Laga Eksekutor

13 - Sang Serigala



13 - Sang Serigala

0Pembunuh itu melebarkan matanya sambil menjaga ketenangannya, tetapi ada badai di dalam hatinya. Targetnya tidak mati!     

"Aku tahu kamu terkejut. Kamu menembak sembilan kali berturut-turut, tapi aku tidak mati." Mahesa mengambil sebatang rokok dari sakunya. Dengan bantuan cahaya api yang redup, dia dengan jelas melihat penampilan si pembunuh. Pembunuh itu bukan orang Indonesia tapi orang Timur Tengah. Mahesa melihat tato di leher si pembunuh dan dengan cepat menyadari identitas si pembunuh.     

"Kamu luar biasa!" kata pembunuh itu dengan dingin.     

Mahesa menjentikkan jelaga, dan berkata sambil terkekeh, "Aku sangat penasaran bahwa pembunuh dari Kelompok Tengkorak Berdarah benar-benar datang untuk melakukan tugas seperti itu, ada apa?"     

Mendengar kata-kata Tengkorak Berdarah, si pembunuh akhirnya tidak bisa tenang, wajahnya tiba-tiba berubah, "Siapa kamu?"     

Tengkorak Berdarah adalah salah satu organisasi pembunuh terbesar di dunia. Ada ribuan pembunuh di sana. Dan setiap pembunuh adalah elit. Salah satu sub dari kelompok itu bernama Sembilan Tembakan. Faktanya, sejak penembak itu selesai menembakkan tembakan kesembilan, Mahesa sudah bisa menebak identitasnya.     

Alasan mengapa sub dari kelompok itu dinamai Sembilan Tembakan adalah karena mereka memiliki teknik menembak dengan kecepatan tinggi. Mereka bisa menyelesaikan sembilan tembakan tanpa henti.     

Satu-satunya hal yang tidak diharapkan Mahesa adalah bahwa bahkan jika Siska adalah saudara perempuan dari Big Brother, Siska tidak bersalah. Mengapa pembunuh dari Tengkorak Berdarah harus menjadikannya target? Tampaknya orang-orang yang menyuruh para pembunuh ini bukanlah orang biasa.     

"Apakah penting siapa aku? Aku hanya perlu tahu siapa dirimu." Mahesa menarik napas. Dia memegang puntung rokok, dan menjentikkannya.     

"Tentu saja ini penting. Aku tidak dikenali oleh semua orang, tapi kamu bisa mengenaliku. Jika aku menebak dengan benar, kamu pasti juga seorang pembunuh."     

"Ya, memang." Mahesa tidak menyembunyikan identitasnya.     

"Lalu apa yang ingin kamu lakukan?" Ketika dua pembunuh bertemu, biasanya hanya ada satu hasil, dan orang yang kuat yang akan bertahan.     

Penampilan Mahesa terlalu tenang, dan karena alasan inilah pembunuh bernama Dwiky itu tahu bahwa kekuatan lawan pasti tidak lebih lemah darinya. Dwiky melepaskan pistol di tangannya. Dia melemparkannya ke samping dan menarik belati sambil berkata, "Martabat seorang pembunuh."     

Mahesa menggelengkan kepalanya, "Tidak, tidak, kamu salah paham. Aku tidak datang ke sini untuk melawanmu. Aku ingin tahu siapa yang mempekerjakanmu. Meski tidak sesuai dengan aturan, aku sangat ingin tahu. Hanya ada satu orang yang berani menyerang wanitaku dan aku ingin tahu siapa dia." Setelah jeda, mata Mahesa tiba-tiba menjadi dingin.     

"Kenapa repot-repot bertanya?" kata-katanya jelas. Dwiky menolak untuk mengungkapkan informasi apa pun tentang majikan itu.     

"Aku tidak ingin membunuhmu, tapi kamu benar-benar membuat pilihan yang salah," Mahesa berkata dengan ringan.     

Dwiky terkejut. Belati di tangannya digenggam erat, dan sosoknya bergegas menuju Mahesa. Apa yang Mahesa katakan adalah semacam penghinaan baginya. Seorang pembunuh memiliki martabat sebagai seorang pembunuh. Jika tidak ingin orang lain meremehkannya, hanya ada satu cara, yaitu membunuh lawan.     

Di mata orang biasa, pembunuh itu misterius dan kejam, tetapi tidak ada yang tahu bahwa hidup seorang pembunuh seperti neraka. Jika mereka punya pilihan, mereka semua ingin menjadi orang biasa.     

