Kuntawijaya The Legend of Vasavi Shakti

Burung-Burung Api



Burung-Burung Api

0Hujan anak panah kembali menyerbu pasukan Bhuta milik Diana, pertanda bahwa pertempuran telah dimulai. Sayangnya, puluhan anak panah itu gagal mencapai pasukan Bhuta tersebut karena terhalang oleh gada-gada besar milik para Bhuta itu. Hal itu tentu saja mengejutkan bagi Raka dan pasukan Sapta Pratala. Karena dari apa yang mereka ketahui, para Bhuta tidak mungkin dapat melakukan hal semacam itu.     

Raka memicingkan matanya untuk melihat diantara sela-sela kaki para Bhuta itu, sembari kedua tangannya terangkat membentuk kuda-kuda. Sekelebat rambut hitam akhirnya terlihat diantara kaki beberapa Bhuta, membuat Raka meyakinkan targetnya, lalu melesat maju seraya berteriak, "Maju!"     

Seperti halnya Diana yang merasa bahwa Raka menargetkan dirinya akhirnya mengangkat tangan kanannya. Gadis itu menunggu pasukan musuh berada dalam posisi yang lebih dekat dari mereka. Setelah dirasa pas, Diana pun mengayunkan tangan kanannya kedepan, yang direspon raungan oleh Bhuta yang paling besar. "Maju!!" Bhuta itu ikut berteriak, lalu melompat tinggi diikuti oleh sebagian pasukannya.     

Jarak antara kedua pasukan semakin menipis, menambah debaran dalam jantung setiap makhluk yang berpartisipasi dalam pertempuran itu. Raka menarik tangan kanannya yang dilapisi oleh Brahma Dahana ke belakang, seolah bersiap memukul lawannya yang paling depan. Tak mau kalah, Bhuta yang paling besar pun mengayunkan tangannya yang tidak memegang gada, seolah berusaha mengadu pukulannya dengan pukulan pemuda yang memimpin pasukan Sapta Pratala itu.     

Detik demi detik yang menegangkan terus berlalu, sebelum akhirnya kedua tinju beda ukuran itu bertubrukan satu sama lain. Bhuta itu sedikit lebih unggul dari Raka karena dia menggunakan lebih banyak tenaga pada pukulannya, membuat Raka sedikit kesulitan untuk mengimbangi pukulan itu. Hembusan angin kencang terbentuk dari beradunya kedua tinju itu, membuat beberapa personil dari kedua belah pihak terhempas lumayan jauh.     

Keduanya lalu sedikit terlempar mundur dan mengatur jarak masing-masing, Raka dengan kuda-kuda muaythai miliknya, dan si Bhuta yang berdiri seraya memikul gada miliknya. Raka melemaskan otot pergelangan kaki kiri miliknya lalu berlari kearah si Bhuta dengan tambahan kecepatan yang ia dapatkan dari petir Rudra. Dalam beberapa detik, Raka akhirnya bisa mencapai salah satu kaki Bhuta itu, lalu memberinya sebuah tendangan kaki kanan berlapis petir. Bhuta itu limbung sejenak, dan Raka memanfaatkan kondisi dengan menggunakan lutut Bhuta itu sebagai tumpuan.     

'Gawat...., kalau seperti ini terus, aku bisa kewalahan. Aku memang bisa menghabisi beberapa Bhuta sekelas Cakil tadi, tapi, kalau melawan dia.....' Raka membatin saat dirinya melompat hingga matanya bisa setara dengan tatapan mata si Bhuta. "Jurus Kesepuluh Aliran Tapak Dewa: Gonggongan Anjing Gila!" teriak Raka sebelum menyarangkan beberapa pukulan pada wajah Bhuta itu. Pukulan itu mulanya sedikit pelan, namun perlahan bertambah kecepatannya hingga seolah Raka memiliki enam tangan yang memukul secara bergantian.     

Si Bhuta mau tak mau harus menerima serangan Raka pada wajahnya, membuat wajah pucat Bhuta itu membiru di beberapa bagian. Setelah agak lama, Raka lalu mengakhiri serangannya dengan dua buah tendangan dari kedua kakinya. Tubuh pemuda itu terlempar ke belakang setelah menyarangkan tendangannya ke wajah si Bhuta, lalu mendarat di tengah medan pertempuran.     

