Cinta seorang gadis psycopath(21+)

PENGHIANAT.



PENGHIANAT.

0"Ah, Om, jangan nakal gitu."     

Terdengar suara seorang wanita yang sedikit diiringi desahan dari dalam kamar Rafi dan istrinya.     

"Nakal bagaimana, Cantik? Kamu sungguh membuatku gila, Intan, bahkan kau lebih cantik dari mendiang mamamu! Lebih sexy dan hot. Aku sangat suka," puji pria itu, sambil mencium pundak, bahu dan leher jenjang Intan serta banyak meninggalkan kiss mark di sana.     

"Om bisa aja, Intan kan jadi malu." Gadis itu tertenduk, sedikit melirik ke atas sambil tersenyum nakal.     

"Jangan panggil Om, dong, Mas, atau sayang, gitu. Dikira, aku nanti ngasuh ponakan, lagi," ucap pria itu, kemudian mengulum bibir gadis yang kini berada dalam pelukannya.     

"Hahaha, iya deh, Mas." Intan menggerakkan tubuhnya meliuk-liuk sensual dan membalas pelukan Rafi, pria yang jelas-jelas dia ketahui kalau dulu adalah pacar mamanya. Papa dari anak sahabat mamanya yang juga temannya. Walau tidak akrab dengan Alea.     

Mendengar sura tidak beres dari dalam kamar kedua orangtuanya, Alea menghentikan langkahnya. Kedua alisnya bertautan, dahinya berkerut, seperti orang yang tengah mempertajam indra pendengarannya.     

Sementara di dalam sana, suara desahan dan tawa suara pria dan wanita masih terus berlanjut. Tak sadar jika mereka sudah ketahuan.     

'Siapa di sana? Mana mungkin papa dan mama bisa sehangat itu?' batin Alea, mulai penasaran.     

Untuk memastikan siapa orang di salam, Alea berjalan perlahan mendekati pintu dan mengintip ke dalam kamar melalui lubang kunci.     

Alea terngaga, matanya melotot tak percaya dengan apa yang dilihatnya, "Ayah dengan Intan? Berdua di kamar dalam keadaan setengah telanjang! Apa yang mereka perbuat?" Alea berjalan mundur perlahan menjauhi pintu, tanpa sengaja ia menabrak Vas bunga berbahan keramik. Merasa gugup Alea berlari keluar, karena takut ketahuan. Gadis itu tak habis pikir, kalau papanya sebejat itu. Jadi, selama ini dia selingkuh dengan sahabat mamanya, tante Molly. Setelah dia mati, giliran anaknya.     

Mendengar suara benda pecah dari luar kamar, Rafi dan Intan terkejut, berlari mendekati pintu dan melihat kondisi di luar sana.     

"Tidak ada siapa-siapa, Mas. Tapi bagaimana Vas bunga ini bisa pecah, ya?" ucap Intan, panik.     

"Aku juga tidak tahu, Tan." Dengan gugup dan tergesa-gesa, Rafi mulai mengenakan pakaiannya.     

"Mungkin Intan harus pulang dulu, apalagi sebentar lagi Alea juga datang, kan Mas?" Gadis itu tergesa-gesa pergi sambil mencangklong tas di bahu kanannya setelah memastikan pakaiannya juga sudah rapih.     

Saat membuka pagar rumah, Intan berpapasan dengan Alea, memang ia sedikit gugup, tapi sebisa mungkin ia berusaha menutupi kegugupannya, karena Alea baru saja pulang dan belum masuk pagar rumah. Jadi, jelas saja ia tidak mengetahui apa yang baru saja diperbuatnya.     

Alea memandang tajam ke arah Intan. Tatapannya tidak sewajarnya. Membuat Intan merasa tidak enak.     

"Baru pulang kamu, Lea?" sapa Intan ramah.     

Alea tersenyum sinis. Sebenarnya, dia enggan menimpali gadis bermuka dua di hadapannya ini. Tapi, demi mendapatkan hal yang blm banyak ia ketahui, dia juga perlu sedikit bersandiwara.     

"Iya, Nih. Kamu, ngapain ke rumah? Apa mamaku sudah pulang?" tanyanya, dengan tatapan yang sangat mengintimidasi.     

"Tidak, belum. Dia belum kembali. Makanya, aku pergi," jawab Intan kelabakan.     

"Loh, kenapa? Ayo masuk, tidak ditinggu saja?"     

"Aku buru-buru, Lea, terimakasih." Gadis itu pun langsung berlari saat melihat ada taxi lewat. Sesampainya di dalam, ia langsung duduk bersandar dengan mata terpejam dan bernapas lega.     

Sedangkan Alea, ia hanya tersenyum sinis memandang pendosa yang tergesa-gesa menghindari dirinya. Kemudian, dengan santai dan seperti biasa ia masuk ke dalam rumah. Bersikap seolah tidak ada hal yang tak pantas terjadi di rumah ini yang ia lihat.     

"Selamat sore, Pa," sapa Alea pada papanya yang tengah sibuk memilihi pecahan beling keramik yang berceceran di lantai.     

"Alea, sudah pulang, kamu, Nak?"     

jawab Rafi senang. Tentu saja, jika saja ia tadi sempat melihat kelebatan putrinya, ia pasti akan panas dingin.     

"Itu Vas baru ibu kok pecah, Yah?" Tanya Alea, pura-pura tidak tahu dan menatap sang ayah dengan penuh selidik.     

"Ya ga tau. Eh anu, tadi kesenggol ayah," ucap ayah Alea, sedikit tergagap. Sedikit demi sedikit raut paniknya mulai nampak.     

Alea memutar bola matanya, mendengus kesal dan tersenyum miring, "Itu, Intan ngapain ya, Yah kemari?"     

Kali ini Rafi tampak kikuk, bingung menjawab apa. Hal itu justru membuatnya terkesan bodoh di depan putrinya.     

"Apa? Intan? Masa sih? Di mana dia?"     

Alea tertawa kecil. "Ya sudah, aku capek mau istirahat dulu." Gadis itu pun berlalu dengan tas di bundak dan hells dalam genggamannya.     

Rafi melihat putri semata wayangnya berjalan tanpa beban menuju kamarnya, ia merasa prilaku Alea berubah, tidak seperti biasanya. Kini Alea nampak tak peduli, "Ah, mungkin dia sedang dalam masalah, makanya tidak menawarkan bantuan padaku." Rafi pun tetap berusaha berfikir positif mengenai perubahan putrinya itu yang kian hari kian menutup diri.     

Alea merebahkan badannya, ketenangan hatinya mulai bergemuruh. Bagaimana bisa, sosok yang dihormatinya selama ini bisa berprilaku sangat rendah, menghianati ibunya?     

'Apakah mama tahu semua ini? Apa ini alasan mereka selalu bertengkar setiap hari? Lalu, jika memang tahu, kenapa mama masih saja baik dengan tante Molly dan tetap mempertahankan pernikahan yang sudah hancur ini?'     

Alea diam melamun sambil membaringkan tubuhnya diatas kasur. Pikirannya menerawang jauh, dan berusaha menerka misteri yang ada di dalam hidupnya. Sungguh, ini benar-benar rumit.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.