Laga Eksekutor

36 - Wanita yang Mana Lagi?



36 - Wanita yang Mana Lagi?

0Sudah pukul tiga dini hari. Mahesa mengemudi di jalan sendirian. Sekarang dia harus pulang. Entah bagaimana dia bisa menjelaskan hal ini jika wanita gila itu bangun secara kebetulan. Setelah memikirkannya, Mahesa memutuskan untuk tidak pulang, tetapi diam-diam mengunjungi rumah Siska.     

Setelah masuk ke kamar Siska, Mahesa berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan noda darah di sekujur tubuhnya. Kemudian, dia pergi ke ranjang yang lembut dan tertidur lelap.     

"Ah, suamiku, kapan kamu datang?" Keesokan paginya, ketika Siska bangun, dia menemukan Mahesa terbaring di sampingnya. Tangan Mahesa di dadanya, dan ada seringai di wajahnya.     

"Bukankah kamu senang, istriku yang baik?"     

"Kamu seperti pencuri. Ah! Jangan melakukan itu, ini masih pagi."     

"Kita tidak pernah melakukannya di pagi hari. Mari kita coba."     

"Ah! Hentikan, aku membencimu!"     

Mahesa berbalik dan menekan Siska di bawahnya. Dia mencium bibirnya yang lembut dengan kuat. Tangannya tidak bisa lagi diam. Dia menyentuh setiap inci tubuh Siska. Mereka pun terlibat kegiatan "panas" di pagi hari.     

Setelah pergi dari rumah Siska, Mahesa pergi bekerja terlambat. Karena pakaiannya berantakan tadi malam, dia harus mengenakan pakaian olahraga sekarang. Begitu sampai di perusahaan, baju Mahesa menarik perhatian banyak orang.     

Jade International merupakan perusahaan besar dan juga memiliki peraturan khusus tentang pakaian karyawannya. Mereka harus memakai pakaian rapi dan formal, tapi ini adalah pertama kalinya ada karyawan di sana, yaitu Mahesa, yang memakai pakaian olahraga.     

"Apakah kamu di sini untuk bekerja?" Sukma terkejut saat memasuki kantor.     

"Tadi malam aku tidak pulang dan pakaianku kotor. Sekarang toko baju belum buka. Apa yang bisa aku lakukan?"     

"Hei, kamu memang pandai beralasan, ya? Mahesa, biarkan aku memberitahumu, jangan berpikir bahwa kamu bisa seenaknya melanggar peraturan. Percaya atau tidak, aku akan mengeluarkanmu dari perusahaan." Melihat baju Mahesa, Sukma menjadi marah. Dia tidak tahu apa yang orang ini pikirkan.     

"Kamu tidak akan melakukannya." Mahesa berkedip pada Sukma, "Kamu tidak bisa mengeluarkan aku."     

"Tidak tahu malu! Kenapa kamu tidak bisa serius? Aku benar-benar tidak beruntung bertemu denganmu, bajingan!" Pipi Sukma memerah dan dia mengutuk Mahesa.     

"Aku memang bajingan." Mahesa duduk di kursinya. Dia menyalakan komputer, dan menyalakan rokok dengan santai, "Ngomong-ngomong, Bu Sukma, terima kasih atas tadi malam."     

"Terima kasih apanya? Kamu berjanji untuk mengundangku makan malam."     

"Tapi aku tidak punya uang." Mahesa mengintip uang di dompetnya.     

Sukma memandang pria itu tanpa berkata-kata. Dia mengerucutkan bibirnya, "Kamu bukan laki-laki yang hanya membawa beberapa puluh ribu di dompet, kan?"     

"Aha, kamu benar! Aku punya alasan untuk ini. Ini karena istriku yang pelit. Biar kuberitahu kepadamu, istriku menguras uangku setiap bulan." Mahesa memutar kursi, dan akhirnya meletakkan kakinya di atas meja dengan punggung menghadap Sukma.     

"Di luar dugaan, kamu masih takut dengan istrimu." Sukma diam-diam tertawa.     

Pada saat ini, Widya dengan lembut membuka pintu kantor. Dia melihat Sukma yang akan berbicara dan buru-buru memberi isyarat padanya untuk tidak berbicara.     

"Benar, Sukma, apakah kamu ingin aku menceraikan istriku. Apakah kita akan bersenang-senang?" Mahesa tertawa, tetapi tidak ada jawaban dari Sukma.     

"Kenapa kamu tidak bicara? Kamu pasti patah hati karena aku sudah punya istri. Tidak apa-apa, malam ini kita…" Mahesa berbalik, tapi bukannya Sukma, yang dia lihat adalah Widya dengan wajah dinginnya, "K-kenapa kamu? Bu Widya, apa kabar?"     

Sukma diam-diam tersenyum di balik Widya. Sekarang Mahesa tertangkap basah oleh Widya. Sungguh hari yang tidak beruntung untuknya.     