Bhutas itu meraung marah setelah Raka menyerang wajahnya. Ia kemudian mengayunkan gada yang ia bawa secara brutal, menyerang apapun yang ada di depan matanya tanpa peduli kawan atau lawan. Bhuta itu merangsek maju kearah Raka, berusaha menggapai tubuh pemuda itu meski harus mengorbankan anak buahnya sendiri. Sayangnya, ia harus terhenti karena hujan anak panah kembali menyerangnya, membuatnya harus melindungi tubuhnya dengan gada yang ia bawa.     

Akan tetapi, Bhuta itu salah perhitungan karena beberapa dari anak panah itu ternyata bisa berbelok kearah si Bhuta. Anak-anak panah itu menancap di tubuh si Bhuta bertubi-tubi, membuatnya terpaksa berhenti karena rasa sakit yang tidak terkira. Bhuta itu menolehkan kepalanya ke berbagai arah, lalu menemukan Sembadra yang masih memasang pose seperti seseorang yang habis melepaskan anak panah.     

Beberapa detik setelah terkena hujaman anak panah, tubuh Bhuta itupun menegang diikuti munculnya aura berwarna merah muda di sekeliling tubuh si Bhuta. Bhuta itu lalu bergerak untuk menyerang Bhuta-Bhuta lainnya dengan ganas. Gerakan tubuhnya terlihat sedikit kaku, namun tetap saja bertenaga. Bagian matanya berwarna putih total, seolah-olah Bhuta itu sedang dikendalikan oleh sesuatu.     

Raka langsung saja berlari mundur dengan kecepatannya, lalu berhenti di samping Sembadra dengan nafas terengah-engah. "Kamu baik-baik saja, Raka? Kamu terlihat lelah," ucap Sembadra tanpa melihat kearah Raka. "Tentu saja aku tidak baik-baik saja, aku merasa capek karena penggunaan petir Rudra sangat memakan tenaga dalam milikku," ujar Raka dengan nafas terengah-engah. Sebuah senyuman tipis terkembang dari bibir gadis itu, seolah mengejek Raka.     

"Berarti ini pertama kalinya kamu berada dalam pertempuran besar macam ini ya?" Sembadra bertanya kembali seraya menarik sebatang anak panah baru di busurnya. "Ya, biasanya aku cuma bertarung menghadapi beberapa lelembut saja, itupun jarang bertemu dengan yang sekuat seekor Bhuta," jawab Raka seraya menegakkan tubuhnya, lalu menatap kearah medan pertempuran.     

Sembadra melirik sebentar kearah Raka, sebelum gadis itu kembali melepaskan anak panah miliknya. Seperti yang sebelumnya, anak panah itu kembali berpecah menjadi beberapa bagian, lalu melayang menargetkan beberapa Bhuta. Bhuta-Bhuta yang menjadi target anak panah Sembadra ikut mengeluarkan aura merah muda dari tubuh mereka, lalu ikut menyerang Bhuta-Bhuta lain yang tidak mengeluarkan aura merah muda.     

"Kenapa para Bhuta itu saling menyerang satu sama lain setelah terkena anak panah milikmu?" Raka bertanya dengan penasaran. Sembadra hanya melirik Raka, lalu melepaskan anak-anak panah dengan aura merah membara dari busurnya. "Itu adalah kemampuan yang dia miliki setelah membuka mode Wujuding Satriya, Raka. Selain itu, busur miliknya adalah busur milik seorang Bathara, sama sepertiku yang merupakan pusaka berkelas dewa," Shinta menjawab seraya berjalan mendekat kearah Raka dan Sembadra bersama Asmitha.     

'Begitu rupanya, pantas saja serangannya sangat kuat,' batin Raka seraya menatap Sembadra yang masih memasang wajah serius. Raka lalu menoleh kearah Shinta, lalu memegang tangan gadis perwujudan Vasavi Shakti itu. "Maaf, Shinta, aku perlu lebih banyak kekuatan," ucap Raka seraya sedikit mengisi tenaga dalam miliknya dengan tenaga dalam yang tersimpan dalam tubuh Shinta. "Salah sendiri kamu tadi malah menggunakan banyak tenaga dalam saat menghadapi Cakil," Shinta berkata dengan nada mencibir.     

