Laga Eksekutor

Perdebatan dalam Hati Widya



Perdebatan dalam Hati Widya

0Pak Wijaya dan Deka saling memandang dan menghela napas, "Ceritanya panjang. Ini adalah wilayahmu, jadi kamu juga harus tahu tentang ini. Semalam telah terjadi keributan yang sangat besar dan mencekam."     

Setelah mendengarkan pernyataan Pak Wijaya, mata Ferry membelalak. Dia tidak mengira itu akan menjadi sangat serius, sehingga polisi khusus yang hampir seratus orang itu harus tewas. Ini adalah kasus terbesar dalam sepuluh tahun terakhir. Namun, siapa yang menang dan siapa yang kalah masih harus diselidiki.     

"Caraka, apa yang harus kita lakukan sekarang? Aku tidak menyangka ini akan menjadi begitu serius sekarang." Ferry bertanya dengan ekspresi kebingungan di wajahnya.     

Caraka ragu-ragu sejenak. Dia mengerutkan kening dan berkata, "Beritahu ahli forensik bahwa kita harus melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap tempat kejadian. Kita bisa menunggu mereka hingga hasilnya keluar dan menentukan langkah selanjutnya. Sedangkan untuk sekarang, pertama-tama kita akan kembali ke kepolisian pusat dan mengadakan rapat darurat dengan para otoritas di sana."     

"Baiklah, aku akan mengaturnya segera." Ferry mengangguk. Ini adalah masalah besar, dan ratusan petugas polisi khusus dikorbankan. Kejadian ini cukup menimbulkan sensasi di seluruh kota dan bahkan mungkin menarik perhatian pemerintah pusat. Oleh karena itu, Caraka harus menanganinya dengan baik.     

Karena insiden ini juga, situasi di kota ini sedikit kacau. Jika beberapa orang yang hadir di sini, termasuk Ferry, bekerja sama, maka mereka tidak akan terlalu kesusahan kali ini. Mereka pasti bisa menemukan pembunuh terakhir yang lolos. Tidak hanya itu, mereka juga bisa menemukan alasan di balik lubang besar di sekitar jalan setapak itu.     

____     

Ruang rapat Jade Internasional.     

Widya duduk di kursi presiden. Kursi pertama di sebelah kiri adalah Sukma, dan yang pertama di sebelah kanan adalah Yudi. Selain tiga orang, ada lebih dari dua puluh manajer yang hadir.     

"Itu saja untuk laporan saya hari ini, terima kasih semuanya. Saran dan tanggapan dari Anda semua sangat berharga bagi saya." Seorang pria paruh baya berusia tiga puluhan mengangguk dengan sungguh-sungguh ke kerumunan, lalu menutup dokumen di tangannya.     

Ada tepuk tangan yang keras di sana. Namun, hanya ada satu orang yang duduk di sana dengan panik, dan itu adalah Widya.     

"Widya, kenapa kamu diam saja?" Sukma diam-diam menatap Widya, tapi temannya itu tidak bergerak sama sekali. Akhirnya, dia menendang kakinya untuk membuat Widya sadar dari lamunannya.     

"Apa? Ada apa?" Widya tiba-tiba bereaksi, dan menemukan bahwa semua orang menatapnya dengan mata aneh. Dia langsung tersenyum canggung, "Maaf. Sampai mana kita tadi?"     

Ini adalah pertama kalinya Widya tidak fokus saat rapat. Meskipun Widya lebih muda dari kebanyakan orang yang hadir, dia memiliki posisi yang tinggi. Di bawah kepemimpinannya, perusahaan telah berkembang menjadi pemimpin dalam beberapa tahun. Dapat dikatakan bahwa semua orang di sini sangat mengaguminya.     

Selain itu, Widya selalu ketat dalam hal pekerjaan, termasuk rapat. Siapa pun yang berani melakukan aktivitas lain saat rapat, pasti akan dikeluarkan oleh Widya dari ruangan. Dia tidak akan memedulikan alasan apa pun.     

Yudi yang duduk di samping Widya bisa melihat apa yang terjadi di hati Widya, tapi apa yang menyebabkannya tidak fokus? Yudi tersenyum pada dirinya sendiri, bukankah ini adalah kesempatan baginya? Setelah mendapat informasi dari Mahesa, mungkin hubungannya dengan Widya akan berlanjut ke tahap yang lebih serius.     

"Ini… Saya sudah menyelesaikan laporan saya." Pria paruh baya yang selesai memberikan laporan tadi berdiri lagi.     

Widya mengangguk dan berdiri, "Apakah ada yang punya pendapat tentang rencana ini?"     

Tidak ada yang berbicara.     

"Karena tidak ada yang memiliki komentar, kita bisa ikuti rencananya dan pertemuan kali ini bisa diakhiri." Setelah mengatakan itu, Widya memimpin keluar dari ruang pertemuan. Orang-orang lainnya saling memandang.     

