Laga Eksekutor

31 - Itu Liontinku



31 - Itu Liontinku

0Mahesa masih berada di Benowo, Surabaya Barat. Dia sedang bersandar di sudut gelap, hanya melihat cahaya lampu jalan yang bersinar dalam kegelapan. Pada pukul satu pagi, dia akhirnya melihat seorang pria muda berjalan keluar dari salah satu bar dalam keadaan mabuk. Tangannya memeluk kedua wanita cantik di sampingnya. Kedua wanita itu juga memegangi sang pria.     

"Dimas, kamu sangat menyebalkan, kenapa kamu tidak bisa menahannya?" Wanita yang satu mengedipkan matanya pada Dimas.     

"Benar, sekarang aku merasakan seperti ada banyak semut merayap di sekujur tubuhku. Dimas, kamu harus berhenti menggoda kami berdua untuk sementara waktu." Wanita lain menikmatinya dan berkata sambil tersenyum.     

Dimas mengangkat tangannya ke atas dan ke bawah sambil meremas pantat wanita yang satu. Kemudian, dia juga meremas dada wanita yang satunya lagi dengan tangan yang lain sambil menyeringai, "Hei, sebentar lagi aku akan memberitahu kalian hal yang mengagumkan."     

"Kalau begitu kita akan menunggu kamu untuk menyiksa kita. Wah, aku tidak sabar!"     

"Dimas, kami akan membuatmu bahagia malam ini, tapi jangan lupakan apa yang kamu janjikan kepada kami."     

Dimas dengan ganas memainkan tubuh kedua wanita itu. Dia tersenyum genit, "Bukankah itu hanya dua kalung? Aku akan menemani kalian untuk membelinya besok. Jangan khawatir, itu urusan mudah."     

"Dimas, kamu baik sekali, kami sangat mencintaimu." Kedua wanita itu mencium wajah Dimas pada saat yang bersamaan.     

Setelah Dimas membawa kedua wanita itu ke dalam mobil dan pergi, Mahesa muncul dari kegelapan dan melihat mobil itu pergi. Ada sedikit rasa benci di wajahnya, "Besok? Sepertinya kamu tidak akan bisa menunggu, Dimas." Mahesa buru-buru menghentikan taksi. Dia mengikuti Dimas sampai mobilnya berhenti di luar sebuah rumah.     

"Tidak perlu kembalian." Mahesa mengeluarkan seratus ribu dan menjejalkannya kepada pengemudi taksi, lalu keluar dari mobil dan melihat sekeliling. Setelah memastikan tidak ada siapa-siapa, dia melompat sedikit dan menghilang ke dalam kegelapan lagi.     

Di sisi lain, setelah tiba di rumah, Dimas langsung mandi dengan kedua wanita itu. Saat kedua wanita itu tidak memperhatikan, dia mengeluarkan kapsul berwarna biru dan menelannya. Kemudian, dia bergegas ke kedua wanita itu dengan perasaan yang sangat semangat.     

"Dimas, apa sesuatu yang mengagumkan itu?"     

"Hei, nanti dulu. Apa ada yang memberitahumu bahwa dadamu ini begitu besar dan lembut? Seperti milik sapi perah." Dimas dengan kuat mengusap puncak kembar yang menjulang tinggi di dada kedua wanita itu. Pada saat yang sama, tangan yang satunya meraih sesuatu di antara kaki wanita yang satunya. Tangan Dimas terus bergerak di sana dengan lincah.     

"Ah, tidak, kamu… kamu begitu luar biasa. Aku akan mencapai klimaks sebentar lagi. Ah!"     

"Hei, cairanmu banyak sekali. Lihat tanganku, semuanya basah." Dimas menunjukkan jari-jarinya.     

"Oh, Dimas, kamu sangat jahat. Kamu membuatku malu."     

"Ya, Dimas, cepat selesaikan ini. Aku sudah tidak sabar."     

"Apakah kalian sangat menginginkanku? Baiklah, kalian akan mendapatkannya segera."     

Dimas pun segera terlibat dalam pergumulan panas di bak mandi. Dia menikmati kedua wanita. Napasnya menjadi semakin berat seiring waktu.     

Mahesa yang sedang bersandar di jendela tidak bisa menahan ini semua. Dia menelan ludahnya dengan keras dari tadi. Melihat tiga orang yang bergoyang tiada henti, seluruh tubuh Mahesa juga menjadi panas. Benda tumpul di bagian bawahnya pun berdiri secara tidak sengaja.     

Sial, Mahesa juga sangat ingin menikmati bermain dengan dua wanita. Ini sudah menjadi keinginan lama Mahesa, tapi sayang sekali dia harus bermain sendiri dan tidak pernah bisa menikmati hal itu. Namun, dia tidak iri pada Dimas karena sebentar lagi pria itu akan mati di tangannya.     