"Maaf, aku belum bisa mengontrol kekuatan petir Rudra," ucap Raka seraya nyengir, lalu melepaskan genggaman tangannya pada tangan Shinta. Pemuda itu kembali melapisi tubuhnya dengan petir Rudra, lalu kembali melesat ke tengah medan tempur. "Semoga dia tidak melakukan hal yang aneh-aneh," ujar Shinta dengan nada khawatir. Asmitha menoleh kearah Shinta, lalu menatap ke langit seraya berkata, "Tak perlu khawatir, Jatayu pasti bisa menjaganya."     

Raka akhirnya bisa menemukan posisi Diana setelah berlari menyibak medan pertempuran itu, meski harus mengorbankan separuh tenaga dalam yang ia miliki tadi. Raka berhenti beberapa meter di depan gadis itu, lalu menatap matanya dengan sengit. Diana membalas tatapan Raka dengan tatapan lembut, bahkan dengan senyuman manis terukir di bibirnya. Hal itu membuat Raka merasa semakin muak, lalu kembali memasang kuda-kuda miliknya.     

"Kenapa kau menyerang Sapta Pratala, Diana?! Apa tujuanmu?!" Raka bertanya dengan nada marah, bahkan di dahinya sudah tergambar Bija berbentuk matahari khas seorang reinkarnasi Karna. "Kalau aku bilang karena dirimu, apa yang akan kamu lakukan, Raka?" Diana balas bertanya dengan nada manis seolah sedang memanas-manasi Raka.     

"Sialan kau.....!" Raka berteriak dengan marah, lalu merangsek maju seraya mengayunkan kaki kanannya setinggi pinggul. Akan tetapi, serangan itu bisa ditahan Diana dengan sebuah tongkat panjang yang terbuat dari besi. Tak kehabisan akal, Raka kembali menyerang gadis itu bertubi-tubi, meski selalu berhasil ditahan dengan tongkat milik Diana. "Jawab aku, sialan!" geram Raka di sela-sela pertarungannya dengan Diana.     

Senyuman Diana kembali terkembang saat mendengar nada marah Raka. Gadis itu lalu mementahkan serangan Raka dengan tongkatnya, lalu mengunci pergerakan Raka dengan melingkarkan tongkatnya di sekeliling leher Raka. "Karena kamu sudah membunuh Nyi Ambarini, Raka, dan juga, karena kamu sudah dengan sengaja menolakku dengan cara mendekati Sembadra," Diana membisikkan kata-katanya ke telinga Raka, membuat Raka merasa merinding saat mendengarnya.     

"Bukan urusanmu kalau aku menyukai seseorang, Diana! Kau tidak berhak atas diriku, karena kau bukan siapa-siapa bagiku!" Raka berkata seraya mengayunkan sikunya ke rusuk Diana. Hal itu otomatis membuat Diana melepaskan kunciannya pada leher Raka, membuat pemuda itu bisa melompat mundur untuk mengambil jarak dan memegangi lehernya. "Tentu saja itu adalah urusanku, Raka, karena kamu ditakdirkan untuk menjadi milikku," ujar Diana dengan nada dingin.     

Sebuah decihan keluar dari mulut Raka saat mendengar perkataan Diana. Pemuda itu kembali memunculkan petir Rudra untuk menyelimuti tubuhnya, lalu mulai melangkahkan kakinya sebelum akhirnya terhenti karena sebuah suara menghantam kontak batinnya. 'Raka, apa kamu bisa mendengarku?' ujar Shinta melalui kontak batin dengan Raka. 'Ya, aku bisa mendengarkanmu, Shinta, ada apa?' Raka membalas kontak batin Shinta seraya mengokohkan kuda-kuda miliknya.     

'Mundurlah secepatnya, lalu lakukan jurus kombinasi dengan Sembadra dan Srikandhi,' Shinta berkata seraya memberi instruksi pada pemiliknya tentang rencana yang ia buat bersama Asmitha dan Sembadra. 'Tapi aku tidak memiliki banyak tenaga dalam yang tersisa, apa tidak akan apa-apa?' Raka sedikit mencondongkan tubuhnya ke belakang, seolah bersiap untuk melarikan diri. 'Kita bisa menggunakan sedikit kekuatan milikku, Raka, jangan khawatir,' ucap Shinta menenangkan Raka.     