Ketika kembali ke ruangannya, Widya duduk di kursi sendirian. Dia menghela napas panjang. Ini sudah berganti hari. Dia belum mendengar kabar darinya. Apakah dia akan baik-baik saja? Apa yang harus dilakukan oleh Widya jika terjadi sesuatu pada orang itu?     

Widya berada dalam suasana hati yang kacau. Dia tidak pernah cemas seperti ini sebelumnya. Dia tidak pernah berpikir bahwa dia akan peduli pada suaminya yang murahan itu. Mengapa dia harus begitu peduli padanya saat ini?     

Faktanya, Widya ingin menanyakan pertanyaan ini pada dirinya sendiri juga, tetapi bahkan jika dia menanyakannya berulang kali, dia tidak dapat menemukan jawabannya di dalam hatinya.     

Telepon berdering tiba-tiba. Widya sedikit mengernyit dan menjawab telepon, "Halo, ini Widya."     

"Maaf, apakah Anda Bu Widya?" Seorang pria di ujung telepon bertanya ragu-ragu.     

"Ini aku, siapa kamu?" Widya bingung.     

"Halo, Bu Widya, saya dari Markas Besar Polisi Kota. Setelah penyelidikan kami, kami menemukan darah suami Anda, Mahesa, ditemukan di sekitar jalan setapak. Namun, masih belum pasti tentang kondisinya." Polisi pria itu menjelaskan.     

"Benarkah?" Jantung Widya tiba-tiba berdetak kencang. Mahesa tidak benar-benar mengalami kecelakaan, bukan?     

"Baiklah, Bu Widya, yakinlah bahwa polisi tidak akan menyerah sampai hasil akhir diperoleh. Baiklah, saya tidak akan mengganggu Anda lagi."     

"Baiklah, terima kasih." Widya menutup telepon. Dia sedikit gemetar. Air mata jatuh dari matanya.     

TOK! TOK! Ada ketukan di pintu. Widya menyeka air matanya. Dia menarik napas dalam-dalam, menstabilkan emosinya, dan berkata pada orang di luar, "Silakan masuk."     

Sukma masuk dan memandang Widya dengan aneh, "Widya, apa yang terjadi padamu hari ini? Kamu tidak seperti biasanya. Kamu menangis lagi? Apakah ada yang salah?"     

"Tidak… tidak apa-apa," kata Widya dengan mata berkedip.     

"Benar-benar baik-baik saja? Sepertinya kamu tidak baik-baik saja. Bahkan kamu tidak ingin mengatakannya padaku?" Sukma jelas tidak yakin.     

Widya tersenyum, "Aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah."     

Sukma mengerutkan keningnya, "Istirahat saja. Ngomong-ngomong, aku akan memberitahumu bahwa kerabatmu itu bolos kerja lagi hari ini."     

Setelah mendengar kata-kata Sukma, Widya bergetar lagi, "Benarkah?"     

"Tentu saja, orang mesum itu jarang sekali datang ke kantor."     

"Lupakan, jangan khawatirkan dia. Selama dia tidak membuat kesalahan besar, biarkan saja. Sukma, aku sedikit lelah." Widya ingin Sukma pergi.     

Sukma mendorong kacamata emasnya, "Baiklah, kamu bisa istirahat dulu, aku akan keluar."     

"Terima kasih."     

Setelah berjalan beberapa langkah, Sukma menoleh lagi, "Widya, apakah ada masalah? Sebagai seorang teman, aku hanya bisa mengatakan bahwa ada banyak laki-laki di dunia ini. Kamu tidak perlu terlalu sedih jika ditinggal oleh seorang pria."     

Widya tertegun, "Kamu terlalu banyak berpikir."     

"Oke, aku pergi."     

Setelah Sukma pergi, air mata Widya mengalir dengan deras. Akankah ada perasaan antara dia dan Mahesa? Dia sendiri tidak bisa menjawab pertanyaan ini. Dia tidak tahu bagaimana menggambarkan pria yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya itu.     

Jika berbicara tentang perasaan, Widya merasa itu akan terlalu dibuat-buat. Keduanya mengenal satu sama lain untuk waktu yang sangat singkat, dan itu karena kejadian "one-night stand". Selama dia bergaul, dia selalu memiliki mentalitas balas dendam. Widya menikah dengan pria itu untuk balas dendam atas perbuatannya. Tetapi jika tidak ada perasaan pada Mahesa, mengapa hatinya terasa sakit sekarang? Apakah selama ini Widya hanya mencoba membohongi dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa dia hanya menikahi Mahesa untuk membalas dendam dan tidak lebih dari itu? Tidak ada yang bisa menjawabnya selain Widya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.