cinta dalam jas putih

Aku dan ceritaku



Aku dan ceritaku

0"Axel! "     

Suara seorang laki-laki memanggil putranya itu, dengan suara yang khas yang sangat Nita kenal membuatnya seketika menoleh ke arah suara yang telah berdiri sosok lelaki berpakaian rapih dengan jas berwarna hitamnya serta sepatunya yang terlihat hitam mengkilat, dengan rambut klimis khas nya tersenyum lebar ke arah Nita.     

"Kenapa Wildan ada disini? " Tanya Nita dalam hatinya, tanpa dia sadari dia hanya berdiri dan mematung menanggapi kehadiran seseorang bernama Wildan di hadapannya kali ini.     

Merasa mendengar namanya di panggil Axel lalu menoleh ke arah sampingnya.     

"Om Dani! " Teriak axel senang, seketika beranjak dari duduknya dan berlari ke arah paman yang sudah lama tidak dia temui karena ayahnya selalu sibuk sehingga jarang sekali pergi ke rumah nenek.     

"Wah, sudah besar kamu sekarang.. " ucapnya seraya mengusap lembut rambut Axel, laki-laki itu sedikit membungkuk untuk mensejajarkan dirinya dengan tubuh Axel.     

Sesekali dia mencuri pandang ke arah nita yang masih berdiam diri di hadapannya.     

"Apa ayahmu sedang bermain golf? " Tanyanya pada axel.     

Axel menjawabnya dengan satu kali anggukan dan senyumannya, dia lalu membelitkan kedua tangan di leher pamannya.     

"Ini paman bawa dua coklat, satu untukmu dan satu untuk ibumu! "     

Seperti suatu kesengajaan dia berkata dengan volume yang bisa nita dengar, dia berharap Nita masih menyukai coklat seperti dulu ketika mengenalnya sebagai seseorang yang pernah dekat.     

"Ibu " dion menyela di antara kegugupan nita dan Wildan yang baru bertemu kembali setelah sekian lama.     

"Iya " nita terkejut dengan ucapan dion lalu menoleh ke arahnya.     

"Dokter yoga mengatakan saya harus menyiapkan laporan presentasi sekarang, saya harus kembali ke kamar hotel "     

Nita mengernyit, "kapan dia memberitahumu? "     

"Baru saja melalui pesan singkat " jawabnya.     

Nita segera berbalik dan menangkap sosok yoga yang masih sibuk dengan tongkat golf yang di ayun-ayunkannya untuk memukul bola kecil di hadapannya seolah-olah dia tidak melihat apa-apa pada dirinya.     

"Baiklah " jawab Nita tanpa mengalihkan pandangannya ke arah Dion, dia masih memperhatikan yoga dari kejauhan yang wajahnya tidak sedikitpun menoleh ke arahnya membuatnya memajukan bibirnya sepanjang lima centi.     

"Apa kabar? " Ketika Dion telah menghilang dari hadapan mereka Wildan melontarkan pertanyaannya pada Nita.     

"Baik "     

Nita memberi jawaban pendek dalam rasa canggungnya.     

'Tenang Nita... ' Suara lembut dalam hati Nita, 'bersikap biasa seperti sedang bertemu keluarga pasien, jangan kecentilan dan jangan kegeeran! ' dia lalu mencoba menarik nafasnya begitu dalam pun tanpa di lebihkan-lebihkan supaya terlihat sedikit lebih cantik dari biasanya.      

Karena yang dia hadapi sekarang ini adalah mantan yang menjadi keponakannya, bukan laki-laki biasa yang hadir dalam hidupnya.     

"Kejutan sekali melihatmu disini.. " Nita akhirnya berusaha mencairkan suasana menjadi lebih nyaman. Dia kembali duduk di kursi semula yang didudukinya.     

"Aku yang justru sangat terkejut " Wildan sepertinya sama seperti nita, mereka sama-sama terkejut dan juga kikuk ketika hari ini berhadapan kembali.     

"Sebenarnya dari seminggu yang lalu aku tahu paman akan datang ke hotel ini untuk suatu acara, tapi tidak tahu akan membawa kalian.. "     

Nita masih kebingungan dengan keberadaannya disini, "kamu sedang apa disini? "     

Wildan tertawa kecil, "aku sedang memata-matai istri dari pamanku! "     

"Jangan bercanda " ucap Nita, "jangan bilang kamu mau beli lapangan golf ini.. "     

Yang Nita tahu dari SMP Wildan itu selalu bicara padanya bahwa suatu hari nanti ingin membuat lapangan golf hasil karyanya sendiri maka dari itu dia bercita-cita kuliah di jurusan arsitek. Tapi dia akan menghilangkan ucapan Wildan yang akan membuat lapangan itu untuk Nita.     

