cinta dalam jas putih

Permintaan terdahulu



Permintaan terdahulu

0Semua orang saat ini masih terdiam ketika menyaksikan kepala ruangan mereka harus mendapatkan tamparan tanpa sebab.     

"Kamu punya hati nurani tidak? jangan hanya memiliki wajah yang cantik, hatimu juga seharusnya cantik" wanita setengah baya tersebut menunjuk wajah nita dengan mata yang memelototinya,     

"Bayi ini juga manusia! " sambungnya, "bagaimana kalian seharusnya bekerja dengan baik? atau kalian memang tidak mempunyai niat bekerja? "     

"Tindakan kalian itu menyakiti ibu dan bayinya! "     

Wajah tari terlihat memerah, "tapi itu.. "     

Nita memegang tangan tari untuk tidak berkata apapun. Dia memberikan isyarat dengan gelengan kepalanya, dan mendengarkan semua amarah wanita tersebut yang ditujukan pada nita.     

Yoga dan aditya yang mendapat laporan dari sekuriti IGD datang ketika mendapati nita yang masih menjadi sasaran kemarahan wanita yang adalah ibu mertua dari pasien yang bayinya nita selamatkan tadi.     

"Ibu sudah! " datang seorang lelaki lebih muda mencoba menenangkan amarahnya.     

"Biar dokter yang menjelaskan " aditya berusaha menenangkan suasana yang memanas karena pihak keluarga yang emosi.     

"Tari, tolong aku observasi pasien! " seru nita, dia mengusap dengan lembut pundaknya.     

"Aku mengandalkanmu,,, " nita tersenyum ke arah tari sebelum dia masuk ke dalam kantor setelah yoga dan keluarga pasien telah lebih dulu berada di dalamnya.     

Sudut mata yoga menangkap nita yang masih terlihat baik-baik saja saat ini, dia belum mengetahui kejadian pasti. Karena ketika dia dan aditya datang mendapati sosok wanita setengah baya itu memaki-maki nita dengan begitu lantangnya.     

"Saya akan menuntut pihak rumah sakit karena melakukan tindakan yang tidak memikirkan keselamatan pasiennya! " wanita tersebut masih memiliki emosi yang begitu menggebu-gebu.     

"Dan bidan itu sudah melakukan tindakan yang membahayakan! " kali ini tangannya menunjuk ke arah nita yang terduduk di kursi yang terletak di sebelah kanannya.     

"Apa yang dia lakukan? " tanya yoga masih bernada begitu tenang.     

"Dia mencekik leher bayi menantu saya! " cetusnya, "dia juga memerintahkan salah satu temannya untuk menekan perut menantu saya ketika bayi belum lahir! "     

"Apa itu tidak membahayakan pasien? " wanita tersebut terus melemparkan kata-kata kemarahannya, "saya membawa menantu saya dari puskesmas dengan penuh kecemasan, setibanya di rumah sakit kami mendapatkan perlakuan seperti ini! "     

"Saya marah besar dan tidak bisa mengontrol emosi saya, dan melayangkan tamparan saya pada bidan itu! "     

"Menampar? " aditya begitu terkejut mendengarnya, dan menoleh ke arah nita yang masih terduduk dengan keadaan yang begitu tenang. Ada satu kekhawatiran dalam hatinya, ketika wanita tersebut disakiti seseorang yang telah ditolongnya.     

Berbeda dengan aditya, yoga tampak menggenggam tangannya sendiri menjadi satu. Dia menyimpan semua kemarahannya di ujung tangannya itu, dan sedang mencoba mengontrol emosinya. Dia begitu tidak dapat menerima bentuk kekerasan apapun pada istrinya tersebut.     

Dia sangat tidak mentolelir kekerasan dalam bentuk verbal maupun non verbal yang wanita itu berikan secara bertubi-tubi pada nita. Karena dia mengetahui semua tindakan yang dia lakukan pasti sudah sesuai dengan SOP yang sudah dibuatkan pihak rumah sakit tempatnya bekerja.     

