Laga Eksekutor

22 - Suami yang Patuh



22 - Suami yang Patuh

0"Aku akan menuruti apa yang kamu katakan." Mahesa ingin menangis.     

Melihat penampilan sedih Mahesa, Widya tidak bisa menahan tawa. Dia tiba-tiba merasa bahwa suaminya yang mesum itu juga memiliki sisi yang manis. "Lihatlah penampilanmu. Kamu seperti orang tidak berdaya. Apa kamu benar seorang pria?" Widya tertawa keras.     

"Terserah." Mahesa memberikan senyuman masam. Saat melihat senyum kemenangan Widya, itu langsung membuat hatinya kesal. Beraninya Widya bermain-main dengannya. Mahesa bukan pria yang mudah dipermainkan, "Istriku yang baik, kamu tidak tahu apakah aku benar laki-laki? Kamu ingin aku membuktikannya padamu?"     

Wajah Widya tiba-tiba memerah. Dia menggertakkan gigi dan melirik Mahesa. Tadinya dia ingin mempermainkan Mahesa, tapi sekarang entah siapa yang akan mempermainkan siapa. "Berhentilah bicara omong kosong. Sebaiknya kamu ingat apa yang baru saja aku katakan, kalau tidak, kamu akan terima akibatnya," kata Widya dengan kejam.     

"Mengapa kamu selalu mengancam suamimu ini? Hatiku baik, dan aku memiliki istri yang lembut dan cantik, jadi jangan khawatir. Aku tidak akan mempermalukanmu." Mahesa mengangkat bahu.     

"Huh, jangan mengatakan hal-hal yang baik, mari kita tunggu dan lihat saja." Widya mendengus pelan. Lalu, dia memikirkan makan malam dengan Aldi hari ini. Dia mengerutkan dahi dan berkata, "Aku akan menunggumu di parkiran setelah bekerja nanti."     

Mahesa memandang Widya dengan heran. Apakah wanita gila ini berencana mengajaknya pulang bersama?     

"Jangan berpikir yang aneh-aneh. Kamu harus temani aku ke suatu tempat untuk makan malam. Ngomong-ngomong, kamu juga akan bertemu ayahku," kata Widya ringan.     

"Sungguh? Istriku yang baik, sejujurnya, aku benar-benar harus melihat ayah mertuaku. Seperti kata pepatah, seorang menantu harus selalu mencontoh ayah mertuanya."     

"Keluar." Widya meraih pena dan melemparkannya ke Mahesa.     

Mahesa telah mempersiapkan diri dari tadi, jadi dia dengan cerdik menghindari pulpen itu. Dia melambai kepada Widya, "Istriku yang baik, aku pergi dulu, ya."     

"Pergilah ke neraka!" Melihat Mahesa yang sedang terkekeh, Widya sangat marah. Dia benar-benar tidak tahu apakah benar atau salah menikahi bajingan ini.     

Saat kembali ke kantor direktur, Mahesa kebingungan. Meskipun dia adalah asisten Sukma, Mahesa tidak tahu apa-apa, apalagi harus berbuat apa. Dia hanya duduk di kantor sepanjang hari, dan menyalakan komputer untuk membaca novel. Hari-hari setelah dia dipromosikan benar-benar indah. Sekarang dia jauh lebih santai daripada ketika dia menjadi penjaga keamanan.     

Mahesa memegang sebatang rokok di mulutnya. Dia menggoyang-goyangkan kakinya dan menyenandungkan sebuah lagu di mulutnya. Jika bukan karena Widya, dia tidak akan bisa mendapat jabatan ini. Seiring waktu berlalu, Mahesa tertidur hingga tiba waktunya untuk pulang kerja. Mahesa berdiri dengan santai. Dia merenggangkan pinggangnya, dan mematikan komputer, "Oh, pinggangku sakit sekali."     

"Santai sekali, ya? Kamu bisa tidur sepanjang hari." Sukma mendengus dingin.     

"Oh, Bu Sukma, saya tidak tahu apa-apa. Atau ibu bisa mengajari saya besok, jadi juga kita bisa lebih dekat." Mahesa tersenyum dan berjalan ke meja Sukma.     

"Siapa yang ingin lebih dekat denganmu, mesum?" Memikirkan adegan di lift pagi hari tadi, wajah Sukma diam-diam memerah.     

Mahesa melihat rasa malu Sukma di matanya. Dia berkata di dalam hatinya, Sukma benar-benar menarik, terutama penampilannya yang pemalu. Tidak ada orang yang tidak ingin menciumnya.     

"Apa yang kamu lihat? Jaga matamu!" Sukma mengangkat kepalanya dan menyadari bahwa Mahesa sedang menyipitkan mata padanya dengan penuh gairah.     

Mahesa mengangkat bahu dan berkata sambil tersenyum, "Aku hanya ingin mengatakan bahwa Bu Sukma sangat cantik. Bagaimana Anda bisa terlihat begitu cantik? Mata saya tidak bisa menahan untuk melihat Anda."     