"Iya aku mau beli lapangan ini, supaya aku bisa guling-guling melupakan masa lalu yang pahit! " Jawabnya seperti anak-anak alay jaman now.     

"Eaa,, " tanggap nita dengan wajah datar, "di gulain aja, Wil. Hidupnya gak maju banget! "     

Dibicarakan seperti itu oleh Nita, dia justru tertawa dan merubah suasana canggung dan kikuk mereka berubah.     

Dan Axel yang terduduk di tengah-tengah mereka sibuk mengurusi mainan-mainan yang menjadi hadiah dari coklat yang diberikan pamannya itu. Wildan pintar sekali mengatur keadaan dengan membuat anak kecil itu tidak fokus pada mereka tapi pada mainannya.     

Di sela-sela obrolan, mereka berdua mendengar suara ponsel yang berdering.     

"Kamu tidak mengangkat telponnya? " Wildan teraneh melihat nita yang hanya berdiam diri ketika mendengar suara ponselnya berbunyi.     

"Apa? Memangnya itu ponsel punyaku ya? " Nita justru balik bertanya dan membuka tas kecil yang dibawanya, ternyata memang ponselnya yang berbunyi.     

"Ternyata memang punyaku.. " nita menutupi rasa malunya dengan nyengir dan berwajah merah karena malu. Pasalnya dia pikir tadi tidak membawa ponselnya itu, karena kebiasaannya terkadang lupa menyimpannya.     

"Ponsel sendiri saja tidak tahu.. " Wildan menertawakannya dengan gelengan kepala.     

"Aku ke belakang sebentar.. " nita beranjak dari duduknya berjalan sedikit menjauh dari Wildan dan Axel.     

"Ibu...!! " Suara seseorang berteriak di ujung telpon menyakiti telinga Nita, dia menjauhkan sedikit ponsel dari telinganya itu.     

"Aku ganti video call " cetus aline, dia mengalihkan telpon suara menjadi video call.     

"Hallo ibu.. " Erin melambaikan tangannya. Ternyata dia memakai handphone milik aline untuk menelponnya.     

"Kenapa lama sekali mengangkat telponnya? " Tanya Erin pada nita. "Jangan bilang sedang ngobrol dengan mantan pacar! "     

Kedua mata nita membulat, "dokter yoga sedang golf dengan seniornya! "     

"Lalu laki-laki yang duduk disana siapa? " Tanyanya lagi. "Keren bu, mau dong aku di adopsi sama cowok itu.. "     

Nita menoleh ke arah belakangnya, dan tertawa ketika yang dimaksud olehnya itu adalah Wildan.     

"Dia keponakannya dokter yoga Erin! " Ucapnya, semua layar di ponsel dipenuhi oleh wajah dan tubuh erin dia tidak membuat celah sedikitpun untuk aline si pemilik ponsel.     

"Memang jiwa kegantengan dan keren abis itu turun temurun secara abadi... Pamannya ganteng keponakannya lebih ganteng! " Wajah Erin terlihat menangis tanpa air mata.     

"Dia mau tidak adopsi Erin yang hina ini, Bu? "      

Nita menahan tawanya, "kamu sudah melakukan yang aku katakan pada aline semalam kan? "     

"Iya ini habis olah raga " jawabnya, terlihat oleh Nita Erin akan memasukan sesuatu ke dalam mulutnya.     

"Tunggu dulu! " Nita menghentikan Erin.     

"Apa itu? " Tanya Nita.     

"Gorengan pisang,bu. Aku kelaparan habis jogging sudah jaga malam itu menyiksaku! "     

"Erin! " Geram nita, "katanya mau berubah tapi masih makan gorengan lagi, berapa yang kamu makan? "     

"Empat! " Tiba-tiba aline muncul di belakang erin,. Terlihat dia bersusah payah untuk bisa melihat Nita menggeser tubuh besar Erin.     

"Itu sedikit biasanya aku habis enam atau tujuh! " Erin membela diri.     