"Apa ibu mau pihak rumah sakit melakukan operasi saecar? " tanya yoga, sambil menatap begitu lekat wanita setengah baya itu.     

Akan percuma saja jika yoga bersikap sama sepertinya, sama sekali bukan tandingannya jika harus berdebat dengan seorang wanita.     

"Jika kami lakukan operasi dengan hampir seluruh badan bayi sudah berada diluar, dan kepala mengalami kendala untuk lahir. Apa seperti itu yang ibu inginkan? " dia akan mulai menanyakan apa yang diinginkan wanita tersebut.     

"Jika ibu menginginkan tindakan operasi dalam keadaan seperti itu, apa ibu menginginkan saya memasukan kembali seluruh badan bayi yang sudah lahir dan lalu melakukan operasi? " yoga mulai menjelaskan apa yang dilakukan nita tadi, "karena memang seperti itu manuver tindakannya, bidan kanita mengambil tindakan yang tercepat untuk hal tersebut. Tidak sampai satu menit kepala bayi lahir! "     

"Jika ibu memang merasa tindakan kami salah, ibu bisa menggugat karena itu hak dari pasien " lanjut yoga, "tapi tidak dengan memakai kekerasan apalagi dengan cara memberikan tamparan, pihak rumah sakit kami memiliki petugas khusus yang menampung keluhan dari pasien dan keluarga pasien.. "     

"Ibu lihat ini! " yoga menunjukan sebuah pamflet yang menempel di dinding tepat dibelakangnya, gambar yang menunjukan posisi yang begitu sama seperti yang dialami pasien tadi. "Disini juga di perlihatkan dengan jelas bagaimana tindakan yang dilakukan.. "     

Wanita tersebut melihat gambar yang yoga tunjukan, dia tidak akan pernah mengerti dengan apa yang yoga tunjukan. Akan tetapi yoga berusaha untuk supaya wanita tersebut mengerti.     

"Apa saya perlu memperlihatkan sertifikat bidan kanita yang sudah mengikuti pelatihan untuk dapat melakukan pertolongan persalinan? " kali ini yoga yang mendominasi pembicaraan, "atau ibu meragukan pihak rumah sakit mempekerjakan petugas-petugas disini? saya dengan senang hati akan menunjukan STR semua staf disini, mereka semua terseleksi dan dinyatakan kompeten! "     

"Dokter maafkan ibu saya,,, " laki-laki muda yang sedari tadi hanya berdiam diri akhirnya mengeluarkan suaranya, "ibu saya memang salah karena mengambil tindakannya sendiri tadi! "     

"Ibu seharusnya berterima kasih pada bidan kanita yang begitu cepat memberikan tindakan yang tepat dan cepat pada menantu ibu... " aditya kali ini ikut menyampaikan kekecewaannya atas tindakan wanita tersebut, "pihak rumah sakit akan dengan sangat terbuka menampung semua keluhan apapun dan dibicarakan dengan baik-baik! "     

Wanita tersebut terdiam dan tersudutkan oleh semua perkataan yoga ditambah dengan pernyataan aditya serta putranya sendiri.     

"Baiklah, saya harap ibu tidak akan mengulangi tindakan seperti itu pada orang lain diluar sana " ucap yoga, "saya yakin ibu akan sangat bijaksana mengelola pikiran dan hati ibu sendiri, tapi ibu masih harus banyak belajar untuk bisa pintar mengelola emosi ibu sendiri! "     

"Semua ada pada diri ibu sendiri untuk menjadi orang bijak atau orang pintar! " yoga masih terus menghujani wanita tersebut dengan kata-katanya, dia masih merasakan bahwa semua belum cukup jika dibandingkan dengan tindakannya pada nita.     

