Kuntawijaya The Legend of Vasavi Shakti

Sang Tetuka



Sang Tetuka

0"Apa yang terjadi? Kenapa bisa ada bola api di langit?" gumam Adit saat melihat Sembadra yang menatap kearah bola api yang melayang-layang di langit. Bola api itu melayang dengan energi yang stabil, namun memiliki suhu yang sangat tinggi sampai membuat tumbuhan di tempat itu layu. Tiba-tiba, bola api itu melayang turun mendekati Sembadra, membuat Adit, Gilang, dan Lingga terkejut karenanya.     

Adit yang melihat bahwa keselamatan Sembadra terancam tentu saja tidak tinggal diam. Pemuda itu dengan cepat mengambil ancang-ancang untuk melompat dengan cara berlari, lalu melompat saat ia mencapai pinggiran batu besar yang berada di dekat motor Raka. "Antakusuma!" teriak Adit saat ia melompat dari batu besar itu, dan kemudian, tubuhnya bersinar terang benderang.     

Saat sinar yang berasal dari tubuh Adit meredup, tampaklah sekujur tubuh Adit telah dilindungi oleh baju baja yang terlihat seperti pakaian seorang kesatria kuno. Dengan pakaian itu, Adit bisa melayang terbang di udara lebih cepat dari kecepatan bola api yang mengarah pada Sembadra. Pemuda itu lalu menyambar tubuh Sembadra, dan beberapa detik setelahnya bola api itupun jatuh menghantam tempat dimana Sembadra jatuh terduduk tadi.     

"Nimas, apa kau baik-baik saja?" tanya Adit setelah menurunkan Sembadra di dekat Gilang dan Lingga yang baru saja turun dari batu besar tadi. "Aku baik-baik saja, Gatotkaca, terima kasih sudah menolongku," jawab Sembadra yang masih sedikit syok setelah hampir dihantam bola api. "Kangmas Gatotkaca, sepertinya kita tidak perlu lagi mencari Raka," ujar Gilang sambil menatap tajam kearah kobaran api yang timbul setelah bola api itu menghantam tanah.     

"Apa maksudmu, Antareja?" Adit bertanya seraya menoleh kearah Gilang yang meneguk ludah dengan kasar. Di sampingnya, tampak Lingga yang berkeringat dingin saat menatap kobaran api yang perlahan memudar itu. Adit yang baru saja menyadari arah pandang kedua pemuda itu langsung saja menoleh kearah yang sama, lalu terkejut saat melihat bahwa bola api itu ternyata berasal dari pemuda yang sedang mereka cari-cari sekarang, Raka.     

"Tunggu..... Apa itu Raka? Kenapa dia terlihat berbeda?" Adit bertanya saat melihat wujud Raka yang menyerupai Ashura. Sosok Raka itu terlihat begitu menyeramkan, belum lagi aura yang dipancarkan oleh tubuh pemuda itu memiliki panas yang tidak terkira. Beruntung bagi Adit karena dia sedang mengenakan pakaian perang miliknya, karena berkat pakaian itu ia jadi memiliki kesaktian yang dimiliki oleh dirinya di masa lampau.     

Adit menoleh kearah Sembadra, Gilang, dan Lingga yang tampak berkeringat karena hawa panas yang dipancarkan tubuh Raka. Hawa panas itu tidak berefek pada Adit berkat kesaktian Gatotkaca. Konon, dulu Gatotkaca yang masih bayi tubuhnya diceburkan ke dalam kawah Candradimuka yang sangat panas, jauh lebih panas dari hawa panas yang dipancarkan oleh Raka. Oleh karenanya, Adit yang notabene adalah reinkarnasi Gatotkaca bisa menahan suhu panas itu.     

Terlalu asik memperhatikan teman-temannya membuat Adit tak sadar kalau Raka tengah melesat kearahnya seraya mengayunkan tinju. Tinjuan Raka dengan telak mengenai pipi Adit, meski Adit sama sekali tak bergeser di tempatnya. Adit lalu memegang tinju Raka dengan tangan kirinya, lalu menarik tangan Raka dari pipinya. "Sepertinya, aku tahu masalahnya..... Antareja, Antasena, bawa pergi Nimas Sembadra dari sini," ujar Adit seraya menoleh kearah Raka yang menggeram marah.     

"Baik! Berhati-hatilah, Kangmas!" ujar Gilang seraya membawa Sembadra pergi bersama Lingga. Melihat bahwa teman-temannya telah meninggalkan arena pertempuran membuat Adit akhirnya bisa terfokus pada Raka. Adit memuntir tangan pemuda di depannya ini, membuat Raka meraung kearahnya seperti hewan buas yang kesakitan. Adit menarik tangan Raka dengan kuat, lalu membanting tubuh pemuda itu seperti membanting karung beras.     