Ucapan Erin itu membuat Nita tepok jidat, dan menarik nafasnya dalam-dalam.     

"Katanya mau pendekatan sama laki-laki, mau langsing, tapi tidak bisa merubah pola makan! " Nita sepertinya akan pensiun dini saja dari misi besar kali ini.     

"Sainganmu nanti itu berat Erin, dia cantik, lemah lembut, mungil! Kalau sudah sakit hati nanti yang pusing denger tangisanmu siapa ayo? " Nita geram. "Aku juga yang pusing nanti.. "     

"Erin juga cantik, Bu " aline ikut bicara "kalau saingan dia lemah lembut, Erin itu lemah tidak berdaya jika menghadapi makanan! "     

"Mungil kalau dilihat dari sedotan, dilihatnya juga dari Monas! "     

"Ihh jahat nih! " Erin merengek, "berikan motivasi padaku bukan malah menghujam diriku! "     

"Ibu tahu, dia membuatku bangkrut? " Cetus aline pada Nita, "memang dia tidak makan berat semalam, tapi buah yang dimakannya apel satu kilo, jeruk satu kilo, semangka satu bulat! Aku menyerah kalau seperti ini.. "     

"Tidak perlu pakai berubah-berubah segala, bilang saja langsung sama Dion. Biarin dia nangis! "     

"Kak Aline " bujuk Erin dia terlihat menarik-narik lengan baju aline seperti seorang anak kecil yang meminta pada ibunya untuk dibelikan sebuah permen.     

Nita dibuat pusing oleh kedua stafnya ini bahkan ketika sedang berlibur pun masih terus dibuat harus memikirkan strategi tempur mendekati seorang laki-laki.     

"Erin dengar " ucap Nita, "aku sedang mencari cara bagaimana supaya Dion mengenalmu terlebih dulu, kita singkirkan dulu perubahan fisik yang memakan waktu lama itu. Tapi berubahlah sedikit lebih dewasa. "     

"Dan, ingat. Jangan menghubungi aku ketika aku sedang berlibur! " Ancam Nita, "atau kalian akan terkena undang-undang pasal perkara perbuatan tidak menyenangkan karena mengganggu liburanku! "     

"Dan sanksinya kalian akan mendapat mutasi! " Lagi-lagi Nita memberikan ancaman karena kekesalan, "bukan main-main mutasinya pun ke ruang washrey supaya di cuci setiap hari! "     

Dia lalu segera memutuskan sambungan video call dengan erin, dia komat-kamit sendiri karena sudah dibuat kesal oleh kedua sahabatnya itu.      

Dia lalu kembali duduk dengan bibirnya yang masih terkunci karena kesal.     

"Bimoli banget.. " Wildan mengomentari Nita yang kesal dengan bibirnya yang monyong lima centi tapi tetap imut itu.     

"Diam saja! " Cetus Nita tidak berselera humor saat ini.     

"Kamu tidak bekerja? Kenapa masih disini? " Lalu nita bertanya tentang pekerjaan Wildan.     

Lagi-lagi Wildan hanya membalasnya dengan senyuman. Dia sebenarnya ingin mengatakan bahwa pekerjaannya hanya mengawasi semua pegawai hotel, dan memastikan konsumen puas. Tapi rasa takut terlihat menyombongkan pekerjaan muncul jadi dia memutuskan untuk tidak menjawabnya.     

"Kamu masih ingat sewaktu pertama kali kamu pindah ke sekolahku? " Tanya Wildan mencoba membuat obrolan yang akan membuat dia dan nita mengenang masa SMP dulu.     

"Kenapa? " Nita balik bertanya.     

"Irfan yang suka intipin rok teman-teman perempuan yang kamu kunci di kelas, masih ingatkan? "      

Nita tertawa kecil, menertawakan kenakalannya sewaktu SMP dulu.     

"Kamu masih ingat ketika mau ujian nasional cuma foto kamu saja yang hilang di tanda pengenal yang ditempel di meja? "     

Nita lagi-lagi dibuatnya tertawa mengingat kejadian dulu, sampai sekarang pun hilangnya foto milik nita tidak terjawab. Dia sampai harus dimarahi oleh guru BP karena kesalahan yang sama sekali tidak dilakukannya.     

"Aku masih ingat yang membuat kita dekat dulu? Semua pertanyaan Wildan seperti ingin memunculkan memori yang telah usang.     

