Cinta seorang gadis psycopath(21+)

THE FIRST



THE FIRST

0Sebenarnya Alea masih eneg dengan yang Namanya daging. Meskipun ia tidak ikut memakan, bukankah melihat dan melakukan sendiri tindakan memutilasi dan memasak kepala manusia jauh lebih mengerikan daripada hanya memakan tanpa tahu daging apa yang sudah dimakannya? Tapi, demi pria yang ia cintai pun akhirnya dia tetap melakukan itu meskipun sedikit keberatan.     

"Kamu mau dimasak apa dagingya Xel?"     

"Apa saja, asal kamu yang masak, pasti enak."     

"Oke, kalau gitu," ucap Alea sambil menyiapkan bumbu-bumbu. Karena di dalam benaknya, ia berfikir untuk memasaknya dengan saus tiram. Tapi, saat ia hendak memotongi kecil-kacil daging yang sudah tak mencair itu, terselib sebuah rambut yang cukup panjang di dalamnya. Entah, rambutnya sendiri yang tidak sengaja jatuh, atau ramabut bagian pakingnya. Sehingga, gadis itu teringat dengan kejadian beberapa bulan lalu di mana ia melakukan tindakan yang sangat tidak manusiawi. Alhasil, ia pun langsung mual bersamaan terlintas wajah Intan yang nampak pucat, ketakutan dan penuh dengan darah.     

"Hoeeek… hoek!"     

"Alea, kau kenapa? Apakah kau sakit? Atau masuk angin?" tanya Axel panik.     

"Tidak, tidak apa-apa."     

"Kalau kamu memang tidak enak badan, ya sudah gak usah diterusin," ucap Axel merasa bersalah. Sebab, selama ia melakukan pendekatan dengan Alea sekalipun tidak pernah ia melihat gadis yang ia cintai itu makan daging, kecuali jika sudah diolah menjadi sosis atau basso.     

"Aku baik-baik saja, Max," jawab Alea meyakinkan.     

"Tapi kamu pucat. Kau tidak sedang hamil, kan?" canda Axel membuat Alea jadi tertawa sambil mencubit lengannya yang kekar.     

"Emangnya aku hamil sama siapa? Dasar!"     

"Ya anakku, lah. Memang mau anak siapa lagi?"     

"Ih, dasar. Kita bahkan tidak ngapa-ngapain."     

"Ayo, kalau gitu kita ngapa-ngapain saja sampai ada anak di dalam rahimmu," ucap Axel sambil mencium leher jenjang Alea.     

"Xel, ini bahkan sudah sore. Aku belum menyelesaikan masakannya. Kamu jangan ganggu aku dulu, ya?" kembali alea mnuju kea rah daging di atas teleman dan memegang pisau dengan tangan kanannya. Kembali rasa mual muncul. Perutnya terasa seperti diaduk-aduk saja. namun, ia berusaha agar tidak kembali muntah-muntah seperti tadi dengan membayangkan seeokor sapi. Karena, memang yang dia pegang adalah daging sapi. Bukan daging manusia.     

"Alea, apakah kamu tidak suka dengan daging?"     

"Tidak, aku dulu sangat suka. Hanya saja, ya tidak bisa makan dalam porsi banyak. Kalau terlanjur makan kebanyakan, ya begini."     

"Tapi, kamu kaya jijik saat memegang daging tadi."     

"Ya. Tapi tidak dengan dagingnya. Aku jijik ada sehelai rambut di dalam sana. Aku bayangin saja itu rambut siapa, bagaimana kalau kepalanya berminyak, ketombean, dan yang paling parah berkutu.. hoek!" kembali Alea berlari ke arah westafel. Menumpahkan isi di dalam perutnya.     

Mendengar apa alasan Alea, Axel malah merasa geli sendiri. Ia tertawa sambil geleng-geleng. "Oke, aku bantu kamu memtong dagingya. Sekarang kau siapkan saja bumbu-bumbunya, bagaimmana?"     

"Boleh. Terimakasih, ya?"     

Satu masalah pun selesai. Sekarang, nereka bersantai di halaman belakang di atas rerumputan di bawah pohon yang rindang menikmati suasana sore, dengan perut yang sudah kenyang.     

