Cinta seorang gadis psycopath(21+)

CALON TUMBAL



CALON TUMBAL

1"Terserah, kak Hengky kan ganteng, asal mengedipkan sebelah matanya pada wanita, maka wanita itu pasti akan tergila-gila padanya," jawabnya, masih kekeh dengan pendiriannya.     

"Benar, Pa. Aku juga masih belum puas bermain dengannya. Dia adalah wanita unik yang susah di dekati," timpal Hengky yang tiba-tiba saja muncul. Entah sejak kapan dia datang. Tidak satu pun dari mereka bertiga yang menyadari.     

"Hengky? Sejak kapan kau kembali?" tanya nyonya Ayumi, sambi menoleh ke arah putranya yang hanya mengenakan kemeja putih dan dan celana warna coklat susu.     

"Yang jelas, aku mengetahui, apa yang jadi perdebatan mama sama Sinta. Memang, apakah tidak bisa ditunda dulu? Di luar sana masih ada artis yang sekelas dengan Chaliya, Ma," ucap pria itu, berusaha menenangkan mamanya, agar bisa terima jika melakukan persembahan seorang wanita cantik tidak harus sekarang, atau dalam jangka cepat.     

"Waktu kita sudah tidak lama lagi, Ky. Memang, jika tidak boleh Chaliya, apakah bisa, kau bawa model lain yang seperti dirinya dalam waktu seminggu ini? Atau, seluruh harta kekayaan kita akan hancur semuanya?" ujar pak Hartono nampak tidak sabar.     

"Kenapa tidak? Jika perlu, malam ini aku akan carikan wanita cantik. Jika perlu, aku bawa dia pulang sekarang juga," jawab pria tersebut kemudian langsung keluar meninggalkan rumah.     

"Sudah kubilang, bukan? Bahkan kak Hengky sepertinya juga suka pada kak Chaliya. Kenapa sih, harus menggunakan car aini? Tidak cara lama saja? Bukankah tidak harus dari kalangan Arti Jatasura sudah akan suka? Dia kan hanya tahu wanita cantik, seksi dan… " ucapan Sinta seketika di cegat oleh sang papa. Sehingga dia tidak meneruskannya.     

"Ya kau benar. Tapi, kita tidak bisa terus menerus menggunakan cara lama. Karena, cara lama sudah membuat orang luara sana curiga."     

"Curiga kenapa? Kita mengajak dia baik-baik bukan?" tanya Sinta.     

"Kau benar. Kita memang menawari dia untuk menjadi model pribadi kita. Tapi, akhirnya mereka tidak lagi kembali dan ditemukan di mana pun setelah melakukan kerja sama dengan papa atau mama. Jadi, sekarang polisi dan tim intelijen tengah mengawasi kami. Makanya, kita harus mengubah cara lama dengan cara baru. Hanya isa mengandalkan kakakmu.     

"Jika seandainya cewek cantik yang masih prawan gimana? Bukankah soal rupa bisa kita perbaiki dengan uang?" usul Sinta. Tiba-tiba.     

"Apa maksudmu. Sinta?" tanya nyonya Aymu dan pak Hartono bersamaan.     

"Aku punya banyak teman wanita di kampus. Jika kita butuh perlahan. Aku bisa berbuat dengan mereka-mereka yang sudah kupilih, memanjakannya ke salon agar jadi cantik. Nanti, kita bisa panen satu persatu setiap bulannya dengan memberikan tumbal yang sering, bagus serta berkualita, bukankah itu akan membuat kita semakin kaya? Kekuatan papa bertambah banyak, sehingga bisa dengan mudah mengalahkan lawan atau pesaing bisnis papa?" ucap Sinta secara panjang lebar.     

"Prok prok prok! Hahahaha kau hebat. Papa tak menyangka, kalau pemikiran putri kecil papa bisa sedemikian cerdas. Papa suka ide kamu, Nak. Pergunakan uangmu untuk emmikat mereka. Jika kurang, cukup katakana saja pada papa, papa akan mentranfer ke rekeningmu," ucap pak Hartono, puas.     

Pukul duabelas malam Chaliya masih belum bisa tidur. Dia berfikir, untuk memnghubungi managernya, apakah besok dia bisa full day libur tidak bekerja. Sebagai model, memang apa yang jasi kegiatannya sudah diatur oleh managernya, termasuk jika ada acara meet and great.     

