seketika dia langsung mengusap perutnya. Nita ingin sekali membalas candaan dokter edwin jika dia itu bukan konsulennya. Dia pasti sudah mengejarnya dan menjitak kepalanya, tapi semua itu hanya ada dalam khayalannya saja.     

"Aku tidak bilang seperti itu " yoga langsung mengkonfirmasi ucapan dokter Edwin pada Nita, dia membukakan pintu mobilnya untuk istrinya.     

"Dia hanya sedang membuatmu kesal! " Yoga melanjutkan perkataannya.     

Tawa kecil muncul dari bibir nita, dia menertawakan ketakutan yoga akan ucapan dokter edwin tadi.     

"Kamu lelah? " Yoga mengusapkan satu tangannya di pipi Nita sebelum dia menghidupkan mesin mobilnya.     

Nita tersenyum memegang tangan yoga yang berada di pipinya.     

"Aku tidak lelah " jawabnya, "aku mengantuk karena kekenyangan! "     

Sontak saja tawa yoga muncul, "syukurlah jika kamu bisa makan dengan baik, sekarang  tidurlah. Sesampainya dirumah nanti aku bangunkan "     

"Ya.. " nita menganggukan kepalanya, dia membenarkan posisi duduknya. Dia merasakan kantuk yang teramat berat karena kekenyangan yang melandanya. Tadi itu, entah karena sangat lapar atau sedikit kerasukan hantu Petapa yang sudah berpuasa berbulan-bulan, makanan yang berada dihadapannya dia habiskan dengan cepat.       

***     

Nita merasakan mobil yang ditumpanginya telah berhenti, matanya perlahan membuka melihat suasana petang yang hampir merubah warna langitnya menjadi gelap.     

"Aku baru saja mau membangunkanmu! " Yoga tersenyum ke arah nita yang sudah lebih dulu membuka matanya.     

Nita terlebih dahulu mengumpulkan semua nyawanya kembali dari kehidupan mimpi, menggeliatkan tubuhnya. Dengan segera beranjak dari dalam mobil.     

Ponselnya berdering ketika dia dalam langkahnya menuju ke dalam rumah.     

"Ihsan! " Nita melihat nama yang sedang memanggilnya kali ini, dengan segera nita membalikan badannya memastikan yoga belum turun dari mobilnya.     

"Hallo " ucapan nita yang pertama ketika dia menerima telpon dari putra sang paman.     

"Kakak maaf aku mengganggumu.. "     

Nita tersenyum, "tidak apa-apa, bagaimana keadaanmu? "     

"Aku baik, ayah dan ibu juga baik. Berkat kakak dan dokter yoga! "     

"Syukurlah, bagaimana kuliahmu? "     

"Semua berjalan lancar. Ayah ingin aku menyampaikan terima kasihnya pada kakak "     

Nita terdiam sejenak, "maaf kakak belum bisa memberikan kalian yang terbaik, nanti aku beritahu jika gaji bulan ini sudah masuk.. "     

"Tapi uang kakak sudah masuk " Ihsan menyela, "bahkan lebih, jadi bisa untuk ayah berobat beberapa bulan kedepan "     

Nita mengernyit, yang dia tahu gajinya tidak akan sebesar itu sampai bisa membiayai kuliah Ihsan dan pengobatan pamannya.     

"Ihsan itu uang siapa? " Nita sedikit ketakutan mendengarnya, "kakak tidak mungkin punya uang sebanyak itu! "     

Terdengar suara tawa Ihsan di telponnya, dia menertawakan nita yang menanyakan kepemilikan uang yang berada dalam rekening miliknya.     

"Jangan pakai itu, nanti tiba-tiba ada lembaga keuangan yang periksa uangnya sudah habis! "     

Lagi-lagi Ihsan hanya menanggapi ucapan nita dengan tawanya.     

"Aku tidak menyuruhmu tertawa! " Cetus Nita, "tapi menjawab pertanyaanku, itu uang milik siapa? "     

"Aku tidak pernah memiliki uang sebanyak itu dari hasil kerjaku! " Nita melanjutkan ucapannya.     

"Aku juga tidak tahu, kak. "     

Mata nita terbelalak, "kalau kamu tidak tahu kenapa tidak bertanya lebih dulu padaku! "     

"Kenapa kamu tidak curiga ada uang sebanyak itu di rekeningku.. "      

"Maafkan aku, kak.. "     

Jantung nita kali ini dibuat bekerja keras kembali, setelah kejadian tadi pagi oleh pasien dengan penyakit menular dan sekarang dia harus dihadapkan pada uang yang bukan miliknya yang telah dipakai Ihsan.     