Setelah mengambil napas dalam-dalam beberapa kali, mencoba untuk menekan keinginan di dalam hatinya, Mahesa menghilang dari jendela lagi. Setelah memasuki rumah itu, dua pisau tangan Mahesa menghujam kedua wanita itu, membuat mereka pingsan tak berdaya.     

Dimas yang masih menikmati pergerakannya dengan mata tertutup, tiba-tiba menyadari bahwa kedua wanita itu pingsan. Dia membuka matanya dengan tergesa-gesa dan melihat seorang pria menatapnya dengan tatapan membunuh. "Siapa kamu?"     

"Wow, aku tidak menyangka punyamu begitu kecil. Tapi kamu bahkan kuat bermain dengan dua gadis sekaligus." Mahesa melirik benda di antara kedua kaki Dimas, dan tersenyum jijik.     

Dimas merasa malu dan buru-buru menarik selimut ke atas tubuhnya. Bendanya itu memang sangat kecil. Dia tidak bisa mengelaknya. Dia bahkan sudah menemui banyak dokter untuk memperbesar ukurannya. Itu karena dia tidak ingin diejek oleh orang lain. "Kamu siapa dan kenapa kamu ada di sini?" Dimas bertanya dengan marah. Dia juga dengan tenang mengulurkan tangannya ke bawah kepala tempat tidur.     

Mahesa mengangkat bahu, dan berjalan beberapa langkah ke depan, "Coba tebak siapa aku."     

"Apa? Menurutmu aku ini bodoh? Tahukah kamu di mana ini dan siapa aku? Berani-beraninya kamu sombong di sini. Percaya atau tidak, aku akan membunuhmu dengan satu tembakan." Sambil berkata, Dimas mengeluarkan pistol dari sisi tempat tidur. Pistol itu menunjuk ke arah Mahesa.     

"Aduh, aku sangat takut." Pada saat ini, sosok Mahesa tiba-tiba menghilang. Saat dia muncul kembali, pistol Dimas sudah ada di tangannya, "Oh, ini pistol biasa." Namun, hanya dalam sekejap, pistol di tangan Mahesa mulai berubah bentuk dan hancur. Akhirnya, benda itu dilempar ke depan Dimas, "Aku lupa memberitahumu, pistol itu tidak berguna bagiku."     

Dimas gemetar. Dia tiba-tiba menelan ludahnya. Apakah pria ini adalah manusia? Benda itu adalah senjata, tapi bisa dihancurkan dengan mudah? Sepertinya tangan pria ini sangat kuat. Ini adalah pertama kalinya Dimas melihat seseorang bisa merusak pistol dengan begitu mudah. "Kamu siapa? Apa yang ingin kamu lakukan? Aku tidak mengenalmu." Dimas ketakutan, sangat ketakutan. Dia meringkuk di tempat tidur.     

Dimas memiliki orang tua yang hebat, tetapi dia tidak bisa bergantung pada mereka setiap hari, kecuali untuk minum dan bermain dengan wanita. Dimas tidak melakukan bisnis sama sekali. Terus terang, dia adalah pria yang tidak berguna. Dia tidak punya kekuatan apa pun. Jika ditakuti oleh Mahesa, apalagi yang bisa Dimas lakukan?     

"Apakah kamu tahu ini?" Mahesa mengeluarkan liontin platinum dari sakunya. Saat melihat liontin itu, Dimas memancarkan sedikit keterkejutan. Liontin itu memang miliknya, tapi dia tidak tahu di mana jatuhnya. Lalu, mengapa sekarang ada di tangan pria ini? Apa tujuannya datang ke sini malam ini untuk mengembalikan liontin itu?     

"Kenapa liontinku ada padamu? Aku tidak sengaja menjatuhkannya dua hari yang lalu."     

"Benarkah? Lalu di mana kamu menjatuhkannya?" Wajah Mahesa tiba-tiba menjadi dingin.     

��Bagaimana aku tahu? Aku sudah ke banyak tempat dalam beberapa hari terakhir ini. Aku benar-benar tidak tahu di mana aku menjatuhkannya. Saudaraku, apa yang terjadi? Kamu sangat menakutkan." Dimas berkata dengan gemetar.     

"Menakutkan? Apakah kamu takut? Setelah beberapa saat, kamu tidak akan takut." Mahesa bertanya dengan nada tinggi, "Tahukah kamu di mana aku menemukan ini?"     

Dimas menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu."     

"Kamu ingat bangunan terbengkalai di daerah Benowo?"     

Ketika mendengar kata-kata gedung terbengkalai di daerah Benowo, Dimas terkejut. Dia bahkan lebih ketakutan, "Kamu… kamu… Apakah kamu bawahan Big Brother?"     

"Tidak, tentu saja bukan."     

Dimas menghela napas lega. Untung saja Mahesa bukan bawahan dari Big Brother.     

"Tapi Siska adalah wanitaku." Mahesa berkata dengan tegas.     

"Apa?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.