Cinta seorang gadis psycopath(21+)

ARWAH WANITA



ARWAH WANITA

0"Kalau dilihat dari suara dan matanya, seoertinya om Rafi kerasukan arwah, Jev," ucap tante Yulita dengan tatapan kosong sambil memegang erat gelas dengan kedua tangannya.     

"Jevin takut untuk berkata demikian. Tapi, kira-kira arwah siapa, Tante? Bukankah selama ini Tante tidak pernah memiliki musuh? Hubungan social dengan orang sekitar juga baik-baik saja," jawab Jevin.     

"Yang jelas itu adalah arwah wanita yang pernah memiliki hubungan dengan om Rafi di belakangku, Jev. Siapa lagi? Dia berkata kalau Rafi hanya mencintainya. Hidup bersamaku hanya terpaksa saja."     

Jevin terdiam sesaat. Ingatannya mengembara ke masa lalu. Tanpa sengaja, ia pernah mendengar ibunya berkata pada om Rafi agar menceraikan tante Yulita saja. namun, tante Rafi menolak dengan alasan sayang dengan Alea. "Apa mungkin itu arwah mendiang mamaku, Tante?" tanya Jevin ragu-ragu. Ia berharapnya sih tidak. Kalau saja benar demikian, sugguh, mendiang mamanya sangat tidak tahu malu sekali.     

"Tante tidak tahu. Tapi, tante kurang yakin jika itu tadi adalah mendiang mama kamu, Jev. Dia sudah mengakui kesalahan, dan meminta maaf di akhir hayatnya. Jika pun benar, kenapa baru sekarang? Tidak sejak dulu saja? bukankah sudah lama mamamu tiada?"     

Jevin diam terpaku. Apa yang dikatakan oleh tante Yulita memang ada benarnya.     

"Atu, menunggu om Rafi depresi agar mudah dirasuki? Dia sudah tigabulan lebih depresi seperti orang gila. Kenapa baru sekarang?"     

"Sabar, ya Tnte. Apakah mala mini Alea tidak akan pulang? Jevin akan menginap di sini saja kalau begitu. Khawatir nanti ada apa-apa agar Tante tidak sendirian."     

"Terimakasih, Jev. Tante sendiri tidak tau Alea pulang apa tidak."     

"Biar Jevin yang menelfonnya. Tante tenangkan saja dulu pikirannya," ucap pria itu kemudian pergi ke ruang tamu. Tidak nyaman saja jika di dengar oleh tante Yulita meskipun mereka nanti tidak akan membahas sesuatu yang bersifat rahasia.     

***     

"Kau mengganggu aku bicara," ucap Alea dengan manja sambil memukul lengan kekar Axel yang sejak tadi melingkar di perutnya.     

"Siaoa memang yang telah menelfonmu barusan? Aku dengar dia adalah sainganku," ucap Axel di belakang telinga Alea.     

"Sudah berapa kali sih aku katakan sama kamu kalau aku dan Andra hanya sebatas teman?" jawab Alea lagi sambil memalikkan tubuhnya berhadapan dengan Axel.     

"Apakah salah, jika pria cemburu pada laki-laki yang dianggap teman oleh pacarnya tapi, diam-diam dia juga menyimpan perasaan yang sama denganku?"     

"Baiklah, aku akan jaga jarak dengannya. Tapi, berjanji sama aku, jangan kaya gitu lagi, oke?"     

"Begitu bagaimana?"     

"kau menimbulkan suara aneh dan membuat lawan bicaraku curiga."     

"Oh, ya? memang bagaimana suaraku? Aku merasa tidak mengeluarkan suara apapun."     

"Kau mencium leherku, aku geli!" pekik Alea jengkel dengan suara yang sedikit tinggi.     

"Hahaha! Maafkan aku. oke aku mengaku salah. Sekarang, kau bebas melakukan apapun padaku sebagai hukuman," ucap Axel.     

"Aku melakukan apapun terhadapmu? Memang, apa yang akum au apa?" tanya Alea bingung.     

"Mau menciumku missal… boleh, kok. Aku tidak akan melawan."     

"Dasar, kau! Tidak aku tidak mau," ucap Alea sambil memukul Axel dengan bantal sofa di depannya kemudian beranjak pergi menuju halaman belakang.     

"Baiklah jika kau tidak mau, maka biarkan aku yang akan menciummu," teriak Axel kemudian berlari mengejar Alea. Karena tidak sadar kalau dikejar, dengan mudah pria itu pun menangkap Alea dan mengangkat tubuhnya dan membawanya berputar-putar.     

