cinta dalam jas putih

Bercahaya..



Bercahaya..

0"Kemarin malam aku melupakan satu pembicaraan penting kita.. " ucap yoga pagi ini.     

Dia dan nita sudah berada di dalam mobil dan bersiap untuk berangkat bekerja.     

"Apa? " nita bertanya.     

"Tentang hadiah ulang tahunmu, apa boleh aku mengambilnyakembali dan kita tukarkan dengan hadiah yang baru! "     

"Kenapa? " nita mengernyit dan melihat ke arah yoga, "suka aneh-aneh, ini masih pagi pak dokter! "     

"Hadiah itu yang memilihkan koas syilla, dulu itu aku bingung harus memberikan hadiah apa padamu dan karena dia seorang wanita jadi aku minta pendapatnya. Aku ingin menukarkan kembali hadiahnya dengan pilihan kamu sendiri.. "     

Nita seketika terdiam, membetulkan posisi duduknya lalu memasang sabuk pengamannya. Mulutnya tertutup untuk beberapa saat.     

"Berangkat sekarang! " cetus nita.     

Nada bicaranya sedikit terdengar sinis di telinga yoga, ditambah dengan lipatan kedua tangannya di bawah dadanya. Tatapannya fokus ke arah depan.     

Yoga menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kali ini nita tengah marah padanya karena menyinggung tentang hadiah ulang tahun yang diberikannya.     

Suasana di dalam mobil hening seketika, nita yang biasanya begitu cerewet sepanjang perjalanan, kali ini membisu. Bahkan dia tidak sedikitpun menoleh ke arah yoga yang berada disampingnya. Sepertinya inilah kemarahan nita yang sebenarnya.     

"Itu,,, " yoga berkata tersendat-sendat "soal hadiah tadi,,, "     

Nita membuka sabuk pengaman yang dipakainya sebelum akhirnya menoleh ke arah yoga dan berkata, "oppa dokter yang terhormat, bukankah mengambil hadiah yang sudah diberikan itu lebih tidak sopan walaupun kita bilang akan menggantinya? "     

Yoga tertegun, menelan ludahnya bulat-bulat. Perkataan nita padanya seperti sebuah 'Skak Mat' dalam permainan catur.     

"Yang terpenting hadiah itu dibeli bukan dari uang koas syilla kan? "     

"Bukan " yoga segera menjawab, "aku hanya meminta syilla memilihkan saja.. "     

Nita menatap curiga ke arah yoga, "atau jangan-jangan syilla juga dibelikan kalung yang sama sebagai tanda terima kasih? "     

Wajah yoga memucat, ketegangan terlihat begitu jelas di wajahnya.     

"Tidak! " yoga menjawab tegas seraya menggelengkan kepalanya. "aku tidak Setega itu pada istriku! dia harus mendapatkan barang yang orang lain tidak bisa dapatkan.. "     

"Jika seperti itu baguslah.. " nita menanggapi jawaban yoga, "kalau aku tahu oppa dokter membeli juga untuk syilla, lihat saja! "     

Seketika suasana kembali terhening untuk beberapa saat.     

Nita tiba-tiba tersenyum tipis, "tegang banget wajahnya pak dokter! aku kan istri pak dokter bukan menteri kesehatan yang sedang menginterogasi pak dokter.. "     

Satu tangan nita menempel di pinggang yoga, dan menggelitiknya.     

"Tadi itu aku bercanda pak dokter! " seru nita, "ayo senyum dulu.. "     

"Awas, ya.. " yoga tidak dapat menahan tawanya karena kegelian, pagi ini dia sudah berhasil percaya dengan kemarahan nita yang ternyata hanya sebuah kebohongan.     

Yoga berhasil menangkap satu tangan nita yang menggelitiknya, "kamu tega sekali mempermainkan perasaan suamimu pagi-pagi.. "     

Mata nita menyipit dan menjulurkan lidahnya ke arah yoga, dan lalu berkata "habisnya pagi-pagi sudah membicarakan hal yang tidak penting! "     

"Pagi hari itu harus diisi dengan ucapan yang manis, penuh semangat... " sambung nita.     