Helaan nafas panjang keluar dari dalam mulut Raka, diikuti sebuah senyuman mengejek yang ia tujukan pada Diana. Pemuda itu lalu kembali mengokohkan kuda-kuda miliknya, lalu melesat kearah Diana dengan kecepatan penuh. Diana dengan sigap menyilangkan tongkatnya di depan dada, dan Raka langsung melengkungkan tubuhnya ke tanah seolah akan bersalto kedepan. Pemuda itu lalu mendaratkan kakinya pada tongkat Diana, dan menjejak tongkat itu dengan kuat sebagai tumpuan untuk melontarkan tubuhnya kembali kearah Sapta Pratala.     

Tubuh Diana sendiri terlempar kebelakang saat Raka melontarkan tubuhnya sendiri dengan bantuan tongkat milik gadis itu. Diana lalu menggeram marah saat melihat Raka sudah separuh jalan kearah para pemimpin pasukan lainnya berkumpul, dan mengumpat kesal seraya mengeluarkan lebih banyak tenaga dalam untuk membebaskan pasukannya dari kendali Sembadra.     

Raka sendiri akhirnya bisa mendaratkan tubuhnya di dekat Shinta, meski tubuhnya sedikit limbung karena kelelahan. Beruntung Shinta bisa menahan tubuh Raka sehingga pemuda itu tidak terjatuh, kemudian mengalirkan tenaga dalam miliknya kedalam tubuh Raka. Pemuda itu lalu menegakkan tubuhnya, dan menatap Shinta, Sembadra, serta Asmitha secara bergantian. "Jadi, apa rencananya?" tanya Raka serius seraya menatap ketiga perempuan di depannya.     

"Kamu dan Dinda Sembadra akan bekerja sama melancarkan serangan kearah pasukan musuh, Raka. Mengenai tenaga dalam milikmu, Shinta pasti bisa memulihkannya dengan tenaga dalam yang dia simpan," ujar Asmitha yang memegang sebuah terompet tanduk. Shinta menganggukkan kepalanya, lalu mengubah tubuhnya menjadi butiran-butiran bunga api dan merasuk ke dalam tubuh Raka. Raka merasakan tenaga dalamnya kembali terisi, meski tubuhnya terasa sedikit tidak beres.     

"Kalian siap, Raka, Dinda?" Asmitha kembali bertanya, lalu dijawab dengan anggukan dari kedua remaja itu. "Raka, kamu harus memegang busur milik Dinda Sembadra bersamanya, lalu, kalian berdua harus menarik anak panah bersama-sama sambil mengalirkan tenaga dalam kalian ke anak panah itu," perintah Asmitha memberi instruksi.     

Raka dan Sembadra saling berpandangan dengan wajah yang memerah, meski akhirnya keduanya tetap melakukan apa yang Asmitha katakan. Asmitha langsung saja meniup terompet tanduk yang ia bawa, seakan memberi isyarat mundur kepada pasukan Sapta Pratala. Sementara Raka dan Sembadra masih menarik sebatang anak panah sambil mengalirkan tenaga dalam mereka ke anak panah itu.     

Keduanya menunggu hingga pasukan Sapta Pratala berhasil mundur ke belakang mereka, sembari masih mengisi tenaga dalam mereka ke anak panah yang mereka pegang. Saat prajurit Sapta Pratala terakhir berhasil mundur, keduanya langsung mengarahkan anak panah yang mereka pegang ke langit. "Samohana Kamajaya: Brahma Dahana Ardhadhedhali!" teriak keduanya sebelum melepaskan anak panah itu ke langit.     

Anak panah itu langsung saja memecah dirinya menjadi bola-bola api berukuran sedang, lalu membentuk diri mereka menjadi puluhan ekor burung yang terbentuk dari api. Burung-burung api itu lalu menjatuhkan diri mereka kearah pasukan Bhuta milik Diana, dan berusaha menabrakkan diri mereka kearah tubuh para Bhuta itu.     

Bersambung     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.