"Nanti kalau aku kena undang-undang gratifikasi bagaimana! " Cetus nita pelan seraya mondar-mandir mengusap kening dengan satu tangannya, dia takut ada orang yang sengaja mentransferkan sejumlah dana gelap ke rekeningnya. Kali ini pikiran negatifnya lebih sering muncul secara tiba-tiba.     

Dalam situasi yang pelik itu, tiba-tiba ponsel yang dipegang oleh Nita diambil alih oleh yoga yang sedari tadi tanpa dia sadari berada di belakangnya.     

"Kamu tenang saja, itu memang uang untukmu dan paman " ucap yoga pada Ihsan dalam telpon, "kamu harus sekolah dengan baik, dan paman harus melanjutkan pengobatannya dengan baik juga! "     

"Terima kasih, dokter.. "      

Yoga tersenyum, dia tahu sepertinya Ihsan ragu-ragu untuk memanggilnya.     

"Aku juga kakakmu! " Dia meyakinkan pada Ihsan untuk memanggilnya 'kakak'.     

"Sampaikan salamku pada paman dan bibi, mungkin akhir pekan besok kami akan berkunjung "     

Ucapan yoga tersebut menjadi yang terakhir sebelum dia mengakhiri pembicaraannya dengan Ihsan di telpon.     

Dia lalu menoleh ke arah nita, dia masih mematung di hadapannya.     

"Kenapa diam? " Tanya yoga, dia tersenyum ke arah Nita. "Kamu tenang saja, tidak akan ada badan pengawas keuangan yang melakukan pemeriksaan rekeningmu! "     

Yoga menggelengkan kepalanya, "korban sinetron nih! "     

Dahi nita berkerut, dia menggapai satu tangan yoga.     

"Jadi uang itu milik oppa dokter? " Tanya nita.     

Yoga tersenyum, tangannya berpindah di kedua sisi pundak nita dan diusapnya dengan lembut.     

"Itu juga uangmu! " Jawab yoga, "memangnya selama ini aku bekerja untuk siapa? "     

"Untuk kamu dan Axel! " Seraya mencubit kecil pipi nita.     

"Keluargamu akan menjadi keluargaku juga sekarang " yoga melanjutkan perkataannya, dia menyukai sifat baik Nita yang selalu ingin membalas budi kebaikan orang yang telah merawatnya sejak kecil itu.      

"Maaf, aku pikir tadi ada kasus gratifikasi " ucap nita, "aku takut seperti berita artis-artis yang mendapatkan uang tambahan di rekening mereka sampai harus berurusan dengan KPK "     

Seketika tawa yoga muncul ketika mendengar ucapan nita yang akhir-akhir ini selalu terdengar lucu olehnya. Darimana wanita ini bisa mendengar berita seperti itu, padahal dia terlihat jarang menghabiskan waktunya di depan televisi. Dia lebih senang berlama-lama berada di kamar Axel, membacakannya buku cerita, membantunya mengerjakan pekerjaan sekolah, bahkan membantu merakit mainan terbaru yang dibeli oleh putra kesayangannya.     

"Terima kasih " nita tersenyum ke arah ke arah yoga dia merasakan betapa beruntungnya dia memiliki suami yang begitu mengerti dirinya, dan mendaratkan satu kecupan di pipinya.     

Tapi sepertinya satu kecupan di pipi saja tidak cukup bagi yoga, dia sudah menahan begitu lama untuk mencium bibir Nita. Ketika masih di acara makan-makan tadi dia begitu gemas melihat setiap tingkah lucu nita, yang membuatnya ingin menerkamnya dengan cepat.     

"Tunggu dulu " nita menahan yoga yang mulai mengajaknya ke permainan tingkat dewasa. Dia menghentikan sejenak tindakan yoga yang sudah berada dalam posisi missionarisnya.     

Nita merogoh saku seragamnya, dan mengeluarkan sesuatu dari dalam saku seragamnya. Dan memperlihatkan bungkusan berbentuk kecil berwarna biru ke arah yoga.     

Senyuman lebar dia perlihatkan pada yoga.     

Dahi yoga berkerut, dia langsung tertawa hanya dengan melihat merk dagang dari depan bungkusnya 'sebuah alat kontrasepsi'.     

"Jangan tertawa! " Nita memukul kecil tangan yoga, dia ingin yoga menghentikan tawanya.     

"Pak dokter! " Nita kembali memberikan pukulan kecil ketika yoga tidak menghentikan tawanya.     

"Baiklah, aku tidak tertawa " tetapi ucapan yoga masih diiringi dengan tawanya. Dia sulit mengontrol dirinya untuk tidak tertawa saat ini.     

"Untuk apa? " Tanya yoga.     