"Hei, Raka, aku yakin kau bisa mendengarku sekarang. Kenapa kau bisa kerasukan oleh hawa jahat siluman ular itu?" Adit bertanya seraya menginjak dada Raka dan menarik tangan pemuda itu. Raka hanya menggeram marah, lalu dengan tangannya yang lain ia menarik kaki Adit dan balas membanting tubuh Adit ke tanah. Adit sedikit terkejut Raka bisa membanting tubuhnya, meski akhirnya senyuman tercipta di wajah Adit.     

"Kurasa tidak ada salahnya untuk bermain-main sebentar, hitung-hitung sedikit pembalasan karena kau membuat Nimas Sembadra bersedih hari ini," ujar Adit seraya bersalto mundur. Adit lalu mengacungkan tangan kanannya ke langit, dan petir pun turun dan menyambar sang reinkarnasi Gatotkaca. Saat petir itu menghilang, tampaklah sepasang sarung tangan besi dengan bentuk seperti wajah seekor singa terpasang di kedua tangan Adit. Sarung tangan yang berada di tangan kanan memiliki warna yang sama seperti warna darah, sementara sarung tangan yang berada di tangan kiri memiliki warna seperti batu berwarna gelap.     

"Ayo maju, Raka!" tantang Adit seraya mengacungkan tangan kanannya pada Raka yang menggeram marah sambil mengepalkan keenam tangannya. Keduanya melesat secara bersamaan sebelum akhirnya saling memukulkan tinju mereka. Tinjuan Raka sangat bertenaga dan memiliki suhu yang panas, tapi, kekuatan tinjuan Raka kalah oleh tinjuan Adit yang jauh lebih bertenaga. Tangan yang dipakai oleh Raka untuk meninju Adit akhirnya mengalami keretakan, dan Raka pun terlempar kebelakang karenanya.     

Akan tetapi, Adit tidak membiarkan Raka pergi begitu saja, karena Adit langsung saja melesat terbang mendahului Raka yang terlempar kearah danau. Adit berhenti tepat di tepi danau itu, lalu memukul Raka yang melesat kearahnya. Tak berhenti sampai disitu saja, Adit terbang ke langit dan kembali memukul Raka bertubi-tubi. Pukulan-pukulan yang Adit lancarkan berusaha ditahan oleh Raka dengan keenam tangan miliknya, tetapi, keenam tangan itu malah retak seperti kulit telur dan akhirnya pecah menjadi kepingan-kepingan besi.     

"Sudah kuduga kalau tangan Ashura itu sebenarnya hanyalah bagian dari hawa jahat siluman itu, sekarang, SADARLAH, RAKA!" teriak Adit seraya memukul jatuh Raka kearah tanah lapang di dekat danau. Pukulan keras Adit membuat Raka memuntahkan darah dari mulutnya, bersamaan dengan hawa jahat yang sangat pekat. Raka akhirnya jatuh membentur tanah, lalu terseret kebelakang sejauh beberapa meter.     

Di sisi lain, Sembadra sedikit menahan amarah karena Adit menghajar Raka dengan kedua pusaka andalannya. Gadis itu menatap khawatir kearah Raka yang dipukul jatuh oleh sang reinkarnasi Gatotkaca, lalu berlari menuju kearah Raka yang pingsan. Sembadra menarik kepala Raka ke pangkuannya, lalu memegang pipi Raka dengan tatapan cemas. "Maaf Nimas, sepertinya aku terlalu keras menghajarnya," ujar Adit yang mendarat di belakang Sembadra.     

"Kenapa kamu malah menggunakan Brajadenta dan Brajamusti, bodoh?! Kamu bisa saja membunuh Raka!" bentak Sembadra seraya menoleh kearah Adit. "Maafkan aku, Nimas, setidaknya aku berhasil mengeluarkan siluman sialan itu dari dalam tubuhnya," ujar Adit seraya menundukkan kepalanya. "Aku tidak peduli dengan siluman sialan itu, cepat urus dia bersama Antareja dan Antasena!" Sembadra kembali membentak Adit, lalu kembali fokus dengan Raka yang pingsan di pangkuannya.     

Adit hanya bisa menghela nafas panjang saat mendengar bentakan Sembadra, lalu berbalik dan berjalan kearah seorang perempuan berpakaian kemben dengan bagian bawah tubuhnya yang berbentuk seperti ular. Perempuan itu terkulai lemah di tanah setelah Adit memukulnya keluar dari dalam tubuh Raka. Adit menatap datar kearah perempuan itu, lalu memukulkan tangan kanannya yang dilapisi pusaka Brajadenta kearah perut perempuan yang tak lain adalah siluman ular itu.     

"Dasar kau siluman ular! Kenapa kau berani-beraninya merasuki tubuh temanku?! Mau mati kau, hah?!" ucap Adit kesal pada si siluman ular yang terbatuk-batuk karena terkena pukulan Adit. "J...jangan salah sangka, manusia keparat! Tidak akan kubiarkan kau dan teman-temanmu mengambil alih istana milik Nyai Ratu saat Nyai Ratu tengah mengemban tugas!" sang siluman balas berkata dengan nada penuh kemarahan.     