Dia menoleh ke arah nita yang sedari tadi hanya terdiam dan memperhatikannya bicara. Tampak senyuman tipis dan isyarat dari matanya yang seolah-olah mengatakan bahwa baik-baik saja.     

"Saya mewakili ibu saya meminta maaf pada bu bidan.. " laki-laki tersebut merengkuh dihadapan nita, "saya seharusnya berterima kasih karena anak kami bisa lahir dengan selamat! "     

Dan seperti yang ada di pikiran yoga, nita tidak bertindak apapun dia masih bersikap seolah-olah tidak ada masalah yang terjadi.     

"Semoga anak dan istri bapak sehat selalu " nita akan mencoba melupakan kejadian tadi, walaupun membuatnya sedikit mendapatkan trauma yang masih saja menempel di pikirannya. Bukan rasa malu karena seperti diremehkan oleh wanita tersebut, tapi tentang pikiran anehnya pada wanita kuat diluar sana yang mendapatkan kekerasan lebih dari yang dia dapatkan.     

"Kalau aku dengar lagi ada yang melakukan hal seperti ini kembali, aku pastikan kamu untuk bekerja dirumah saja! " cetus yoga ketika keluarga pasien itu di bawa oleh aditya ke kantor khusus pengaduan, bukan untuk melaporkan nita tetapi untuk membuat pernyataan bahwa mereka telah salah paham dengan tindakan yang sudah diberikan oleh nita.     

Dia tersenyum kecil menanggapi kekhawatiran yoga yang begitu besar terhadapnya.     

"Terima kasih! " ucap nita, "tadi itu, benar-benar kata yang paling berwibawa yang pernah aku dengar.. "     

Yoga sama sekali tidak ingin tersenyum, mendapati istrinya itu masih dapat tersenyum ketika memperoleh perlakuan yang menyisakan tanda kemerahan yang begitu jelas terlihat di pipi kirinya.     

"Jangan lupa obati pipimu! " cetus yoga masih dengan wajah tanpa sedikitpun senyuman ketika dia berkata sebelum pergi meninggalkan nita untuk kembali ke ruang IBS dan melanjutkan pekerjaannya disana.     

Senyuman nita perlahan memudar sepeninggal yoga, dia menyimpan telapak tangannya di pipi sebelah kirinya yang masih terasa panas lebih sakit dari sengatan lebah yang pernah dia rasakan sewaktu dia kecil dulu.     

"Kamu baik-baik saja kan? " karin segera menghampiri nita di kantornya dengan membawa ice pack dan dia berikan pada nita, "kompres dulu pipimu yang merah itu! "     

"Terima kasih " nita menerima ice pack yang Karin berikan dan menempelkan dengan segera di pipinya.     

Dia dari arah kantor yang pintunya terbuka, tidak sengaja menangkap pemandangan aneh yang lebih mengejutkan darikejadian tadi dan segera mengalihkan pandangannya ke arah lain.     

"Bu, maafkan saya,,, " shasya berdiri di depan pintu dengan memasang wajah yang penuh penyesalan.     

"Masuklah! " nita tersenyum ke arah shasya, "dimana tari? "     

"Tadi dia mengeluh sakit perut " jawabnya, "dia punya sakit lambung yang selalu kambuh akhir-akhir ini! "     

"Iya kasihan sekali " karin membenarkan ucapan shasya.     

Nita tersenyum dengan kedua alisnya yang terangkat, dia masih mengompres pipinya dengan ice pack yang Karin bawakan.     

"Kenapa ibu tidak menuntut saja pada mereka atas tindakan kasar mereka? " tanya shasya.     

"Ibu kepala yang satu ini mana tega melakukan hal yang seperti itu! " karin langsung mengemukakan pendapatnya.     

Diberikan tanggapan seperti itu oleh karin Nita tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya.     

"Dia sudah membuat pipi ibu memerah seperti itu, tidak minta maaf pula! " shasya terlihat kesal sambil melipatkan kedua tangannya di bawah dada.     