Dwiky bergabung ke kelompok itu karena keahlian menembaknya, terutama dengan pistol jenis sniper rifle. Dia juga mengikuti pelatihan untuk para pembunuh yang jelas berbeda dengan pelatihan untuk tentara. Bisa dikatakan bahwa pelatihan pembunuh lebih parah dan kejam dari pelatihan tentara.     

Pembunuh hanya memiliki satu pikiran dalam benaknya sejak awal, yaitu untuk bertahan hidup. Dia harus membunuh semua orang kecuali dirinya sendiri.     

Saat ini pisau yang dibawa oleh Dwiky melayang dengan cepat. Mahesa diam-diam terkejut. Kekuatan Sembilan Tembakan benar-benar tidak lemah. Teknik pisau itu tidak main-main. Tentu saja, Dwiky tidak mengendurkan kewaspadaannya hanya karena dia sudah bisa membuat takut Mahesa. Dia tahu karakteristik seorang pembunuh. Seorang pembunuh adalah orang yang selalu waspada. Tidak ada yang boleh sombong, kecuali dia benar-benar memiliki kekuatan itu.     

Dalam dunia seorang pembunuh, kehati-hatian adalah kuncinya. Jika tidak, itu akan membuat dirinya sendiri terbunuh, bahkan jika bertemu lawan yang lebih lemah. Bahkan jika Dwiky memiliki keunggulan sekarang, dia masih sangat berhati-hati. Mahesa belum menyerang sama sekali. Jika Mahesa melakukannya, sulit untuk mengatakan seperti apa hasilnya.     

"Aku beri kamu kesempatan lagi, beritahu aku siapa majikanmu." Mahesa mendekati Dwiky dalam gelap.     

Dwiky hanya bisa mendengar suara Mahesa yang sedikit tajam, dan segera setelah itu, lengan kirinya tidak dapat lagi merasakan apa pun. Lengannya terkilir. Tindakan Mahesa yang sepertinya tadi diremehkan oleh Dwiky, ternyata bisa membuatnya terguncang. Itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan orang biasa.     

"Aku tidak akan memberitahumu. Aku akui bahwa kamu sangat kuat, bunuh aku jika kamu memiliki kemampuan." Dwiky menahan sakit saat bahunya ditekan dengan kuat. Dia meraih belati dari tasnya.     

"Aku tidak punya cara selain ini." Tindakan Dwiky akhirnya membuat hati Mahesa yakin. Untuk saat ini, siapa pun yang ada di balik layar, Dwiky harus dibunuh. Mahesa khawatir jika dia tidak membunuh Dwiky, pria itu akan menyerang Siska lagi. Adapun Dwiky, dia tahu tidak ada cara lain untuk pergi dari Mahesa. Lebih baik dia mati daripada harus membongkar rahasia majikannya.     

Dalam sekejap, sosok Mahesa menghilang. Pada saat dia muncul, salah satu belati di tangan Dwiky patah dan jatuh ke tanah. Belati lainnya masih dipegang, tetapi itu menusuk dadanya. Darah mengucur dengan deras dari tubuh Dwiky. "Kamu… kamu benar-benar seorang master." Setelah ditusuk, Dwiky merasa hidupnya berlalu dengan cepat. Namun, dia memiliki pertanyaan di dalam hatinya, siapakah orang ini?     

"Apakah kamu ingin tahu siapa aku?" Mahesa bisa melihat pikiran Dwiky.     

Dwiky menarik napas beberapa kali. Dia mengangguk tapi tidak berbicara. Sekarang berbicara juga sangat sulit baginya. Lambat laun, kesadarannya mulai hilang.     

"Aku dulu seorang pembunuh." Mahesa mengeluarkan sebatang rokok lagi dan menghirupnya. "Setiap orang yang mengenalku memanggilku dengan sebutan Sang Serigala."     

"Apa? Itu kamu?" Mata Dwiky membelalak tak percaya.     

Di dunia pembunuh, Sang Serigala adalah sebuah mitos. Seluruh organisasi pembunuh selalu berusaha membantai orang di balik nama itu, tapi tidak pernah berhasil. Tanpa diduga, orang itu adalah seorang pemuda dari Surabaya.     

"Kalau begitu tidak ada salahnya mati di tanganmu." Dwiky tertawa, lalu memasukkan belati ke dadanya dengan keras.     