"Berhenti, dari tadi bertanya terus seperti bapak guru saja! " Cetus Nita tidak melanjutkan kembali obrolan mereka tentang masa lalunya.      

Lalu akhirnya mereka terdiam...     

Mata nita menerawang jauh ke seluruh hamparan hijau yang terbentang di hadapannya, pertanyaan Wildan itu secara tidak langsung mengingatkan nita pada kejadian yang tidak terduga yang membuatnya menjadi dekat dengan Wildan.     

***     

Suasana sejuk menyertai langkah nita kecil pagi ini, pakaian putih biru dengan membawa tas gendong berwarna hitam di punggungnya . Rambutnya terurai lurus sebahu, jarak dari jalan raya tempatnya turun dari angkutan umum lumayan jauh dan sedikit menanjak.     

Dia harus berjuang berjalan kaki untuk bisa sampai di gerbang SMPN 6 Garut, kota baru yang harus dia hadapi ketika seluruh keluarganya berpindah.     

"Hei, kanita lihat itu Yusuf melihat ke arah kamu terus! " Kiki teman sebangku Nita di kelas 3G memberitahukan padanya bahwa laki-laki yang duduk paling ujung di jajaran yang sama dengan Nita senyum-senyum ke arahnya.     

"Iya.. " tanggapan Nita begitu datar, dia masih sibuk menulis ulang tugas matematika karena tadi tidak berkonsentrasi.     

"Kanita " telah berdiri sosok Rudi teman satu kelasnya di hadapan Nita.     

"Nanti sepulang sekolah di ajak pulang bareng, Yusuf bilang kamu boleh jajan apa aja nanti dia yang jajanin! "     

Nita mengernyit, "banyak uang tuh, tapi pasti dikasih sama orang tuanya! "     

"Kamu boleh jajan cireng, bakso, mie ayam boleh. Mau boneka yang besar juga boleh pasti Yusuf yang beliin! " Lagi-lagi Rudi mencekokinya dengan tawaran yang menggiurkan pada masanya.     

"Tapi kamu jadi pacarnya Yusuf dulu! "      

Nita mengernyit, "aku sudah punya pacar, bilang sama Yusuf. Pacar aku juga sekolah disini! "     

Nita berbohong pada teman sekelasnya itu, dalam pikirannya kenapa juga masih kecil harus memikirkan pacaran. Mengerjakan pekerjaan rumah saja masih berjamaah di kelas sebelum bel berbunyi, menulis saja masih menggunakan pensil. Sudah mau punya beban memikirkan pacar. (Jaman kita menulis menggunakan pulpen itu sewaktu masuk SMA ).     

"Awas ya kalau pulang sekolah nanti kabur! " Ancam Rudi pada Nita, membuat Nita yang terkenal pendiam ketika itu menjadi ketakutan karena ancaman Rudi padanya. Membuat Nita tidak berkonsentrasi di pelajaran terakhirnya, dia terus saja mengikuti jarum jam yang berputar sampai-sampai matanya pusing karena terus mengikuti arah jarum jam tersebut.     

"Aku harus cepat kabur! " Cetus Nita ketika mendengar bel pelajaran terakhir berbunyi, dengan cepat dia memasukan buku-buku miliknya ke dalam tas dan dia pun berjalan cepat kearah luar keras.     

"Kanita! " Teriak Rudi dari arah pintu kelasnya berdiri bersiap mengejar Nita.      

"Argghh...! " Nita seketika berlari ketakutan, jarak kelasnya yang lumayan jauh ke arah gerbang membuat dia kebingungan kemana harus mencari jalan keluar untuk kabur yang lebih dekat, ketakutannya bertambah ketika melihat Yusuf dan Rudi mengejarnya.     

"Toilet! " Cetus Nita menemukan tempat yang menurutnya aman, dia langsung masuk kedalamnya tanpa memastikan siapa yang berada di dalam.     

Matanya menangkap sosok Wildan yang begitu dia hapal berdiri membelakanginya tengah buang air kecil menyadari kehadiran Nita. Dan mereka berdua secara bersamaan berteriak dengan wajah yang memerah.     

"Aku tidak lihat sumpah! " Nita lalu      

menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.     

"Kenapa masih berdiri disitu? " Wildan bicara tanpa melihat Nita, sepertinya dia sudah terlanjur buang air kecil dan tidak dapat menahannya.     

