Cinta seorang gadis psycopath(21+)

DEJAVU



DEJAVU

0Sejak kemarin, tepatnya saat Axel hanya sebentar di perusahaan, dan tidak begitu memberi kabar kepadanya, Alea merasa ada yang tidak beres dengannya. Benar dia merindukan Axel. Setelah menghabiskan seharian lebih dengan Axel di Vila, ia ingin terus selalu bersama. Tapi, sepertinya hari ini dia tidak akan datang ke perusahaan karena sudah bilang kalau hari ini akan menghadiri pengesahan direktur baru untuk yang di Bandung. Menghandle sendiri banyak perusahaan dengan jarak tempat yang berjauhan cukup membuatnya keteteran. Akhirnya, ia menyerahkan perusahaan itu untuk dipimpin oleh Andra.     

Alea rebahan di atas ranjang sambil mendengarkan music. Ingatannya melayang ke mana-mana. Sebagai seorang gadis yang tengah kasmaran, ia bahkan tidak hanya mengingat masa-masa bahagia yang ia lakukan dengan Axel. Melainkan juga saat-saat bersama Andra. Senyum, canda tawa pria itu.     

'Ah, kenapa di dalam hatiku terasa sakit begini. Semacam ada rasa tak terima kehilangan dia. Andra. Semoga kau baik-baik saja di sana, ya? tetap ingat aku jangan sampai lupakan aku,' batin Alea.     

"Tok… tok… tok!" Gadis itu seketika menoleh kea rah pintu.     

"Iya," jawabnya. Sebab, ia tidak tahu siapa yang mengetuk pintu kamarnya. Biasanya mamanya. Tapi, sejak kejadian itu, Jevin menginap di rumahnya.     

"A… Alea," sahut suara seorang laki-laki dari luar sana.     

Seketika gadis itu pun beranjak saat mendengar suara yang jarang di dengar itu. begitu pintu terbuka lebar, Alea menjabut pria tinggi besar berpakaian pyama itu dengan senyuman semringahnya. "Ya, Ayah. Ada apa mencariku?"     

"Jalan-jalan Alea, ayuk!" ucapnya. Seperti anak kecil.     

"boleh. Alea ambil sweteer dulu, ya Yah," jawab Alea karena ia kebetulan hanya mengenakan celana pendek da tang top saja.     

Tidak lama kemudian, gadis itu pun pergi jalan-jalan ke area komplek. Sebenarnya dia enggan mengajak ayahnya untuk jalan-jalan. Hanya saja, dengan demikian, orang yang melihatnya akan simpati. Memuji kebaikannya sebagai anak yang berbakti. Jika sudah demikian, siapa yang akan menyangka kalau dia adalah penyebab ayahnya menjadi gila, dan sekarang menjadi idiot.     

Banyak mata yang memandang mereka, akhirnya Alea merasa tidak tahan ia oun mengajak ayahnya untuk pulang. "Ayo kita pulang ayah. Nanti, jam setengah delapan Alea sudah harus pergi bekerja."     

Pria itu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk patuh layaknya anak kecil yang penurut. Namun, ada kalanya juga jika sudah menginginkan sesuatu, ia tidak bisa dilarang lagi. Jadinya tantrum. Tantrunya bocah bisa dengan mudah diatasi. Tapi, jika sudah dewasa begini, dia juga lebih kuat. Semua akan kwalahan. Hanya suntik obat penenang lah yang selalu diandalkan jika Alea tidak ada di rumah.     

****     

"Andra, selamat atas jabatanmu sebagai direktur di sini. Kerja baik-baik. Di tanganmu saya percaya kalau anak perusahaan PT. JAYA ABADI bisa berkembang dengan baik," sapa Axel sambil menjabat tangan Andra dan memberikan pelukan.     

"Terimakasih, Pak Max. Anda terlalu berlebihan. Tapi, saya akan berusaha sebaik mungkin agar tidak mengecewakan anda."     

"Saya percaya padamu." Axel menepuk sebelah bahu Andra.     

"Xel. Apakah acaranya sudah selesai? Bisakah kita pergi jalan-jalan sekarang?"     

Dua pria yang barusaja terlibat dalam obrolan langsung menoleh ke sumber suara itu. seorang gadis memakai dress batik sebawah lutut dipadu dengan manik-manik dan batu blue safir senada dengan warna batiknya nampak sangat menawan dan berkelas.     

"Wulan, kemarilah! Dia adalah andra. Direktur di sini."     

