Cinta seorang gadis psycopath(21+)

steak daging



steak daging

0Alea merasa tidak nyaman dengan banyak mata yang mengawasi mereka. Tatapan yang penuh tanya dan sangat mengintimidasi membuat ia takut akan hal buruk yang dulu pernah menimpanya semasa kecil.     

Ia tidak hanya terlahir dari keluarga broken saja. Namun, dulu juga pernah menjadi korban pembullyan. Ya, dia sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman sekelasnya.     

Menjadi anak cerdas dan berprestasi adalah harapan semua anak. Tapi, siapa sangka, hal itu tidaklah selalu menyenangkan. Alea sejak dulu memang adalah sosok yang cerdas. Tapi, kecerdasan yang ia miliki justru memberi dampak yang buruk pada dirinya sendiri.     

Karena sering mendapat pujian dan perlakuan dari para guru, banyak teman-teman sekelasnya yang iri. Berbagai banyak hal mereka lakukan untuk menjatuhkan nama Alea. Berbagai fitnah dan apapun itu. Tapi, karena itu tidak berhasil, maka pernah suatu hari Alea dikunci dari dalam toilet siswa, dan dari atas ia disiram air kotor bekas ngepel lantai, dan juga bekas cuci piring dari kantin.     

Mengingat itu membuat Alea terperanjat kaget dan segera tersadar.     

"Pak, biarkan saya bekerja dulu. Anda juga bekerjalah. Tidak enak dilihat sama yang lain," ucap gadis itu dengan lembut.     

"Oke, baiklah kalau begitu," jawab Axel dengan berat hati.     

Seketika gadis berpawakan tinggi langsing itu pun bernapas lega dan menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi, dan tetap mengabaikan beberapa pasang mata wanita lain yang menatap dirinya dengan iri dan tajam.     

"Kamu ga enak badan, Lea? Apakah tiga hari cuti itu karna sakit?" tanya Andra. Entah, kapan dia berjalan. Tahu-tahu sudah berdiri di dekatnya saja.     

"Tidak. Aku cuti karna ada urusan. Mungkin aku terlalu lelah saja sampai low tensi. Tapi, aku tidak apa-apa, kok."     

Andra tersenyum, kemudian mengucapkan selamat bekerja pada Alea dan kembali ke kursinya. Sebenarnya ia juga ingin bertanya, sih. Kenapa tidak satu ruangan dengan CEO itu. Tapi, urung. Melihat keduanya juga nampak tidak ada masalah. Seruangan dengannya juga lebih baik.     

****     

Pulang kerja Alea segera masuk ke dalam kamar. Mungkin saja ayahnya tidur. Karena rumah terlihat begitu hening. Sementara ibunya nampak sibuk di dapur.     

Alea mengambil benda yang selalu ia sisipkan pada pinggangnya itu. Dipandanginya dengan seksama. Dia bukanlah seorang yang tidak peka walapun cuek. Melihat ekspresi Wulan kemarin, ia yakin kalau gadis itu berfikir kalau apa yang dia tulis adalah sepenggal berjalanan hidupnya di dunia yang dikemas sebagai sebuah novel.     

"Selama kau tidak memperpanjang masalah, dan menjadikannya keruh, hidupmu akan tenang, Wulan!" serunya. Kemudian menyimpan pisau tersebut pada laci.     

Baru saja gadis itu hendak beranjak menuju dapur untuk membantu ibunya dan menanyakan kondisi ayahnya, sebuah panggilan masuk menderingkan benda pipih di dalam tas.     

Seketika langkahnya pun terhenti. Ia menoleh dan beranjak. Awalnya sih dia berfikir yang menelfon adalah Axel. Tapi, ternyata salah.     

"Hallo, Kak. Ada apa?" jawab gadis itu, masih berdiri di dekat ranjang.     

"Tidak, apakah kau sibuk? Malam ini aku tidak bisa tidur, aku masih tidak tenang memikirkan Intan, padahal tadi siang aku sudah melaporkan sebagai orang hilang ke kantor polisi." Terdengar dengan sangat tertekan dan penuh beban Jevin mengatakan hal itu pada Alea.     

Alea mulai tidak tenang, jantungnyapun berdegub lebih cepat. Namun, bukan Alea namanya jika tidak bisa mengatasi itu. "Sudahlah kak istirahat saja, kita tunggu kabar dari polisi, semoga Intan segera ditemukan, ya!"     

"Iya, Alea, trimakasih."     

"Ya sudah, Alea mau lihat keadaan ayah dulu kak, bye!" Gadis itu pun mematikan telfon.     

Alea mulai tidak tenang, rasa kwatir muncul jika polisi menemukan tulang-tulang itu lalu mengenali identitas pemilik tulang itu dia tidak mau masuk penjara. Karena, ia merasa tidak bersalah. Tentu saja. Sebab, Intan tidak akan mengalami hal senahas itu jika saja dia tidak menjadi pelakor ibunya.     

Alea mondar mandir di depan meja kerjanya memutar otak mencari cara, akirnya ia menemukan sebuah ide.     

"Ini masih sore. Yang terpenting adalah, tenang dulu. Lihat ke dapur ibu masak apa dan bantulah. Jadi anak yang manis dan baik, oke?" serunya seorang diri. Kemudian menghela napas dan beranjak ke dapur.     

"Ibu masak apa?" sapa Alea yang melihat ibunya nampak sibuk mondar mandir dengan pisau dapur ditangannya.     

"Tadi ibu beli daging, mau ibu masak steak. Siapa tahu dengan begini ayahmu mau makan banyak. Ini kan menu favoritnya," jawab wanita paruh baya itu sambil tersenyum.     

"Hoek!" Alea berlari ke arah westafel. Mendengar ibunya masak daging dia tiba-tiba saja mual. Sejak kejadian itu, dia tidak mau lagi makan daging. Mungkin, demikian juga ayahnya.     

"Kamu kenapa, Alea?" tanya Yulita. Khawatir melihat tiba-tiba putrinya mual sampai mutah-mutah begitu.     

"Tidak apa-apa, Bu. Selain steak, ibu masak apa saja?" tanya gadis itu setelah berkumur.     

"Ibu masak sayur asem juga sama tempe goreng sambel terasi."     

Alea tidak menjawab. Ia hanya tersenyum dan mengambil alih cucian alat-alat dapur yang baru saja digunakan. Tidak berselang lama, pekerjaan pun selesai. Alea membantu ibunya membawa semua hidangan ke meja makan. Sementara sang ibu, dia menuju kamar untuk mengajak suaminya makan malam bersama.     

Alea menghela napas panjang, dan mengeluarkan dengan kasar saat mendapati dua porsi daging. Alea brani jamin, dua porsi itu tidak akan tersentuh oleh siapapun. Pasti ayahnya juga akan histeris ingat kejadian itu. Dia pasti berfikir kalau istrinya juga memberikan daging Intan padanya. Setelah melihat ayahnya kembali histeris, pasti ibunya tidak akan nafsu makan. Jadi, sengaja Alea makan duluan tidak menunggu kedua orangtuanya. Setidaknya, saat sang ayah berteriak-teriak lagi, perutnya sudah terisi nasi. Siapa juga yang mau menahan lapar demi laki-laki hidung belang seperti dia?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.