"Axel, apa yang kau lakukan? Aku pusing, plis turunkan kau!" teriak Alea.     

"Karena kamu tidak mau melakukan apapun terhadapku, maka aku yang akan melakukan sesuatu ke kamu," jawab Axel keduanya tertawa dan sama-sama pusing. Akhirnya, mereka pun jatuh di atas rerumputan dengan posisi Alea berada di atas Axel dan sama-sama terlentang.     

"Gila, aku benar-benar pusing begini karena kamu. Lihat, semua seperti berputar," ujar Alea.     

"Aku juga. ya sudah kalau gitu kita impas."     

Alea cemberut. Ia merasa mual. Jadi lebih memilih diam daripada harus berdebat.     

"Kamu mau apa untuk mengisi malam kita di sini?"     

"Apapun terserah kau saja."     

Axel diam. Suasana di pegunungan memang sangat dingin. Paling cocok it jika mereka bakar-bakar. Barbeque misalnya. Tapi, mengingat Alea yang mual dengan daging, ia berinisiatif mengganti daging dengan sosis dan jagung. "Kita lihat di dalam lemari es, yuk! Sepertinya ada jagung. Bagaimana kalau kita bakar-bakar saja?"     

"ide bagus. Ayo, aku setuju," ujar Alea dengan semangat dan bangkit. Seolah, barusan tidak terjadi apa-apa pada dirinya.     

Lagi-lagi Axel hanya tersenyum saja melihat tingkah Alea yang kian hari bertambah menggemaskan itu. "Ah, kamu… benar-benae membuatku jatuh cinta saja," gumamnya lirih.     

Alea meraih gagang pintu lemari es berwarna silver di hadapanbya. Namun, belum juga ia membuka pintu tersebut kembali ponselnya yang ia letakkan di atas meja living room berdering. Karena penasaran, Alea pun beranjak melihat siapa yang telah menelfonnya.     

"Kak Jevin?" gumamnya lirih. "Halo, Kak. Ada apa?"     

"Halo, Alea kau ada di mana?" tanya Jevin dengan nada sedikit tegas karena di rumah keadaannya juga tidak bisa dikatakan baik-baik saja.     

"Aku sedang berada di luar kota, Kak. Apakah sudah ada perkembangan tentang pencariannya Intan?" tanya Alea, gadis itu urung membuka pintu kemari es di belakangnya. Ia malah justru memebelakangi dan membuatnya sandaran.     

"Tidak ada perkembangan sama sekali. Bahkan, jejaknya pun juga tidak ada. Jadi, untuk sementara polisi menutup kasus ini. Kau bisa pulang malam I ni apa tidak? Aku berada di rumahmu. "     

"Kenapa kak? Apakah kondisi ayahku baikbaik saja?"     

"Tidak, Alea. Kau jika memang bisa, lebih baik pulanglah sekarang," ujar Jevin kemudian ia segera mematikan panggilan Ketika terdengar suara gebrakan pintu dan teriakan seseorang dari dalam kamar.     

"Kak, ada apa dengan ayah, kak? Halo… kak Jevin?" teriak ALea penasaran. Akhirnya ia berlari ke belakang untuk mencari Axel.     

"Axel, aku harus pulang sekarang. Di rumahku ada masalah dan aku harus segera pulang," ucap Alea panik. Sebenarnya dia tidak kawatir sama sekali dengan kondisi ayahnya. Tapi, ia takut jika ibunya kenapa-napa. Atau, kemungkinan terburuk adalah ayahnya tiba-tiba sadar dan mengatakan kejadian sebenarnya terkait Intan. Apalagi, Jevin juga berada di rumah dan nada bicaranya juga tidak seperti biasanya begitu. Jadi, ada rasa takut dan was-was di dalam hatinya.     

"Kenapa Alea?"     

"Barusan kak Jevin menghubungiku katanya ada masalah. aku harus segera pergi," ucap Alea dengan raut wajah pucat.     

"Baik, kita akan kembali sekarang," jawab Axel dengan sigap. Dia tidak berfikir banyak. Alea adalah prioritasnya baginya saat ini. Apapun yang Alea butuhkan ia berusaha akan selalu ada dan berusaha mengerti dirinya sebaik-baiknya. Jika dia memang mau pulang, ya dirinya juga harus siap mengantarkannya meskipun sebenarnya ia masih betah di Vila.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.