"Halo, Chaliya? Ada apa malam-malam begini kau menghubungiku?" tanya sang manager dari seberang sana. kedengarannya dia masih begadang di tempat yang cukup bising.     

"Maaf. Apakah saya mengganggu, Pak?" tanya Chaliya. Menyadari kalau ini sudah saatnya orang untuk beristirahat.     

"Tidak, katakana saja jika ada kepentingan, jangan sungkan-sungkan," jawab pria itu penuh wibawa.     

"Begini, apakah bisa, untuk satu hari besok saya break dulu?" tanya Chaliya ragu-ragu.     

"Oh, itu. kukira kau dalam masalah. tumben sekali malam-malam begini telfon. Break kenapa? Hal buruk tidak terjadi padamu, kan?" tanya pria itu. memastikan jika artisnya dalam keadaan baik-baik saja.     

"Tentu saja saya dalam keadaan baik-baik saja. hanya ingin istirahat saja, kok," ucap Chaliya tanpa menjelaskan urusan apa dan mau pergi ke mana.     

"Ya sudah, untuk acara besok, akan ditunda lusa. Kau hanya butuh satu hari saja, kan?"     

"Iya. Ya sudah, terimakasih atas waktunya, Pak. Selamat malam."     

Chaliya mematikan telfon dan meletakkan ponselnya di atas nakas lalu berbaring. Ia berusaha memikirkan tentang keluarga Hengky yang aneh. Tapi, tetap saja tak bisa. Biasanya, jika sudah begini, dia akan menceritakan pada mayatnya Andra. Tapi, pagi tadi jenazahnya sudah dimakamkan. Seperti apa kondisinya sekarang juga tuhan yang Tahu. Dia tak tahu.     

"Telfon Dicky, apay a? Aku cerita sama dia. Pasti dia akan suka. Siapa tahu, dengan begini aku juga bisa menerima dia dan perlahan-lahan melupakan Andra. Bukankah mereka berdua sama-sama mencintaiku dan pria yang sebenarnya, bisa menyimpan rahasiaku dengan baik?" gumam Chaliya seorang diri.     

Awalnya, dia memang ingin benar-benar menelfon Dicky. Tapi, melihat waktu sudah hampir menunjukkan pukul satu dini hari, ia pun urung dan membatalkan niatnya. Mungkin bisa kapan-kapan saja. dia juga berusaha positif thinkink. Siapa tahu, mereka hanya demikian dengan orang baru saja. tidak jika dengan orang lama.     

"Sudah, Chaliya! Tenang, oke? Mungkin karena kau masih asing bagi mereka dan itu perlu waktu lagi," gumamnya pada dirinya sendiri kemudian ia berusaha untuk tidur.     

**     

Seperti yang sudah direncakan semalam, pagi-pagi sekali setelah sarapan, Chaliya langsung menuju ke Jakarta. Dia bahkan juga tidak sempat sarapan. Karena. Pukul lima dini hari dia sudah keluar. Meskipun dia bukan artis terkenal sekelas Maria Vania. Tetap saja, dia harus berhati-hati karena tak ingin ada media yang memuat dirinya dan mengambil keuntungan berita terkait dirinya yang nantinya malah jadi boomerang di kemudian hari.     

Pukul enam lewat tiga puluh pagi, Chaliya sudah tiba di depan rumah tante Livia. Rumah itu tidak banyak berubah. Masih seperti beberapa bulan yang lalu saat ia memutuskan pergi ke Bandung. Memang tidak jauh jaraknya dari Jakarta. Tapi, untuk datang tanpa keperluan yang sangat penting, seseorang akan jarang bertemu. Apalagi. Chaliya sendiri sudah menekuni profesinya sebagai seorang model. Jadi, dia juga akan ada waktu luang. Jika pun ada, ya pasti tidak lama.     

Chaliya mengulurkan tangan. Sedikit ragu dia menekan bel yang ada di balik pagar tersebut. Tidak menunggu lama, seseorang dari dalam keluar untuk membukakan pintu.     

"Siapa?" tanya seorang wanita kira-kira berusia tiga puluh lima tahun. Chaliya tidak mengenali wanita itu.     

"Apakah benar, ini rumah ibu Livia dan putrinya Arabella?" tanya Chaliya dengan santun. sebelum dia mengatakan siapa dirinya, dia harus tahu, apakah pemilik rumah masih sama, atau sudah ganti.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.