Cinta seorang gadis psycopath(21+)

PENYAMARAN



PENYAMARAN

0"Kamu tidak pengen makan nasi, Wulan?" tanya Axel yang sejak tadi menemani Wulan menikmati jajanan khas Bandung.     

"Tidak. Nanti, jika aku makan nasi, aku tidak puas menikmati makanan-makanan yang ada di sini."     

Axel tersenyum tipis. Kemudian menjitak pelan kening Wulan dengan jari telunjuknya. "Dasar kau seperti anak kecil saja. ini hanya aci yang diolah. Bagaimana kau bisa menyukai makanan seperti ini?"     

"Karena di US tidak ada makanan seperti ini. Aku sejak kecil juga tidak pernah diizinkan makan makanan seperti ini sama mama."     

"Oke. Kamu puas-puasin saja makannya. Akubebaskan kamu kali ini."     

"Bisakah kau berjanji tidak mengatakan ini pada mama?"     

"Tentu saja. aku tidak akan pernah katakana hal ini pada tante Vivian. Asal, tetap jadila anak baik yang penurut, oke?" Axel merangkup Pundak Wulan dan mengajaknya berjalan terus mengelilingi wisata kuliner.     

"Kau memintaku menurut. Apakah aku juga tidak boleh protes saat kau menjalin hubungan dengan psikopath itu, Xel? Aku melakukan itu juga demi kamu," jawab Wulan dengan sedih.     

Axel diam sejenak. Ia tetap berusaha tenang. Sebenarnya ia tidak bermaksut membuat Wulan sedih. Tapi, entah kenapa tiba-tiba ia membahas soal Alea kembali. Di hari sebagahia ini bahkan ia masih bisa ingat akan karya yang Alea tuliskan itu.     

"Wulan. Kenapa kamu segitunya sih sama Alea? Kita tidak memiliki bukti yang cukup kuat. Banyak kan, penulis yang menuliskan tentang ilmu kedokteran dalam novelnya. Tapi, dia bukanlah seorang dokter. Sudahlah. Kau nikmati saja liburanmu kali ini, jangan memikirkan sesuatu yang tidak perlu, oke?"     

"Akum au balik ke Jakarta saja sekarang. Aku merasa lelah dan sudah sangat kenyang."     

'Haaaah! Ngambeg, lagi,' batin Axel. Tapi, ia tidak bisa menunjukkan kekesalannya terhadap Wulan. "Apakah kau yakin?"     

"Iya. Kenapa tidak? Jika kau masih ingin di sini, tinggal saja. aku bisa pulang sendiri."     

"Baiklah, kita akan kembali sekarang."     

Selama perjalanan Wulan juga lebih banyak diam. Ia membuang wajahnya menghadap ke arah Jendela. Sesekali Axel juga menoleh memandang Wulan yang sedang dalam suasana hati buruk.     

"Tadi dia itu menelfon untuk sekdar membahas soal pekerjaan saja. tidak ada hal yang lain kami bahas."     

"Untuk apa kau mengatakan itu padamu? Bukankah aku tidak butuh penjelasan darimu?"     

"Kamu berfikir kalau aku dekat dengannya, kan?"     

"Kalau memang iya, ya sudah akui saja. atas dasar apa juga aku melarang dan membatasi dirimu?"     

"Karena kau peduli denganku."     

Wulan menyeringai. Ia masih enggan memandang Axel. Melirik saja tidak. Apalagi menoleh.     

"Terimakasih, ya?"     

"Untuk apa?"     

"Untuk perhatianmu. Meskipun aku menjalin hubungan sama Alea, aku tetap jaga jarak, kok."     

"Terserah kamu saja, lah. Kenapa kamu harus laporan sama aku? sedekat apa juga aku gak peduli."     

Di sebuah rest area jalan tol Axel mengehentikan mobilnya. Tanpa mengatakan sepatah kata pun pria itu melepas ikatan sabuk pengan. Menggeser tubuhnya mendekati Wulan yang masih buang muka. Tiba-tiba dia memeluk wulan erat.     

"Apa yang kau lakukan?" ucap Wulan dengan suara melemah. Tapi, sedikitpun gadis itu tidak memberontak.     

"Aku minta maaf sama kamu. Semoga, ini segera terlewatkan, oke?"     

"Hik…. Hik… kenapa kau harus meminta maaf padaku?" jawab Wulan sambil terisak dalam pelukan Axel.     

"Aku akui, aku bersalah sama kamu."     

'Merasa bersalah atas apa memangnya, Xel?' batin Wulan.     