"Mahesa, kamu tidak boleh bercanda. Bukankah presdir sudah memberimu nasihat tadi?" Ada banyak orang yang mengejar Sukma di perusahaan, tapi tidak ada yang mengatakan secara langsung bahwa dia cantik. Hanya Mahesa yang berani. Dia memang luar biasa.     

"Apakah aku berlebihan?" Mahesa bertanya dengan bingung.     

"Tentu saja, matamu itu harus dijaga. Jangan lihat aku, itu menjijikkan." Sukma menutupi dadanya karena takut Mahesa akan menyentuhnya lagi seperti tadi saat di lift.     

"Hei, bukankah semua orang terlahir untuk dilihat? Bu Sukma, bukankah menurutmu menjadi wanita yang bisa menarik perhatian pria adalah sesuatu yang membahagiakan?" kata Mahesa sambil tersenyum.     

"Itu tergantung laki-lakinya!"     

"Oke, oke!" Mahesa merentangkan tangannya, "Aku bukan orang baik. Baiklah, ayo pergi, lupakan saja. Aku tidak akan melihatmu seperti itu lagi."     

"Kamu tidak bekerja dan hanya tidur di tempat kerja, tapi saat waktunya pulang, kamu berlari dengan cepat. Memang karyawan teladan." Sukma memelototinya.     

Mahesa menghela napas, "Itu tidak benar. Aku punya keluarga, jadi aku harus segera pulang setelah bekerja. Kalau tidak, istriku akan marah lagi."     

Sukma tertegun dan tiba-tiba tersenyum, "Aku tidak tahu pria gila sepertimu ternyata adalah pria yang sudah menikah."     

"Bu Sukma, apa Anda berencana mengejarku?" Mahesa menunjukkan penyesalan.     

"Mengejar apanya? Cepat keluar!" Faktanya, Sukma agak bertanya-tanya, wanita malang mana yang menikahi orang cabul ini. Meskipun dia baru bertemu Mahesa hari ini, dia cukup yakin bahwa pria ini benar-benar berantakan dan gaya hidupnya sangat bermasalah. Sukma merasa kasihan pada istri Mahesa. Pasti sangat buruk selama menjalani kehidupan dengan pria seperti itu.     

"Hei, Bu Sukma yang cantik, Anda pasti terkesan dengan ketampanan saya. Ya, kan?" Mahesa tertawa, lalu mencondongkan tubuh ke arah Sukma. "Ini rahasia, tapi istriku adalah wanita yang sangat cantik."     

Sukma mengerucutkan bibirnya, "Meskipun sangat cantik, siapa pun yang menjadi istrimu pasti tidak beruntung."     

"Itu belum tentu benar. Orang-orang yang berada di sekitarku selalu merasa senang. Mungkin Anda belum pernah merasakannya." Mahesa tiba-tiba melirik payudara Sukma dengan cara yang tidak senonoh. Itu benar-benar besar, lebih besar dari milik Widya. Sepertinya ukuran D. Besar sekali.     

"Hei, kamu melihatku lagi!" Wajah Sukma memerah. Dia melemparkan pena di tangannya ke arah Mahesa.     

Mahesa buru-buru melompat dan menangkap pena itu. Wanita ini sama saja seperti Widya, suka memukul orang dengan pena.     

"Huh, cabul."     

"Saya akui bahwa saya memang cabul, tetapi saya seorang cabul yang mulia," kata Mahesa sambil tersenyum.     

Sukma hampir pingsan. Teori sesat macam apa itu? Apa kini orang cabul dibagi menjadi mulia dan tidak mulia?     

"Izinkan saya mengatakannya, Bu Sukma, sepertinya Anda sudah mulai tertarik dengan saya. Jadi, mari kita lakukan saja. Kita harus memperbaiki hubungan kita agar saya bisa bekerja dengan baik." Mahesa menaikkan alisnya sambil tersenyum.     

"Bicaralah yang masuk akal. Keluarlah!"     

"Hei, Bu Sukma, Anda terlihat sangat cantik ketika marah. Saya benar-benar khawatir kita akan jatuh cinta di kemudian hari." Mahesa berjalan ke pintu. Dia tiba-tiba berhenti dan tertawa. Adalah hal yang luar biasa dalam hidup untuk mempermainkan seorang wanita cantik.     

Saat keluar dari kantor direktur, Mahesa menarik banyak perhatian orang, terutama para pria. Mereka ingin mencabik-cabiknya. Sukma tidak hanya cantik, tapi juga sangat cakap. Mereka belum pernah mendengar tentang asisten Sukma. Mereka tidak menyangka pria ini tiba-tiba menjadi asistennya, dan Sukma mengizinkannya. Saat marah, banyak orang yang berpikir, siapakah pria ini?     

Tapi tidak peduli apa yang orang lain pikirkan tentang dia, Mahesa keluar sambil menyenandungkan lagu. Dia tidak pernah ambil pusing jika orang-orang itu akan cemburu padanya, toh, dia tidak punya hubungan apa pun dengan Sukma. Dia hanya asistennya saat ini. Tidak lebih dari itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.