Cinta seorang gadis psycopath(21+)

SENJATA MAKAN TUAN



SENJATA MAKAN TUAN

0"Aku masak sesuatu yang spesial untukmu hari ini, Mas. Makan yang banyak, ya? Biar segera pulih."     

Terdengar suara ibunya mengajak ayahnya ngobrol dan berjalan ke meja makan. Alea cuek dan tetap meneruskan makannya yang tinggal setengah. Memang tadi dia menolak dibuatkan steak dengan alasan tidak mau perutnya menjadi buncit. Padahal, dia masih eneg saja setelah mengobrak abrik tubuh Intan beberapa waktu lalu.     

Rafi hanya diam. Duduk patuh dengan tatapan mata kosong di dekat Alea.     

"Ini, Mas steak daging sapi favorit mu," ucap Yulita sambil menyodorkan piring putih berisi daging dengan saus yang nampak menggugah selera bagi orang normal, yang tidak mengalami hal seperti Alea dan Rafi alami.     

Mendengar kata daging seketika mata Rafi langsung melotot, menunduk melihat  hidangan di hadapannya.     

Dengan wajah yang mendadak pucat, serta ekspresi yang sangat ketakutan, Rafi beberapa kali menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak, tidak! Aku tidak mau makan ini. Tidak! Aku tidak mau," ucapnya kemudian ia pergi berlari.     

"Mas, kamu kenapa, Mas?" teriak Yulita terkejut. Tak lama kemudian ia berdiri dan menyusul suaminya yang pergi menuju pintu belakang.     

Begitupun Alea, ia ikut menyusul ibunya ketika mengetahui kalau ayahnya tidak berlari ke kamar.     

"Pergi! Pergi kau! Jauhkan steak itu dariku! Aku tidak mau memakannya!" teriak Rafi histeris sambil menutup kedua sisi kepalanya dengan lengan.     

"Kamu kenapa, Mas? Apakah aku menakutimu?" tanya Yulita bingung.     

Alea yang sudah berdiri di ambang pintu dapat melihat dengan jelas seperti apa perhatiannya sang ibu pada ayahnya. Padahal, selama ini ayahnya menyakiti dan menduakan dirinya terus.     

"Hehm, repot memang kalau sudah berurusan dengan orang bucin begitu!" seru Alea lirih.     

"Bu, jangan menayakan sesuatu padanya. Kita alihkan saja. Dia menolak diberi daging, ya jangan kasih. Satu lagi, jangan tanyakan apa alasannya. Atau, kondisinya menjadi buruk. Biarkan dia bercerita nanti jika sudah sembuh," bisik Alea perlahan pada ibunya.     

"Iya, Alea. Maaf. Ibu tidak tahu," jawab Yulita panik.     

"Ayah, jangan begitu, ya? Coba kau lihat ibu! Dia sangat khawatir dan panik dengan dirimu yang begini," ucap Alea. Sambil meminta ayahny melihat ibunya yang nampak panik.     

"Iya... iya... iya. Aku tidak akan membuat dia panik. Dia sangat baik dan mau merawatku," jawab Rafi ketakutan.     

"Ya sudah, makan sama sayur asem bareng Alea saja, ya? Alea suapin," ucap Alea dengan lembut.     

Dengan mudah Alea bisa menangani ayahnya. Bahkan, yang mengantarkan Rafi ke kamar meminum obat dan memintanya untuk istirahat.     

"Cepat tidur biar besok badan ayah menjadi fit dan bugar, ya? Tetap perlu diingat. Diam dan jangan mengatakan apapun yang membuat orang mencurigaiku. Atau, kau akan berakhir lebih buruk dari Intan, oke Ayah," bisik Alea di dekat telinga ayahnya saat masang selimut pada ayahnya.     

Alea pun keluar. Kemudian ia masuk ke kamarnya. Waktu sudah petang menunjukkan pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Suasana rumah juga sudah sepi. Mungkin ibunya juga sudah tidur karena lelah seharian menjaga ayahnya.     

"Saatnya melakukan misi," ucapnya seorang diri kemudian ia berganti pakaian dengan celana jeans panjang dan sweater rajut. Tak lupa ia sisipkan juga pisau lipat yang sudah seperti sahabatnya sendiri di pinggangnya.     

Dengan berbekal senter pada ponselnya, Alea mencari-cari kembali tempat dimana ia memutilasi tubuh Alea, tak lama kemudian hidungnya menghirup bau busuk menyeruak indra penciumannya, "Tidak jauh lagi. Pasti di sana!" serunya bersemangat setengah berlari dengan menenteng q berisi lima liter bensin.     

Alea tertawa puas. Mendapati tumpukan tulang busuk dipenuhi belatung berletupan lompat kesana kemari, sebagian mengenai kakinya, membuat Alea jijik. Dengan cepat disiramnya bensin tulang belulang itu lalu membakarnya, Alea tertawa puas, dia yakin, polisi tak akan menemukan bukti, dan lagi hutan ini termasuk hutan larangan, tiada seorangpun yang berani masuk kesini, kecuali para dukun dengan ilmu yang tinggi, jikapun menemukan tulang-tulang yang masih tersisa, pasti akan dijadikan jimat, tidak diserahkan pada polisi.     

Dia berjalan setengah menari menikmati kemenangannya, berbahagia sambil bersenandung ria menembus sepi, dan gelapnya hutan.     

Terlalu asik, Alea kakinya terkilir hingga ia jatuh terperosot ke jurang, memang Alea selamat, tidak sampai dalam, tapi sial, pisau yang selalu terselipkan di pinggannya mengenai tubuhnya, cukup banyak Alea mengeluarkan darah.     

Dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Ia berusaha bangkit naik ke atas jurang. Beruntung hanya sekitar empat meter saja, namun hal itu cukup menguras energinya. Terlebih ia kehabisan banyak darah, tiba di jalan raya, belum sampai ke mobil ia sudah lebih dulu jatuh pingsan.     

Sebuah cahaya mobil dari arah timur menyorot tubuh Alea yang tergeletak di tepi jalan, tepat di hadapan tubuh Alea, mobil itu berhenti. Seorang pria berpawakan tegap, dengan rambut pirang turun dari mobil dengan segera membwa Alea kedalam mobilnya.     

Warna kemeja putih yang pria itu kenakan berubah merah  karena darah Alea, terlihat banyak dan jelas.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.