"Alea!"     

"Ya."     

Belum sempat keduanya ngobrol, tiba-tiba ponsel Axel dari dalam saku celana jeansnya berdering menandakan kalau ada panggilan yang masuk.     

"Aku angkat telfon dulu," ucap Axel tanpa menunjukkan siapa yang telah memanggilnya. Ia pun berjalan mencari tempat yang sedikit jauh dari Alea setelah gadis itu memberi isyarat dengan anggukan pelan.     

"Halo! Ada apa Wulan?" jawab Axel setelah ia sudah memastikan kalau dirinya berada jauh dari Alea.     

"Kau ada di mana? Kenapa sejak tadi tidak pulang?"     

"Aku? Aku masih ada acara."     

"Kamu mau makan apa untuk nanti malam? Bia raku belanjakan bahan makanannya. Mumpung akua da di luar," jawab gadis itu dari seberang sana.     

"Kamu tidak perlu repot-repot. Mungkin mala mini aku tidak pulang. Jika pun aku pulang, itu akan sangat larut."     

"Oh, ya sudah," jawab Wulan dengan tenang. Ia berfikir mungkin saudara angkatnya itu ada keperluan di luar sana. Bukankah itu sudah biasa Axel lakukan sejak dulu? Malah di jaman kuliah. Berapa hari dia berada di rumah dalam sebulan sampai bisa dihitung dengan jari.     

Melihat Axel cukup lama menelfon, Alea jadi teringat sesuatu. Tadi, dia belum sempat menelofon ibunya sama sekali untuk mengabari dan meminta izin. Meskipun dia sudah mengirimkan sebuah pesan chat dari aplikasi hijau. Namun, tetap saja, rasanya tidak enak kalau tidak mendengar suara ibunya secara langsung lewat telfon.     

Benar saja. Ketika ia membuka layar sentuhnya, di sana banyak muncul pesan dan panggilan tak terjawab dari ibunya.     

"Halo, Alea. Kau ada di mana, Nak?" jawab seorang wanita paruh baya dari seberang sana.     

"Aku lagi bersama Axel, Bu. Dia mengajakku ke luar kota untuk surfey," jawabnya bohong. Karena, dia takut ibunya akan khawatir jika dia mengatakan yang sebenarnya pada mereka.     

"Oh, apakah kau akan pulang?"     

"Tidak tahu. Jika waktunya memungkinkan, kami juga pasti akan pulang. Tapi, jika masih ada yang dikerjakan, mungkin kamia akan kembali ke Jakarta besok pagi."     

"Ya sudah, kau jaga diri baik-baik di sana, ya?"     

"Baik, Bu. Ibu juga jaga Kesehatan. Jangan terlalu lelah," jawab Alea sebelum akhirnya menutup panggilan. Setelah mengabari ibunya, gadis itu merasa lega. Ia bermaksud kembali menyusul Axel yang masih di belakang halaman untuk melihat, sudah apa belum mengangkat telfonnya. Tapi, baru saja ia memablikkan tubuhnya, seorang bertubuh kekar langsung menangkap dirinya dan mengangkatnya membawa ke sebuah kamar.     

"Kukira kau ke mana saja. siapa yang barusan kau telfon?" bisik pria itu.     

"Aku menelfon ibuku. Aku menbgatakan padanya kalau aku ikut survey dengan mu di luar kota agar dia tidak kawatir."     

"Oke, alasan yang bagus. Jadi, dia tidak akan berfikir macam-macam, kan jika aku tidak mebawamu pulang?"     

"Tentu saja."     

Axel merebahkan tubuh Alea dan dia berada di atas tubuhnya dengan posisi menindih. Kali ini dia tidak melakukan sedikit pun penolakan atas apa yang Axel lakukan seperti sebelumnya. Rupanya, beberapa jam menghabiskan waktu bersama sudah cukup meyakinkan gadis itu kalau Axel benar-benar menintainya. Bahkan, Ketika tangan Axel merayao ke dadanya, dan meloloskan kancing kemeja yang Alea kenakan Alea juga hanya diam dan malah mengalungkan kedua lengannya pada leher Axel.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.