Mahesa menghela napas. Dia sebenarnya sangat sedih. Dia tidak ingin lagi menjadi pembunuh, jadi dia memilih untuk kembali ke Surabaya untuk menjalani kehidupan biasa. Tapi bisakah Mahesa benar-benar menjalani kehidupan biasa? Tidak ada yang bisa menjawab ini.     

"Kamu benar, pembunuh harus memiliki martabat, pergilah dengan tenang." Mahesa mengulurkan telapak tangannya. Ada kekuatan yang kuat muncul dari udara. Telapak tangan Mahesa pun tercetak di mayat Dwiky. Setelah itu, mayat Dwiky berubah menjadi bubuk dan terbang bersama angin.     

Setelah mengurus mayat Dwiky, Mahesa mengambil tas berisi senapan. Itu karena jika dia meninggalkan benda ini di sini pasti akan menimbulkan masalah. Ketika Mahesa mengambil tas itu, dia menemukan ponsel di dalamnya. Dia mengambilnya dengan ragu-ragu, membukanya untuk melihat bahwa hanya ada satu nomor di dalamnya. Dia tersenyum dan menelepon nomor itu.     

Telepon berdering beberapa kali dan kemudian terhubung. Orang yang berbicara adalah seorang pria paruh baya, "Dwiky, aku minta maaf untuk kejadian sebelumnya. Jangan khawatir, aku akan tetap mentransfer uang kepada dirimu."     

Mahesa sedikit mengernyit, siapa pria paruh baya ini? Mengapa dia harus membuat Siska menjadi target?     

"Tidak, dia sudah mati," kata Mahesa ringan.     

Pria itu dengan gemetar bertanya, "Siapa kamu? Apa yang kamu katakan? Aku tidak mengerti."     

"Aku pembunuhnya dan aku akan menemukanmu. Kamu harus membayar untuk apa yang seharusnya tidak kamu lakukan." Setelah berbicara, Mahesa menutup telepon. Dia mengeluarkan kartu telepon, dan membuang ponsel itu.     

Nalendra benar. Hanya dengan terus meningkatkan kekuatan Mahesa, keselamatan orang-orang yang terkait dengannya dapat dijaga. Siska adalah kekasihnya sendiri, bagaimana dia bisa melihat wanita itu disakiti? Oleh karena itu, tidak peduli siapa orang itu, Mahesa akan memasukkannya ke dalam daftar hitam.     

Mahesa mengambil ponselnya, lalu menemukan nomor telepon yang tersimpan di dalamnya. Dia menelepon nomor itu. Setelah beberapa detik, ponsel itu terhubung. Setelah ponsel terhubung, tanpa menunggu pihak lain berbicara, Mahesa berkata lebih dulu, "Aku Mahesa, nomor 0895xxxxxxxxx, aku ingin lokasi panggilan dalam beberapa hari terakhir."     

"Baik, bos. Ha-" Mahesa menutup telepon sebelum pihak lain berbicara.     

Saat kembali ke dalam mobil, Siska sedang meringkuk di kursi dengan gugup dan melihat Mahesa kembali dengan selamat. Dia tidak sabar untuk lari ke dalam pelukannya. Dia menangis pelan, "Suamiku, aku sangat takut sekarang, kamu akhirnya kembali."     

"Bodoh, kenapa kamu menangis?" Mahesa tersenyum dan membelai rambut Siska.     

"Kamu terluka, biar kulihat." Siska tiba-tiba berpikir, dan buru-buru mengangkat pakaian Mahes. Ada peluru masih menempel di punggungnya. Itu menyebabkan Siska menutup mulutnya karena terkejut, "Suamiku, bagaimana ini bisa terjadi?"     

Mahesa mengulurkan tangannya untuk mengeluarkan peluru dari tubuhnya. Lubang peluru di punggungnya segera menyusut, membuat bekas luka kecil. "Aku bisa melakukan trik, apa kamu percaya?"     

"Suamiku, katakan padaku, kenapa kamu baik-baik saja jika kamu dipukul?"     

"Mari kita bicarakan tentang itu ketika kita punya kesempatan. Sekarang kita harus cepat pulang dan melakukan apa yang harus kita lakukan." Mahesa meletakkan tangannya ke dalam pakaian Siska dan meremas dadanya beberapa kali.     

"Ah, dasar cabul!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.