"Apakah kamu bisa bekerja? Ini adalah perusahaan, bukan tempat hiburan. Jika kamu tidak ingin pergi bekerja, panggil saja aku." Widya berkata dengan dingin.     

"Ya ampun, Bu Widya, bisakah Anda mendengarkan saya menjelaskan?" Mahesa menunjukkan senyum pahit. Tidak heran tidak ada suara di belakangnya tadi. Kapan wanita gila ini masuk ke kantornya?     

"Jelaskan, bagaimana kamu ingin menjelaskannya kepadaku? Apa aku perlu membawamu ke kantorku?" Widya melangkah maju dan mencubit telinga Mahesa.     

"Oh, sakit, sakit, lepaskan, aku akan pergi. Kalau begini aku tidak bisa pergi." Mahesa berkata dengan kesakitan. Pada saat yang sama, dia menatap Sukma dengan galak. Kedua wanita ini benar-benar gila. Sukma bahkan tidak mengingatkannya ketika Widya datang.     

Sukma tersenyum penuh kemenangan. Meskipun dia tahu Widya adalah kerabat Mahesa, Widya adalah wanita yang profesional. Mahesa pasti akan mendapatkan hukuman setelah ini.     

____     

Kantor Presdir.     

Mahesa terus menggosok telinganya yang bengkak. Dia duduk di kursi dengan wajah sedih.     

"Siapa yang menyuruhmu duduk? Berdiri!"     

Mahesa berdiri dengan hati-hati. Dia berpikir bahwa wanita gila ini tidak akan mendengar apa yang dia katakan sekarang. Ini sudah berakhir. "Istriku."     

"Diam, apakah kamu ingin menceraikan istrimu? Dari mana istrimu berasal? Kenapa kamu ingin menceraikannya, hah?" Widya mencibir.     

"Hei, aku hanya bercanda tadi. Istriku, jangan anggap itu serius. Beraninya aku mengatakan itu padamu. Itu sama saja dengan aku bunuh diri." Mahesa mengusap tangannya dan tertawa canggung.     

"Menurutku tidak ada yang tidak berani kamu lakukan. Kamu cukup berani. Kamu bahkan berani merayu wanita hanya keesokan hari setelah hari pertamamu bekerja di sini." Widya sangat marah ketika dia memikirkan apa yang dia dengar dari Sukma. Pria yang penuh nafsu ini sebenarnya telah melecehkan karyawan lain di perusahaannya sendiri.     

"Aku tidak pernah begitu. Itu hanya lelucon."     

"Apa kamu bercanda? Sudah kubilang Mahesa, jangan berpikir aku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu. Kamu harus menahan dirimu untuk menggoda Sukma. Jangan lupakan identitasmu saat ini." Widya berkata dengan dingin.     

"Istriku, apakah kamu cemburu?" Mahesa berkata sambil tersenyum.     

"Cemburu apanya? Aku tidak akan cemburu pada orang sepertimu, bodoh!"     

"Istriku, kamu terlihat sangat khawatir. Tenang saja, aku tidak berani menggoda Sukma lagi. Sudah cukup bagiku untuk memilikimu." Mahesa tersenyum, tetapi mengutuk dalam hati. Wanita ini benar-benar berpikir dia adalah pria brengsek. Kenapa dia sangat tidak beruntung?     

"Cukup, jangan tersenyum seperti itu lagi. Ke mana kamu pergi tadi malam?" Widya meletakkan pena di tangannya dan memeluk tangannya di depan dadanya. Posisinya itu membuat dadanya semakin jelas.     

Mahesa menelan ludahnya, "Aku? Aku pergi ke temanku. Bajuku robek tadi malam, dan aku tidak punya uang, jadi… jadi aku tidak bisa pulang."     

"Teman? Kurasa kamu pergi dengan wanita lain." Widya mencibir. Dia sangat marah. Dia sudah lama mencium bau parfum wanita dari tubuh Mahesa.     

"Tidak, tidak."     

"Tidak? Lalu, dari mana bau parfum itu berasal? Menurutmu aku bodoh?" Karena Mahesa masih belum mengakuinya sampai sekarang, Widya sangat marah hingga dia memukul meja di depannya, "Mahesa, jangan lupakan kesepakatan di antara kita. Aku tidak menyangka kamu akan melanggarnya hanya dalam dua hari."     

"Istriku, aku sudah mengatakan semuanya. Aku pergi ke rumah teman wanita, tapi itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Kamu lihat bahwa pakaian ini bukan miliknya, tapi tentu saja ada aroma parfumnya karena aku baru saja dari rumahnya." Mahesa berkata dengan tatapan memelas.     

"Benarkah?" Melihat pakaian Mahesa yang satu ukuran lebih kecil, Widya merasa ragu.     

"Tentu saja itu benar, aku bersumpah demi Tuhan." Mahesa tidak percaya pada Tuhan, tapi ketika harus bersumpah, dia akan menyebut Tuhan.     

"Kalau begitu pergilah, kali ini aku akan memaafkanmu untuk sementara waktu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.