"Berbalik kebelakang! " Cetus Wildan bukan main malu mengetahui Nita berdiri di belakangnya disaat yang genting.     

"Ah, iya aku lupa.. " Nita segera berbalik sesuai dengan arahan Wildan padanya.     

"Kenapa masuk toilet laki-laki! " Dia menangis dalam hatinya, "yang di dalamnya Wildan pula.. " lengkap sudah penderitaannya, dikejar dua laki-laki yang jadi penguasa di kelasnya karena orang kaya, salah masuk toilet dan melihat Wildan...     

Wajah Nita terlihat kusut, dia tidak berani keluar dari toilet dan berdiri di balik pintu toilet. Dia melihat Rudi dan Yusuf yang masih mencarinya sudah sampai di lapangan tepat di depan toilet yang Nita jadikan tempat untuk bersembunyi.     

"Rudi dan Yusuf mengganggumu lagi? " Tanya Wildan dari belakangnya, sepertinya dia telah selesai buang air kecil.     

"Aku tidak mengacaukan acara seriusmu kan? " Tanya Nita, dia malu jika harus mengatakan buang air kecil pada Wildan.     

Terdengar tawa kecil Wildan, "untung tidak basah celanaku, kalau basah aku minta ganti rugi sama kamu! "     

"Kamu mau aku ganti rugi dengan rok seragam milikku? "      

Pertanyaan Nita itu membuat tawa Wildan muncul kembali, dia tahu nita ketakutan untuk pulang karena kedua bocah tengil itu terus saja mengganggunya sejak waktu istirahat tadi.     

Setelah berdiri cukup lama di dalam toilet bersama Wildan dan memastikan kedua cecunguk itu pergi mereka keluar dari toilet. Momen seperti ini dulu adalah yang paling romantis menurut nita.      

"Ayo pulang denganku " ajak Wildan meraih tangan Nita dan menuntunnya untuk berjalan bersama dengannya.     

"Besok aku bilang pada mereka untuk tidak lagi mengganggumu " ucapan seorang ksatria putih biru yang diwakili oleh Wildan itu membuat jiwa remaja Nita klepek-klepek karena seorang laki-laki yang melindunginya kali ini.     

"Kita berjalan kaki supaya bisa bicara lebih lama, bagaimana? "     

Nita menjawab dengan anggukan, saat itu di pikirannya sama sekali terlintas bahwa alasan dia berjalan kaki itu entah karena dia sudah kehabisan uang jajannya atau memang ingin lebih lama bersama Nita. Kepolosan menghapus semua pikiran negatif itu. Bahkan perjalanan yang cukup jauh itu pun terasa seperti sangat pendek, obrolan mereka terasa sangat singkat karena nita telah sampai di depan rumahnya.     

"Terima kasih sudah mengantarku! " Senyuman manis terukir di wajah Nita.     

"Sama-sama " Wildan senang sekali memandangi senyum Nita, "aku boleh menulis surat untukmu besok? "      

"Iya " Nita dengan cepat menjawabnya, tentu saja dia tidak akan menolak di beri surat oleh laki-laki keren di kelasnya. Walaupun dia belum tahu apa isi dari surat yang baru akan dibuatnya malam ini, dia sudah terlanjur bahagia walaupun isi dari suratnya adalah surat tagihan listrik rumah. Asalkan Wildan yang memberikannya dia pasti senang.     

"Nenek!! " Teriak Nita masuk ke dalam rumah ketika Wildan telah pulang.     

Nita merintih kesakitan memijit-mijit kedua kakinya, "pegal sekali... "     

Dia lalu masuk ke dalam kamarnya, melemparkan tas miliknya tepat diatas meja belajarnya. Membaringkan tubuhnya mendekat ke arah tembok untuk meninggikan posisi kedua kakinya yang pegal karena harus berjalan panjang bersama Wildan tadi.     

Keesokan harinya ketika Nita membaca buku yang dia pinjam di perpustakaan di kelas seseorang menyimpan amplop tepat di lipatan bukunya.      

"Besok balas Suratku " ucap wildan pelan agar tidak terdengar oleh teman-teman sekelas yang sedang beristirahat.     

Nita tersenyum menganggukan kepalanya, dia lalu menyimpan sebuah amplop berwarna biru dengan harum bunga kedalam tas nya. Itu semakin membuatnya ingin cepat-cepat berada di rumah agar dapat dengan cepat membaca dan menulis balasannya.      