"Kalau aku pasti sudah menangis sejadi-jadinya, jika diberi tamparan begitu keras tanpa tahu apa kesalahanku! " sela Karin, "dan akan dipastikan aku tidak mau bekerja lagi! "     

"Aku juga.. " shasya sependapat dengan seniornya itu.     

Nita tersenyum kecil, "kita harus terbiasa menghadapi hal seperti itu, tapi untuk tindakan kasar seperti tadi itu adalah pertama buatku dan aku berharap tidak akan terulang kembali.. "     

"Dulu aku pernah menangis ketika pertama bekerja, aku mendapatkan makian dari keluarga pasien " sambungnya, "setelah itu aku juga merasakan penyesalan memilih jalan ini sebagai pekerjaanku "     

"Kak tari yang hendak marah pun ibu cegah " ucap shasya, "kapan aku bisa seperti itu! "     

Karin tersenyum, "kepala ruangan mu kali ini sangat berbeda, sya. Jika orang lebih memilih menjadi pintar dia lebih suka menjadi bijak! "     

Nita mengernyitkan dahi dalam tawa kecilnya mendengarkan pujian Karin padanya.     

"Yang aku tahu selama bertahun-tahun bekerja di bidang jasa ini membuatku melupakan diri kita sebenarnya! " ungkap nita, "kita harus berpura-pura menjadi kuat ketika dihadapkan pada masalah, harus memperlihatkan senyuman palsu kita disaat sedang menghadapi permasalahan, percaya diri walaupun kita tahu sebenarnya kita pemalu. Itu terjadi setiap hari dalam waktu yang lama pada kita sampai akhirnya membentuk kita jadi pribadi yang kuat... "     

"Dan kita juga dipaksa bersikap dewasa sebelum waktunya! " cetus karin, "dimasa kuliah kita harus sudah terbiasa jauh dari keluarga karena tinggal di asrama, kita tidak punya waktu bermain bahkan sampai kita bekerja. Kalau diibaratkan buah, kita itu matang terpaksa! "     

"Iya benar! " shasya setuju dengan perkataan Karin.     

Nita tersenyum ke arah tari yang baru muncul di tengah-tengah mereka.     

"Kamu baik-baik saja? " tanya nita pada tari yang wajahnya terlihat sedikit pucat.     

"Iya " dia menganggukan kepalanya, "sepertinya saya mengalami kolik sedikit tadi Bu! "     

"Kamu yakin tidak apa-apa? " nita memastikan.     

"Iya, Bu " jawabnya pendek.     

Tari memang tidak seperti yang lain yang bersikap ramah pada Nita, dia terlalu sulit untuk mengeluarkan sedikit senyumannya itu. Dan mungkin itu cara dia menunjukan ketidaksukaannya.     

Dipandangi begitu dalam oleh Nita membuatnya menjadi salah tingkah. Dia terus saja memalingkan pandangannya saat berbicara dengan nita.     

Dan nita tersenyum tipis, menyimpan nama tari dengan baik untuk dijadikan tugas baginya agar dapat diterima oleh semua rekan kerjanya.     

"Mau aku ambilkan ice pack? " yoga menghampiri nita yang baru selesai mandi sore ini.     

"Untuk apa? " nita sibuk dengan rambutnya yang basah.     

"Supaya pipimu tidak kesakitan lagi! " jawab yoga.     

Nita tertawa kecil, yoga masih saja mengingat kejadian tadi siang. Tetapi dia sendiri yang mengalaminya justru telah lupa.     

"Sakitkah? " yoga mengusap pipi nita dengan lembut, di wajahnya terlihat begitu mellow.     