"Jangan pura-pura lupa! " Cetus Nita, "kejadiannya baru saja terjadi tadi pagi pak dokter! "     

Tawa dari bibir yoga perlahan-lahan memudar, dia memandangi nita.     

"Jadi sebelum aku melakukan tes darah nanti, oppa dokter harus melindungi diri sendiri dengan menggunakan itu! "      

Nita tersenyum kecil ke arahnya, "kita ambil saja kemungkinan buruknya, dan melakukan pencegahan awal untuk tertular olehku.. "     

Yoga tidak membiarkan nita menyelesaikan kata-katanya, dia telah lebih dulu memberikan ciuman di bibir nita sehingga membuatnya tidak dapat mengatakan apapun lagi.     

Tangannya menggapai alat kontrasepsi yang nita pegang, dia tahu istrinya itu tidak ingin yoga mendapatkan kemungkinan tertular hal sama dengan hubungan intim yang akan mereka lakukan saat ini jika dia tidak memakai alat tersebut.     

Walaupun nita belum melakukan tes darah tetapi dia lebih berpikir ke arah pencegahan awal, dia hanya tidak mau membuat lelaki yang disayangi itu mendapat kesakitan yang sama dengannya jika hasil terburuk nanti keluar.     

"Kenapa? " Suara pelan nita terdengar ketika dia mendapati yoga menyimpan alat kontrasepsi yang diberikannya di samping mereka.     

Yoga tersenyum kecil, tatapan lembutnya pada nita begitu meneduhkan.     

"Aku akan sepertimu " ucapnya, "jika kamu tidak pernah takut menghadapinya, untuk apa aku takut.. "     

"Aku akan dengan senang hati merasakan sakit yang kamu rasakan " lanjutnya, "merasakan bahagia yang kamu rasakan, karena itulah tujuan kita menikah. Karena itulah gunanya kita saling berbagi kehidupan.. "     

"Kita lakukan tes itu bersama nanti! "      

Nita memandangi yoga dengan ketidak percayaannya, suaminya itu tidak pernah membuatnya tidak merasakan haru biru pada semua tindakan yang menunjukannya sebagai lelaki sejati yang selalu melindungi wanita lemah.     

Yoga tersenyum lembut ke arah Nita dan kembali memberikan ciuman pada bibirnya. Dan melanjutkan kembali permainan dewasa yang sempat terhenti.     

***     

"Kamu belum selesai?bagaimana tugas sekolahmu? " Nita menghampiri Axel yang begitu serius sekumpulan mainan rakitannya malam ini.     

Axel tersenyum ke arah nita, "sebentar lagi bubu,,, aku mohon,,, "     

Nita tertawa kecil dan terduduk di samping Axel.     

"Aku sudah selesai! " Teriak axel, "aku perlihatkan ini lebih dulu pada ayah... "     

Dia berlari menuju ke arah kamar dan menghampiri yoga yang terlihat fokus dengan laptopnya.     

"Ayah, mainan baru ini aku rakit sendiri! "      

Yoga menghentikan sejenak pekerjaannya dan melihat hasil dari mainan yang putranya buat sendiri.     

"Ini kurang kokoh.. " yoga membantu axel  memperbaikinya, axel yang terduduk disampingnya awalnya begitu fokus pada kelihaian sang ayah memperbaiki robot miliknya.      

"Bubu, ini permen karetkah? " Tanya axel pada nita yang baru saja muncul dihadapannya, dia memperlihatkan sesuatu yang dipegangnya. Axel mengambilnya dari atas meja disamping tempat tidur.     

Yoga dengan cepat menoleh ke arah benda yang axel pegang, sebuah kotak kecil berwarna biru yang tadi diberikan nita padanya.     

Dan pandangannya berganti ke arah nita yang terkejut melihat apa yang sudah axel temukan.     

"Ini wanginya seperti permen karet! " Axel tersenyum mencium aroma yang keluar walaupun belum terbuka.     

Nita memelototkan matanya ke arah yoga, mulutnya terlihat komat-kamit tanpa arti. Hanya terlihat wajah merahnya yang menandakan bahwa dia sudah sangat malu kali ini.     

Yoga mengerutkan dahinya dan mengusapnya, senyumannya yang muncul secara bersamaan dengan keterkejutannya. Dia lebih baik bertemu dengan orang dewasa yang akan mengerti jika menemukan benda itu, daripada harus menjelaskan pada anak kecil yang baru berusia sembilan tahun.     

Axel memperhatikan kedua orang tuanya itu secara bergantian, dia kebingungan dengan ayah dan bubunya yang hanya bermain mata tanpa mengeluarkan kata apapun....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.