Yoga tertawa kecil dan menganggukan kepalanya, "aku ketakutan tadi, ternyata kamu memang seperti menteri, bicaramu tegas dan penuh wibawa! "     

"Ada yang ngegombal pagi-pagi nih! " seru nita.     

Dia tidak dapat menahan tawanya karena yoga memberikannya pujian yang sama sekali tidak ada sedikitpun terselip hal romantis di dalamnya.     

"Aku, bisa-bisa terlambat kalau terus dengar pujian oppa dokter tersayang! " cetus nita, dia segera membuka pintu mobil dan beranjak keluar.     

Nita berdiri dan merapikan seragamnya terlebih dulu sebelum dia melangkahkan kakinya.     

"Tidak baik membiarkan wanita cantik berjalan sendirian! " yoga menyusul langkah nita menyusuri koridor rumah sakit.     

Nita mengernyit melihat yoga yang berjalan disampingnya. Dan terus mengikutinya.     

"Poliklinik ke arah sana pak dokter! " langkah nita terhenti, tangannya menunjuk ke arah yang berlawanan.     

Yoga tersenyum, "aku antar terlebih dulu istriku sampai ke depan pintu ruang bersalin, baru aku ke poliklinik.. "     

"Jangan aneh-aneh deh.. " nita membulatkan matanya ke arah yoga, dengan cepat dia melanjutkan kembali langkahnya.     

Dan yoga membuktikan ucapannya, dia berhasil mengikuti nita dan berjalan disampingnya.     

"Sudah sampai! " nita tersenyum malu ke arah yoga, "oppa dokter cepat pergi ke poliklinik sekarang.. "     

Yoga tersenyum tipis, dia menyodorkan tangan kanannya ke arah nita sebelum dia berpamitan.     

Pupil mata nita membesar, dia memajukan bibirnya diperlihatkan ke arah yoga yang tidak mempedulikannya.     

"Baiklah.. " nita mencium punggung tangan yoga.     

Banyak petugas lain yang berlalu lalang disekitar mereka, bahkan ada beberapa dari petugas yang memperhatikan mereka berdua. Tapi yoga sepertinya tidak mempermasalahkannya. Dia begitu sengaja ingin memperlihatkannya pada semua orang.     

Nita segera masuk kedalam balik pintu, dia masih merasa seperti ada mata-mata petugas tadi terus mengikutinya walaupun dia sudah berada di dalam ruang bersalin dan yoga pun sudah tidak mengikutinya. Mungkin karena dia belum terbiasa akan hal seperti ini.     

"Itu pasien apa teriak-teriak? " nita bertanya pada erin yang sudah sampai terlebih dulu.     

"Kala dua lama kak " bisik erin, "tadi kak aline sudah coba periksa tapi pasiennya sama sekali tidak menggubris, dia tidak mau diperiksa. Jadi pasienya kena marah deh.. "     

"Teman-teman shift malam juga sudah angkat tangan! " erin menyambung perkataannya, "ini pasienya tidak kooperatif! "     

Nita mendengarkan setiap perkataan erin dengan begitu seriusnya, hingga tidak menyadari mereka sudah berdiri dihadapan pasien yang berteriak kesakitan.     

"Ibu, ijinkan saya melakukan pemeriksaan pada ibu! " tangan nita memegang satu tangan pasien yang mencengkram kuat ujung tempat tidur.     

Pasien itu terdiam dan menatapi nita dengan waktu yang cukup lama.     

Nita tersenyum lembut kearahnya, "percayalah ini tidak akan berhenti sampai bayi di dalam perut ibu dilahirkan.. "     

"Kalian mana tahu rasa sakitnya, saya yang merasakannya sendiri! "     

"Saya tahu kedahsyatan sakitnya.. " nita mencoba berbicara seperti seorang teman.     

"Karena itu ijinkan saya melakukan pemeriksaan pada ibu dan kita lahirkan bayi ibu sekarang.. "     

Pasien yang terbaring di hadapan nita kembali meringis kesakitan, tapi kali ini dia tidak mengeluarkan teriakannya. Hanya terlihat tangisannya yang tersedu-sedu.     

