Cinta seorang gadis psycopath(21+)

jadilah sahabatku



jadilah sahabatku

0Apakah kamu tidak bosan menjalani hidup sendiri?" tanya pak Max, suatu siang di kantin kantor pada jam istirahat.     

Alea hanya menjawab dengan gelengan kepala, lalu menyeruput jus jeruk di hadapannya. Gadis itu tertunduk, tak mau melihat wajah big bosnya. Menunjukkan sifat malu-malu.     

"Apa kamu tidak punya sahabat, Lea? Teman curhat, sebagai sosok yang selalu ada saat kau dalam masa sulit?" Tanya pria blasteran itu lagi, seolah tak puas dengan gelengan kepala Alea.     

"Punya. Tapi, itu dulu. Sekarang untuk memulai persahabatan lagi dengan orang baru rasanya sangat sulit. Persahabatan lama meninggalkan luka." Mata gadis itu masih tertunduk lurus, menatap jus jeruk dalam genggaman kedua tangannya.     

Max mengerutkan keningnya menatap tajam pada wajah cantik dan kalem di depannya. "Kenapa, Alea? Apakah dia menghianati kamu? Atau, merebut pacarmu?" tanya pria tersebut dengan keheranan.     

"Tidak! Dia sangat baik, dan mungkin, adalah yang terbaik!"     

"Lantas?" Max memandang Alea dengan penuh intimidasi. Tapi, nampaknya pria itu tak usah harapkan jawaban. Karena dia tidak akan mendapatkannya.     

Tak adajawaban dari bibir Alea, dia mengabaikan Max. Lebih fokus pada makanan dan laptopnya, karena dia sudah mepet deatline.     

"Mulai sekarang bagaimana kalau aku yang akan jadi sahabat mu, Alea?"     

"Bapak, anda terlalu baik," jawab Alea sedikit menunjukan senyumanya. Senyuman malu, dan rasa tak layak lebih tepatnya.     

Dari perbincangan ini Max mengambil kesimpulan kalau Alea sebenarnya adalah sosok yang asik. Tapi, dia terlalu tertutup dan sangat pemalu. Bahkan dia juga santun pada siapapun. Hanya saja dia terlalu tertutup sebagai orang. Tapi, nilai prestasi kerjanya di kantor bagus. Hampir tak pernah sekalipun ia membuat kesalahan selama dua tahun bekerja. Apapun yang jadi tanggung jawabnya, semua selalu dikerjakan dengan baik dan memuaskan. Itulah kenapa, dia memilih Alea sebagai asistennya di kantor. Jika pun ada kelebihan yang lain, gadis itu cantik, dan Max menyukainya.     

"Pak, ini sudah jam kerja. Mari, kita kembali ke ruangan," ucap Alea membuyarkan lamunan pria tersebut.     

"Eh, oh... iya, Lea," ucap Max gugup.     

"Kenapa gugup, Pak? diam-diam memperhatikan saya, ya?" tanya Alea sambil tersenyum tipis, sdikit ada ledekan pada wajah cantik tersebut.     

"Iya. hehehe!" Max menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kemudian, beranjak dan membantu membawakan leptop milik Alea, sebab ia melihat gadis itu sibuk dengan minuman cupnya. Sepertinya ingin membawanya masuk ke dalam ruangan.     

"Kenapa?"     

"Kamu cantik."     

Seketika wajah Alea bersemu merah. baru saja ia hendak meraih leptopnya. tapi, dengan cepat Max menyambarnya dan berkata. "Ku bantu bawa."     

Alea menatap wajah itu. Wajah yang selalu terlihat tenang dan penuh wibawa. Selebihnya... dia tampan. Ditambah lagi dengan dua pasang manik mata biru keabu-abuan.     

Alea langsung tertunduk malu, saat tiba-tiba mata itu juga menatap dirinya.     

"Kenapa, Alea?" tanya pria itu. Berlagak tidak tahu jika gadis di depannya tengah mengagumi ketampanannya.     

"Eh, tidak Pak. Biar saya bawa sendiri saja. Jangan dibantu."     

"Kamu ini, cewek cewek workaholic, ya?" ucap Max sambil terkekeh. Dia tidak tahu, apa yang Alea lakukan dengan leptopnya. Karena gadis itu tidak pernah mengizinkan siapapun melihat ke layar monitornya saat ia melakukan hobinya. Selain Wulan, editornya.     

"Workaholic? Apa itu?" Alea mengerutkan keningnya ia tidak mengerti apa yang dikatakan si bos.     

"Gila kerja."     

"Oh," hanya itu yang keluar dari mulut Alea. Dia berkata hobi. Tapi, juga menghasilkan duit. Ah, mungkin benar apa yang dikatakan pak Max. Dia adalah gila kerja. Jika saja tidak dikejar-kejar editor dan tak menghasilkan duit, mana mungkin? 'Mungkin mulai besok aku bisa menulis melalui hp saja, biar tak mencolok,' batin Alea.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.