Tatapan aneh langsung saja Adit layangkan kearah siluman itu, sebelum akhirnya ia tanpa sengaja melepaskan siluman itu dari cengkeraman Brajadenta di tangan kanannya. Sang siluman ular langsung saja merayap mundur dari jangkauan serang Adit, lalu mendesis marah saat melihat Gilang dan Lingga bergabung dengan Adit.     

"Tidak akan kubiarkan siapapun merebut tahta Nyai Ratu! Bersiaplah untuk mati, manusia-manusia jahanam!" teriak si siluman ular seraya menerjang kearah Adit dan kawan-kawan. Kecepatan siluman itu terhitung lumayan cepat bila dibandingkan dengan kecepatan milik beberapa orang yang pernah Adit lawan sebelumnya. Adit maju selangkah untuk menghadang sang siluman ular, lalu menghantamkan pusaka Brajamusti di tangan kirinya ke dada siluman itu.     

"Hei, dengar ya, kami sama sekali tidak ada niatan untuk merebut tahta atau apalah itu. Kami datang kemari hanya untuk mencari teman kami yang kau rasuki tadi," ujar Adit seraya berjalan mendekati si siluman yang terbaring setelah terkena pukulan Adit. Siluman itu hanya bisa menatap Adit dengan tatapan marah, meski dirinya tak bisa menggerakkan tubuhnya karena rasa sakit akibat pukulan Adit.     

Tak sampai disitu saja, Gilang langsung saja membantu Adit dengan cara mengunci pergerakan sang siluman dengan menggunakan rantai miliknya. Rantai-rantai itu tersambung dengan tangan Gilang, seolah rantai itu adalah bagian dari dirinya. "Kangmas, aku sudah mengikatnya, sebaiknya kita apakan dia?" tanya Gilang seraya menoleh kearah Adit. "Kenapa kau malah bertanya, Kangmas Antareja? Bukankah sudah jelas kalau kita harus membunuhnya?" Lingga balik bertanya pada Gilang, yang malah dihadiahi sebuah ketukan di kepala oleh Sembadra.     

"Jangan sembarangan, Antasena! Kita tidak boleh menyakiti siapapun yang ditugasi untuk menjaga kedamaian suatu wilayah, baik itu di alam fana, alam gaib, maupun di Khayangan," ujar Sembadra menegur. Lingga hanya bisa menoleh kearah lain saat mendengar teguran Sembadra, lalu berjalan mundur kesamping Gilang. Sembadra sendiri hanya bisa menggelengkan kepalanya karena tingkah Lingga, lalu maju kearah siluman itu dan berkata, "Maaf atas perlakuan kami padamu, tapi, tolong yakinlah kalau kami tidak akan menyakitimu."     

"Aku tidak yakin kalau aku bisa mempercayai manusia sepertimu," ucap sang siluman dengan nada tajam. Perkataan siluman itu membuat Lingga sedikit emosi sehingga tanpa sadar sepasang tanduk muncul di kepala Lingga. "Jaga ucapanmu jika kau masih sayang nyawa, siluman ular," ancam Lingga seraya memajukan kepalanya ke depan wajah siluman ular itu. "Aku punya nama, manusia sialan! Namaku Galuh Astagina, salah satu siluman kepercayaan Nyai Ratu Blorong, Ratu Gunung Merapi!" ujar Galuh Astagina dengan nada marah.     

Menyadari kemarahan siluman itu membuat Sembadra menarik Lingga mundur ke belakangnya. Gadis itu lalu duduk bersimpuh di depan Galuh Astagina, lalu menundukkan kepalanya untuk meminta maaf. "Saya mohon maaf atas ketidaksopanan kami saat berkunjung kemari, Nyi Galuh. Kami terlanjur panik karena sahabat kami menghilang dan ternyata berada di sini," ujar Sembadra dengan nada pelan.     

"Kau mungkin lumayan sopan, tapi aku tidak akan memaafkan kalian sebelum kalian melepaskanku dari ikatan rantai ini," ujar Galuh Astagina dengan nada kesal. Sayangnya, ucapan Galuh seakan menuang minyak ke dalam kobaran api, karena kata-kata bernada kesal itu disalahartikan oleh Lingga sebagai ajakan berkelahi. Lingga berjalan mendekati Galuh Astagina dengan langkah berat, lalu menarik mundur salah satu tangannya seakan hendak memukul siluman ular itu.     

Akan tetapi, pukulan itu berhasil dihentikan oleh Adit dengan cara mengacungkan pusaka Brajamusti pada Lingga. Percikan-percikan petir tampak menyelimuti permukaan pusaka Brajamusti, seakan membawa kengerian tersendiri bagi siapapun yang terkena serangan dari pusaka itu. "Jangan gegabah, tunggu Raka sadar dulu, baru kita interogasi siluman ini," ujar Adit pada Lingga yang tampak meneteskan keringat sebesar biji jagung dari pipinya.     

Bersambung     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.