"Bantu aku... "     

Tangan nita dipegangnnya, tatapannya pada nita begitu menyimpan harapan yang begitu besar pada nita.     

"Baik, ibu harus bekerja sama supaya bayinya cepat lahir.. " nita mulai memakai handscoon steril di kedua tangannya, erin dengan cepat memasangkan apron pada nita.     

"Karena ibu sudah percaya pada saya, sekarang akan saya kabulkan keinginan ibu supaya bayinya cepat lahir dalam satu kali mengedan.. "     

Nita melirik ke arah erin, menunjukan posisi kepala bayi yang berada di Station +3.     

Erin menutup mulutnya yang tertawa tanpa suara, lalu mengacungkan dua jempolnya ke arah nita. Dan nita membalasnya dengan kedipan satu matanya.     

Nita membuktikan ucapannya, ketika pasien menuruti semua perkataan nita untuk mengedan tidak lama tangisan bayi terdengar.     

Nita menyimpannya di dada sang ibu untuk dilakukan inisiasi menyusu dini.     

Dalam waktu kurang dari satu menit setelah bayi lahir, nita menyuntikan obat oksitosin 10 intra unit di aspektus lateris pasien. Dan menangkap sosok aline dan esti yang berjalan melewatinya dengan membawa buku laporan harian untuk mengabsen pasien hari ini.     

"Ibu bidan.. " seseorang membuka tirai yang menjadi pemisah satu pasien dengan pasien lainnya. "sudah sopan, ibu juga cantik dan saya melihat seperti ada sinar dari tubuh ibu! "     

Nita terkejut ketika yang muncul dari balik tirai hanya wajahnya saja yang terlihat.     

"Ibu,,, membuat saya terkejut saja! "     

Pasien itu tersenyum, "dari semalam, petugas tidak ada yang berhasil membujuk ibu itu. Ternyata bu bidan cantik yang berhasil.. "     

Nita tersenyum menggelengkan kepalanya, "mungkin sudah waktunya saja, bu "     

Aline dan esti muncul membuat pasien tersebut menutup kembali tirai yang menjadi sekat tersebut.     

"Tadi itu saya lihat bu bidan berbeda, seperti ada sinar di wajah dan seluruh tubuh ibu itu memang benar! " kali ini pasien yang tengah nita tangani bersuara.     

Nita begitu berusaha menahan tawanya karena aline dan esti tengah melakukan pemeriksaan pada pasien disampingnya, melakukan pemeriksaan pada pasien yang mencuri kesempatan mengobrol dengan nita ketika mereka belum datang.     

"Erin aku titip kontraksi dan perdarahannya " ucap nita pada erin, di saat dia tengah melakukan eksplorasi.     

Erin yang tengah menyuntikan obat methylergometrin, menjawab dengan anggukan dan menunjukan satu jempolnya.     

"Ibu kenapa? saya kan baru pasangkan obat induksinya " nada bicara aline terdengar sedikit keras.     

"Saya sedang merasakan mulas, bu " rintihnya     

Nita yang baru selesai, menghampiri aline dan esti yang berdiri tidak jauh dari tempat awalnya.     

"Tapi saya harus melakukan satu tindakan sekarang! " aline menoleh ke arah esti "bunyi jantung janinnya berapa? "     

"Seratus empat puluh, kak "     

Dan lalu melirik ke arah nita yang berdiri di sisi ujung tempat tidur pasien. Dan perlahan mendekati aline.     

"Apa sebaiknya kita menunda dahulu amniotominya? his nya sangat bagus, malah bisa dibilang berlebihan " nita berbisik ke arah aline.     