Setiap hari seperti itu terus menerus, jika temannya yang lain jalan-jalan dengan pacar mereka. Nita dan Wildan hanya cukup lewat surat pun sudah mewakili perasaan mereka.     

"Kanita, Wildan itu pacaran sama Nuri adik kelas! " Kiki teman sebangku nita memberitahukannya apa yang sudah dilihatnya.     

"Namanya Nuri, dia cantik, semua menyukainya karena lemah lembut. Tapi cuma Wildan yang dia terima.. "     

Nita terdiam tidak menjawab semua yang dibicarakan oleh temannya itu, jika Kiki mengatakan bahwa Nuri itu cantik, nita melontarkan pertanyaan untuk dirinya sendiri. Bukankah aku juga cantik? .     

Sampai akhirnya Kiki mengajak nita untuk membuktikan ucapannya, karena memang beberapa hari ini Wildan tidak mengantarnya pulang. Dan ternyata dia pulang bersama Nuri, dengan metode yang sama dengannya berjalan kaki saja.     

Nita bukan main marahnya, terlihat dari wajahnya yang memerah. Dia segera masuk ke dalam kamar untuk menyendiri, membawa satu buah kantong plastik hitam dan memasukan semua surat yang Wildan tulis untuknya. Dan melemparnya ke tempat sampah berasama kenangannya, menangis sejadi-jadinya.     

Dalam waktu beberapa hari dia larut dalam kesedihan, dia hanya lupa ketika sedang makan. Dan selanjutnya dia harus merasakan sedih kembali sampai waktunya ujian nasional dan mereka dinyatakan lulus dan dapat melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya.     

Dan setelah Wildan lelaki baik yang  telah tergoda oleh wanita yang cantik dan lemah lembut dan membuat luka pada hati Nita.     

Ketika dia menceritakannya pada nenek, ada nasehat indah yang selalu diingatnya sampai saat ini.     

"Tidak ada kejadian yang di takdirkan tuhan hanya untuk menghiasi kehidupan semata saja, selalu ada pembelajaran penting dibaliknya. Jika Tuhan memberikanmu hidup panjang maka dia juga menginginkanmu untuk berpikir panjang ke masa depan, berpikiran positif lah pada tuhan, dan pada orang-orang di sekitarmu.. "     

Nita begitu senang ketika sang nenek memberikannya nasehat-nasehat yang membuat hidupnya nyaman.     

***     

Dan Nita pun membawa dirinya kembali ke masa depan dimana terlihat yoga yang berjalan ke arahnya, dia melihat ke arah jam di tangannya yang menunjukan pukul delapan pagi.     

"Paman " Wildan memberi pelukan pada yoga ketika dia berada tepat di depannya.     

"Sudah lama sekali baru melihatmu.. " yoga tersenyum ke arah wildan, "kabar kakak bagaimana? "     

"Sehat " jawab Wildan, "bagaimana kalau kita sarapan bersama di hotel? "     

"Boleh " yoga menyetujuinya sambil sesekali menoleh ke arah Nita yang tengah membersihkan tangan axel dari coklat yang dimakannya tadi. Senyuman terlihat di wajahnya melihat suasan yang membuatnya tentram.     

"Aku telpon Dion untuk ikut sarapan " yoga mengeluarkan ponsel miliknya dari saku celananya.     

"Jangan, biar aku saja yang panggil! " Cetus Nita dengan wajah menghiba ke arah nya, dia harus berhasil mendapatkan persetujuan Dion untuk memberikan nomor ponselnya pada Erin. Atau dia akan terus di teror oleh kebisingan celotehan Erin.     

Yoga tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya, "Dion di lantai... "     

"Lantai enam nomor enam kosong delapan! " Nita mendahului ucapan yoga yang menunjukan kamar Dion, dia sudah tahu lebih dulu karena Axel yang memberitahunya.     

"Terima kasih sayang! " Dia lalu mendaratkan ciuman kilat di pipi yoga sebelum akhirnya bergegas berjalan ke arah lift.      

Yoga terkejut dengan ciuman di pipinya yang Nita berikan di depan umum dan keponakannya yang berubah menjadi berwajah sangat tidak nyaman.     

Akan tetapi dia sedang ingin tersenyum tidak mempedulikan keponakannya itu, dia hanya sedang senang karena tindakan Nita kali ini membuatnya berbangga mendapatkannya...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.