"Ya sudah, aku turun isi bahan bakar dulu, oke? Kamu mau turun, atau tetap di sini saja?" tanya Axel dengan lembut.     

"Aku akan menunggumu di sini saja."     

"Baiklah. Sudah, jangan nangis lagi. Kau sangat jelek sekali jika sedang menangis seperti itu," ledek Axel. Kemudian keduanya tertawa dan Axel pun turun. Tidak berselang lama, pria berambut pirang itu kembali dengan dua botol soft drink dingin di tangannya. "Minum?"     

"Boleh. Terimakasih."     

Karena sudah lelah seharian jalan-jalan dan pulang pergi dari Jakarta ke Bandung, Wulan langsung menuju kamar dan tidur saat tiba di rumah. Dugaan Axel benar. Mamanya pasti tidak sedang ada di rumah. Dia pasti sudah akan bertemu dengan teman-teman sosialitanya. Lagipula, apa yang akan dilakukan olehnya di rumah? Setelah lama bekerja dan merasa lelah, y aitu satu-satunya hal yang akan membuat dirinya merasa senang. Suami… papanya Axel sudah lama meninggal. Bermain dengan anaknya, anaknya juga sudah sibuk dengan bisnis keluarga peninggalan dari mendiang papanya.     

"Tuan, mau bibi buatkan kopi?" tawar bibi pengurus rumah saat melihat Axel nampak membaca berkas dari dalam sebuah map berwarna biru.     

"Boleh, Bi.tolong buatkan kopi hitam murni saja, ya? Jangan dikasih gula," jawab pria itu dengan santun kemudian pandangan matanya kembali tertuju pada berkas yang ada di tangannya.     

"Silahkan kopinya, Tuan!"     

"Terimakasih ya, Bi." Bahkan Axel buru-buru meletakkan pab biru tersebut di atas meja hanya untuk menerima kopi dari bibi pengurus rumah. Meskipun statusnya hanyalah seorang asisten rumah, sejak Kkecil pria itu sudah dididik oleh kedua orang tuanya agar menghargai orang yang lebih tua. Bukan yang lebih kaya.     

Sekitar setengah jam, Axel menerima panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Dengan cepat pria itu menerima panggilan itu.     

"Halo!" jawabnya dengan tegas.     

" …. "     

"Baik aku akan segera ke sana. Tunggu saja." Dengan cepat Axel masuk ke dalam kamarnya mengganti pakaian menjadi pakaian casual. ia memakai celana jeans hitam, topi, sepatu yang juga hitam serta hodie sewarna. Setelahnya, ia masuk ke dalam kamar Wulan. Ia melihat gadis itu tengah tertidur pulas. Mungkin saja benar, dia lelah. terutama hatinya. Dengan sedikit keraguan, Axel memberanikan diri mendekatkan wajahnya ke wajah Wulan dan mengecup keningnya. Kemudian ia pergi untuk menemui penelfon misterius tersebut.     

Di sebuah restoran, Axel menemukan sosok berpakaian persis dengannya. Hanya saja, ia mengenakan hodie warna putih tanpa memakai topi. Wajahnya nampak tenang, usianya juga terlihat masih sangat muda. Pakaiannya modis. Jeasn yang dikenakan saja juga model sobek di kedua lututnya.     

"Sudah lama menunggu?" tanya Axel datar.     

"Lumayan. Kurasa, kau harus memberiku income tambahan karena terlalu lama menunggu sampai aku jadi santapan mata-mata wanita yang mengagumi ketampananku."     

"Stop, Levi! ini bukan saatnya untuk narsis."     

"Bukan narsis. Aku merasa tak nayaman dengan tatapan itu."     

"Aku tambah sepuluh persen, bagaimana?"     

"Ah, Mr. Wiliam memang the beast!" puji Levi sambil tertawa.     

"Maaf, Mas. Saya tidak sengaja!" ucap seorang gadis yang tanpa sengaja menumpahkan minumannya mengenai celana Axel.     

"Tidak masalah!" jawab Axel dengan santai. Namun, Ketika ia melihat wajah gadis itu, ia sempat melotot kaget. Dalam hati ia mengumpat, 'Kenapa dunia sangat sempit sekali?' beruntung dia memakai masker.     

"Wil, ini contoh skripsi yang kau pinta ada di dalam flash disk ini. Kau lihat saja. semoga kau bisa segera lulus dan bekerja," ujar Levi menyerahkan benda kecil berwarna putih pada Axel. Kemudian ia buru-buru pergi tanpa memesan apapun.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.