Perkataan nita tersebut ditanggapi dingin oleh aline, "dokter edwin sudah memberi advis untuk dilakukan amniotomi lalu dipasang drip oksitosin! "     

"Iya, tapikan melihat kondisi ibunya dengan his yang adekuat seperti ini... "     

"Kamu bisa bilang menundanya " sela aline, "kalau nanti lupa amniotomi pun bisa dimaklumi karena kamu istrinya dokter yoga, kalau kami yang lupa pasti kena semprot sama dokter Edwin! "     

Dahi nita berkerut, dia tidak menyukai perkataan aline yang memakai nama dokter yoga untuk membuatnya tidak berkutik seperti ini.     

Nita menarik nafasnya dalam-dalam sebelum berkata, "baiklah, terserah kamu saja. Kamu lakukan saja yang menurutmu benar, hati-hati.. "     

Aline tidak bergeming dengan ucapan nita padanya, lalu berbalik arah membelakangi nita.     

Nita menggelengkan kepalanya melihat sikap keras kepala sahabatnya itu, selangkah demi selangkah menjauh dari arah aline dan esti.     

"Sabar kak.. " erin menghampiri nita yang masih mematung memperhatikan aline dan esti dari kejauhan.     

Nita tersenyum tipis, "iya, terima kasih "     

"Pasien yang tadi partus terus saja membicarakan kakak, katanya wajah kak nita bersinar seperti peri yang di televisi-televisi! "     

Nita menggelengkan kepala dalam senyumannya, "biar apa coba pasien bilang seperti itu? "     

"Biar viral! " erin terkekeh tanpa suara.     

Mereka berdua terdiam ketika aline lewat dihadapan mereka dengan satu tangan yang menggunakan handscoon dan memegang setengah kocher.     

"Kak aline! " tiba-tiba esti berteriak, ketika belum satu menit aline meninggalkannya untuk mencuci tangan. "pasien membiru! "     

Nita dan erin yang berada tidak jauh dari esti segera mendekat ke arahnya, melihat tubuh pasien dari ujung kaki sampai ke wajah membiru.     

Nita lebih mendekat disamping pasien, "ibu! "     

dia melakukan rangsangan respon kepada pasien dengan menepuk bahunya, tapi tidak berespon sama sekali.     

Tangan nya berpindah ke leher pasien untuk meraba denyut nadi, dan melirik ke arah aline yang berlari ke arahnya.     

"Cepat panggil dokter edwin! " nita bicara pada aline.     

"Esti pasang alat resusitasi dan oksigen,,, erin pasang ini! " nita memberikan alat oxymeter miliknya pada erin.     

Nita yang menunggu aline yang melapor dokter edwin, segera naik ke tempat tidur dalam posisi berlutut disamping leher dan bahu pasien.     

Dia begitu ketakutan karena pasien mengalami henti jantung. Dia menempatkan salah satu tumit tangannya ditengah dada pasien, satu tangannya berada diatasnya. Dia berusaha agar posisi sikunya sejajar, serta memposisikan bahunya pun sejajar diatas tangannya. Dia mulai berdoa, meminta kekuatan pada sang pencipta untuk melakukan tindakan resusitasi jantung paru pada pasien dengan bantuan keajaiban dari tuhan melalui tangannya.     

"Ayo, ibu bangunlah! " cetus nita dalam hatinya, seraya melakukan kompresi dada pasien.     

Dia begitu berusaha untuk membuat pasien yang beberapa waktu yang lalu mengintipnya dari balik tirai dan tersenyum padanya itu bernapas kembali.     

"Biar saya lanjutkan! " setelah beberapa kali melakukan kompresi dokter edwin yang kemudian menggantikan nita untuk melakukan tindakan tersebut.     

Ketika dokter edwin berhenti, nita mencoba membebaskan jalan napas pasien tersebut.     

"Aline, informasikan pada keluarga kondisi pasien dan hubungi dokter anestesi! "     

"Baik, dokter "     

Dia kembali melakukan kompresi dengan harapan yang sama dengan nita, pasien tersebut memberikan respon pada kompresi yang dilakukannya.     

Sesekali memandang ke arah nita yang berwajah cemas, dia sedang berusaha melanjutkan usaha yang nita lakukan sebelum dia datang. Mengubah wajah cemas nita menjadi senyuman ketika keajaiban itu tiba-tiba muncul...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.