Laga Eksekutor

Gadis yang Pemalu



Gadis yang Pemalu

0"Mahesa, kamu tahu bahwa kamu tidak perlu melakukan ini padaku." Ada jejak kesedihan di mata Widya.     

"Aku tahu." Mahesa mengangguk. Dia melepaskan tangan Widya, dan berkata sambil tersenyum, "Pernikahan kita hanyalah lelucon. Aku tahu itu. Jangan khawatir, aku tidak pernah meminta apa pun darimu. Kamu dan aku hanya terikat dengan status. Tapi aku sadar bahwa kita berbeda, aku memahami semua perbedaan ini."     

"Mahesa, aku tidak bermaksud begitu, aku…" Widya tampak sedikit cemas. Apa yang terjadi padanya? Meskipun dia tidak mencintai pria ini, dia tidak peduli tentang pria ini, tapi dia tidak bisa menyakitinya seperti ini     

Mahesa tersenyum, "Baiklah, kita tidak akan membahas topik ini. Kamu adalah istriku dan aku suamimu. Aku memiliki tanggung jawab ini. Kamu istirahat dulu, dan aku akan membelikanmu makanan."     

Ketika Mahesa keluar dari kamar, tiba-tiba Widya ingin menangis. Meskipun Mahesa tersenyum tadi, Widya bisa merasakan sakit di hatinya. Dia pasti telah menghancurkan hati pria itu.     

"Maaf, maafkan aku…" Widya menatap langit di luar jendela dengan hampa, bergumam pada dirinya sendiri.     

_____     

Saat ini perut Mahesa masih mengeluarkan suara yang cukup keras. Dia belum makan malam karena semua makanan di meja tadi dilempar oleh Pak Widodo. Untungnya, kini dia menemukan sebuah restoran kecil. Dia dengan cepat memesan beberapa mangkuk nasi. Baru setelah itu dia bisa menepuknya perutnya dengan puas dan pergi.     

Setelah mencari beberapa lama, Mahesa juga menemukan sebuah toko yang menjual bubur. Dia membeli semangkuk bubur ayam untuk Widya sebelum bergegas ke rumah sakit. Saat melihat jam, ternyata sekarang sudah lewat pukul sembilan, tapi rumah sakit masih sangat sibuk saat ini. Ada banyak orang yang datang dan pergi.     

Mahesa membawa bubur itu dan berjalan perlahan ke rumah sakit, tetapi hanya beberapa langkah kemudian, suara yang dikenal datang dari belakangnya, "Kak Mahesa?"     

Itu suara Tania!     

Ketika Mahesa menoleh, Lisa di samping Tania tersenyum, "Cepat, tidakkah kamu selalu mengkhawatirkan tentang Kak Mahesa? Kenapa kamu tidak memeluknya sekarang?"     

"Aduh, jangan bicara omong kosong." Tania tersipu dan mendorong Lisa.     

Lisa terkikik beberapa kali, "Kak Mahesa, Tani merindukanmu."     

"Kamu sudah gila, ya?" Tania menatap Lisa dengan kesal, "Katanya perutmu sakit, kurasa kamu hanya berpura-pura."     

"Oh, aku memang sakit perut. Kenapa kamu tidak percaya? Aku akan melaporkanmu pada Kak Mahesa. Kamu selalu menggangguku!" Lisa berpura-pura marah.     

"Aku terlalu malas untuk berbicara denganmu." Tania menginjak kaki Lisa dengan keras.     

"Wah, kamu pasti sedang malu, ya? Oh, Tania yang pemalu, wajahmu merah seperti apel." Lisa tidak berniat untuk melepaskan Tania dan terus menggodanya.     

"Aku benci kamu! Kamu ingin melihat bagaimana aku akan membalasmu?" Wajah Tania panas, tapi dia tetap menatap Lisa dengan tatapan yang sangat menakutkan.     

Tiba-tiba Lisa berkata suara manja, "Ampun, jangan membalasku, aku takut."     

"Apa kamu takut sekarang? Sudah terlambat."     

"Apa kamu benar-benar berpikir bahwa aku takut padamu? Aku tidak akan pernah takut padamu! Aku akan meremas dadamu lagi malam ini!" Lisa adalah seorang pemberani yang tidak takut pada apa pun.     

"Kamu…" Tania diam-diam melirik Bima di sebelahnya.     

Bima menggaruk kepalanya dengan canggung dan menyeringai, "Aku tidak mendengar apa-apa, aku tidak mendengarnya." Namun, sorot matanya mengkhianatinya. Dia berpikir betapa indahnya adegan meremas dada yang dilakukan dua teman wanitanya itu.     

"Bima! Apa yang kamu pikirkan? Apakah kamu ingin mati?" Lisa tiba-tiba berteriak.     

"Itu… Lisa, kamu salah paham, aku tidak memikirkannya, beraninya aku." Bima melihat Lisa dengan tatapan memelas.     