"Wulan, senang bertemu dengan anda," sapa gadis itu sambil mengulurkan tangannya pada Andra yang bengong memandang Wulan.     

Karena Andra tak kunjung merespon, Axel pun berdehem untuk mengkode Andra agar tidak melamun dan bengong memandang Alea seperti itu. "Ehem!"     

"Maaf. Saya Andra. Senang juga bertemu dengan Andra."     

"Xel… " belum juga Wulan menyelesaikan kalimatnya, dia sudah memberi isyarat agar diam dulu. Sebentar lagi, ia akan mengajaknya ke mana pun dia mau.     

"Dia adalah adik sepupuku. Tapi, sejak kecil, kami tumbuh bersama. Jadi, manjanya sudah seperti adek sendiri," ucap Axel.     

"Oh, iya Pak."     

"ya sudah, kalau begitu, kau bisa langsung bekerja. Aku akan mengajaknya jalan-jalan dulu sebelum kembali ke Jakarta. Karena, secepatnya ia akan segera kembali ke luar negeri."     

"Baik, Pak. Terimakasih."     

Saat Wulan dan Axel pergi meninggalkan tempat tersebut sambil bergandengan tangan Andra terus memperhatikan Wulan. Bahkan, gadis itu juga menyempatkan diri menoleh ke belakang. Kemudian tersenyum Ketika pandangan mereka bertemu.     

"Pak, client sudah menunggu anda di aula gedung pertemuan. Apakah anda bisa menemuinya sekarang?" ucap Sisca. Rekan kerja Andra dari sejak masih di Jakarta yang kini menjabat sebagai sekertarisnya.     

"Oh, iya. Terimakasih." Andra merapikan dasinya kemudian meninggalkan tempat tersebut bersama Sisca.     

"Terimakasih atas waktunya, pak Andra. Semoga, Kerjasama kit aini memberi banyak keuntungan diantara dua belah pihak."     

"Saya juga berterimakasih pada anda, Pak Soeseno."     

Andra membalas lambayan tangan cliennya sambil tersenyum sampai mereka masuk ke dalam mobil Alphard hitam yang sudah menunggu di depan halaman.     

"Semoga ini awal yang baik. Di hari pertama kau menjadi seorang direktur perusahaan, kau bahkan sudah berhasil menjalin kerja sama dengan perusahaan elektro ternama di sini," timpal Sisca.     

"Iya, semoga saja."     

"Kau nampak terpesona pada adik pak Max. Apakah kau berfikir untuk menjalin persaudaraan dengannya?"     

"Ah, kau ini bicara apaan, sih Sis? Ngaco saja."     

"Cint aitu tidak mengenal kasta, Pak. Kulihat, adiknya juga seperti memberi kode lampu hijau."     

"Haaaah!" Andra menghela napas panjang sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Kemudian berbalik badan memandang Sisca. "Tunggu jam kerja usai. Aku akan menjitak kepalamu. Ayo! Kerja kerja!"     

Sisca hanya tertawa terhan geli melihat ulah temannya yang terkesan lucu dan unik. Tapi, Sisca akui. Semenjak dia ditugaskan bersama Andra untuk menjadi pengawas, dia jadi jarang melakukan joke apalagi bercanda dan tertawa. Membuat kewibawaannya sangat meningkat. Jika saja mereka tidak sering menghabiskan hari-hari bersama. Mungkin Sisca sendiri juga akan merasa sungkan padanya.     

Di dalam ruangan kembali Andra memikirkan Wulan. Ia nampak familiar dengan wajah itu. 'Siapa dia sebenarnya? Kenapa aku erasa kalau gadis itu tidak asing, ya? Seperti pernah melihatnya saja di suatu tempat. Tapi, di mana?' cukup lama Andra memikirkan tentang Wulan. Tapi tetap saja ia tidak mengingat apapun. Sampai tanpa terasa waktu sudah menunjukkan jam istirahat.     

'Kenapa males banget buat ke cafetaria. Apa mending minta tolong sama OB saja, ya?' batin Andra. Akhirnya, ia pun meminta OB untuk membelikan pesanannya. Sementara dia masih tetap berada di dalam ruangannya sambil menelfon ibunya yang kini masih berada di Jakarta. Sebenarnya ia sangat ingin sekali ibunya ikut bersamanya ke Bandung. Hanya saja, karena masih dalam masa terapi, terpaksa Andra membiarkan ibunya ke sana. Dia sebagai anak mengalah pulang pergi dari Jakarta ke Bandung.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.