Nita tertunduk seperkian detik dan kembali menatap yoga, "sakit sekali, jadi jangan pernah berpikiran untuk ringan tangan pada perempuan! "     

"Karena yang masih tersisa itu bukan sakitnya, tapi trauma setelahnya... " sambung nita, "ini pengalaman pertamaku merasakan tamparan yang begitu keras! "     

Yoga memencet hidung nita sekilas, "bisa-bisanya mengatakan hal seperti tadi sebagai pengalaman! "     

"Apa sekarang masih sakit? " tanyanya kembali, "apa kamu sudah memeriksakannya pada dokter jaga? "     

Nita mengernyit, "untuk apa? "     

"Pipi itu kan dekat dengan mata " jawabnya, "kalau wanita tadi memukulmu dengan keras dan ada apa-apa dengan mata atau mulutmu bagaimana? "     

Mata nita menyipit dan dia mengerutkan bibirnya seraya berpikir sejak kapan satu tamparan akan membuat komplikasi menakutkan seperti yang yoga sebutkan tadi.     

Dia melihat yoga yang mengambil sesuatu dari dalam tas kerjanya. Dan memperlihatkan penlight miliknya.     

"Duduk disini! " yoga meraih tangan nita dan membawanya untuk duduk di tempat tidur.     

Nita hanya mengikuti saja apa yang di katakan suaminya yang begitu mengkhawatirkannya.     

"Oppa dokter mau apa? " nita menatap yoga begitu penuh kelembutan.     

"Buka mulutmu.. " yoga mulai menyalakan penlight miliknya.     

"Untuk apa? " nita teraneh.     

"Aku akan memastikan bahwa rongga mulutmu baik-baik saja! " jawabnya, "aku harus melakukan pemeriksaan sendiri untuk memastikan kamu baik-baik saja! "     

Nita tersenyum tidak percaya dengan semua perhatian yoga saat ini, dia begitu ingin memastikan bahwa nita memang benar-benar baik dan tidak berbohong.     

"Baiklah " dia melakukan apa yang yoga perintahkan untuk membuka mulutnya agar suaminya itu melakukan pemeriksaan padanya dan berhenti mengkhawatirkannya.     

"Kamu yakin ini tidak sakit? " yoga kembali mengusap pipi nita dengan matanya yang memfokuskan matanya pada pipi nita.     

Nita tersenyum memegang tangan yoga yang berada di pipinya.     

"Aku sama sekali tidak merasakan sakit.. " ucapnya, dan lalu memindahkan tangan yoga dengan tangannya ke arah dada nita tepat di posisi dimana jantungnya berada.     

"Untuk sekarang aku merasakan sakit disini! " cetusnya, "tapi oppa dokter tidak perlu khawatir, itu wajar. Aku merasakan sakit hati karena tiba-tiba mendapatkan tamparan setelah aku berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan bayi itu... "     

"Karena aku manusia yang diciptakan tuhan dengan hati yang lemah " lanjutnya.     

Dia lalu memperlihatkan senyumannya pada yoga.     

"Tapi aku selalu menjadi kuat karena mendapatkan perhatian dari oppa dokter! "     

Yoga terdiam untuk seperkian detik setelah mendengarkan semua perkataan manis nita padanya.     

"Aku tahu kamu kuat dan tidak lagi merasakan sakit! " lalu dia menatap mata nita.     

"Yang sebenarnya merasakan kesakitan itu adalah aku! bahkan lebih sakit.. "     

Yoga mengatakan semua yang dirasakannya olehnya saat ini pada nita. Bahwa dialah yang menggantikan nita untuk merasakan setiap kesakitan yang menimpanya, itu terjadi padanya. Ini karena dulu, sewaktu nita berada di ruang ICU, dia mengucapkan janjinya untuk mau bertukar tempat jika sesuatu hal yang menyakitkan terjadi pada nita dia bersedia menggantikannya.     

Dan itulah yang terjadi padanya, ketika nita saat ini merasakan sakit dihatinya. Jauh dari yang Nita ketahui bahwa hati yoga dua kali lipat merasakan sakit di hatinya itu...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.