"Apa kamu sedang memikirkan aku dan Tania saling meremas dada kami? Aku sangat membencimu! Kamu memang mesum!"     

"Aku benar-benar tidak memikirkan itu!" Bima memandang Lisa dengan ekspresi sedihnya.     

Mahesa tersenyum dan mendekati mereka bertiga. Dia berkata, "Ya ampun, ini sudah larut, kenapa kalian di rumah sakit?"     

"Lisa berkata bahwa dia sakit perut, tapi begitu dia tiba di rumah sakit, dia bilang perutnya baik-baik saja. Dia pasti hanya ingin mengambil kesempatan untuk keluar dan berjalan-jalan," kata Tania.     

Ketika kebohongan terdeteksi, Lisa mengeluarkan sedikit lidahnya, lalu berkata sambil bercanda, "Aku hanya ingin keluar dan bersenang-senang. Apakah kamu tidak senang ketika kita keluar bersama-sama? Apalagi kamu bisa bertemu Kak Mahesa."     

"Apa maksudmu? Aku akan membalasmu!" Tania tersenyum malu-malu.     

"Kak Mahesa, apakah kamu ingat aku? Kita pernah bertemu di KTV." Bima bertanya sambil tersenyum.     

"Tentu saja aku ingat, bagaimana bisa aku lupa pada pria pemberani sepertimu? Anak itu tidak mengganggumu lagi, kan?" Setelah jeda, Mahesa berkata lagi, "Jika dia mengganggumu, beritahu aku dan lihat apakah aku akan memotong kakinya yang bau itu!"     

"Tidak, tidak, aku hampir tidak pernah melihat Chandra sejak hari itu. Selain itu, jika dia berani menindas Lisa dan Tania, aku tidak akan tinggal diam. Kak Mahesa, jangan khawatir, aku akan membantumu melindungi Tani." Bima menepuk dadanya.     

"Bima, apa yang kamu bicarakan?" tanya Tania malu-malu.     

"Wah, pipimu memerah seperti tomat! Kenapa bisa seperti itu? Apa kamu sedang tersipu?" seru Bima.     

Melihat bubur di tangan Mahesa, Tania ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu. Dia bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa Mahesa di rumah sakit? Apakah dia akan datang menemui seseorang malam ini?     

Melihat wajah Tania, Lisa tersenyum dan berkata, "Kak Mahesa, Tania sangat merindukanmu. Kamu tidak pernah datang menemuinya, jadi dia setiap hari selalu membayangkan wajahmu. Aku sudah lelah mendengar dia mengatakan bahwa dia ingin bertemu denganmu. Jika kamu tidak pernah menemuinya setelah ini, jangan menyesal jika dia direbut oleh orang lain."     

"Benarkah? Siapa yang berani merebut Tania dariku? Aku tidak akan membiarkannya. Tania hanya milikku seorang."     

"Ada banyak anak laki-laki di sekolah yang selalu mengejar Tania. Aku menyarankan kamu untuk segera meresmikan hubungan dengan Tania lebih awal, jika tidak, dia mungkin akan direbut oleh orang lain dan kamu akan menangis." Lisa menggoda, tapi sepertinya dia sedang berusaha memperingatkan Mahesa.     

"Diamlah! Kenapa mulutmu berisik sekali? Kak Mahesa, jangan dengarkan dia, lidahnya itu terlalu lincah." Tania mendorong Lisa pergi. Dia tidak ingin Mahesa salah paham, "Kak, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Jangan percaya pada ucapan Lisa. Dia hanya berkata omong kosong."     

"Oh, memangnya kenapa? Apa aku tidak boleh percaya pada Lisa? Aku rasa apa yang dikatakannya itu masuk akal, bukan begitu?" tanya Mahesa sambil tersenyum.     

"Aku benci ini! Apa kamu tahu apa yang aku bicarakan? Jangan dengarkan apa yang dikatakan Lisa lagi, temanku itu memang hanya bisa berbicara omong kosong." Tania menundukkan kepalanya dengan malu-malu.     

"Kenapa kamu menjadi pemalu sekarang? Kamu tidak seperti biasanya." Mahesa mengulurkan tangannya dan meremas hidung kecil Tania dengan gemas, "Aku tahu, aku tidak akan mengatakan apa-apa. Bukankah itu baik jika seseorang menyukaimu? Itu membuktikan bahwa kamu memiliki pesona yang luar biasa di sekolah. Seharusnya kamu bangga."     

"Oh, jangan berkata seperti itu, aku tidak suka pada semua orang yang terus mengejarku," kata Tania.     

"Kenapa? Bukankah banyak pria tampan di sekolahmu? Pasti salah satu pria yang sedang mengejarmu adalah pria yang tampan dan kaya, kan?" tanya Mahesa menggoda.     

Tania mengelak dengan keras perkataan Mahesa barusan, "Tidak! Aku tidak pernah menyukai semua pria genit itu! Mereka selalu menggangguku dan membuatku merasa tidak nyaman."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.