Kuntawijaya The Legend of Vasavi Shakti

Rakai Yudha Taksaka



Rakai Yudha Taksaka

0"Raka! Bangun! Udah jam setengah enam nih!" Teriak seorang perempuan berusia hampir setengah baya seraya menggedor-gedor pintu kamar seorang remaja laki-laki berusia 16 tahun. "Bentar lagi Bun! Tanggung nih lagi ngimpi ketemu cewek cakep," balas remaja yang dipanggil Raka itu sambil merapatkan selimut. Dengusan kesal pun keluar dari mulut sang bunda, lalu tanpa aba-aba beliau pun menggedor pintu kamar Raka lebih keras lagi.     

"RAKAI YUDHA TAKSAKA! BANGUN! HARI INI HARI PERTAMA KAMU MASUK SEKOLAH!" teriak sang bunda lebih keras, membuat Raka terguling kaget dari kasurnya. "Iya Bunda! Raka udah bangun nih," sungut Raka kesal seraya berjalan keluar dari kamar tidurnya. "Kamu ini, sekarang kamu udah SMA loh, masa' kamu mau telat terus kayak pas masih SMP?" omel bunda pada Raka yang menguap karena ngantuk. "Yamaap Bun, kan Bunda tau kalo Raka susah bangun pagi," sahut Raka disertai cengiran seraya ngebut menuju kamar mandi. "Raka! Cepetan mandinya, kasian Mbak Rana kelamaan nunggu nanti," ucap bunda keras saat melihat Raka ngebut menuju kamar mandi. "Iya Bunda Endang Gayatri....." ujar Raka dengan nada sok imut sebelum menutup dan mengunci pintu kamar mandi.     

Endang kembali menarik nafas dalam-dalam melihat kelakuan nyeleneh putra semata wayangnya yang baru saja menginjak bangku sekolah menengah atas. Sungguh, kadang ia merasa telah melakukan kesalahan dalam mendidik Raka, sehingga remaja itu sekarang menjadi sosok yang sedikit pemberontak dan jahil. Tak jarang pula Endang harus memenuhi panggilan dari guru bimbingan konseling saat Raka masih SMP, padahal saat itu ia tengah sibuk memberikan bimbingan pada mahasiswa prodi sastra di sebuah universitas yang lokasinya lumayan jauh dari SMP tempat Raka bersekolah.     

Meski begitu, penampilan ibu dua anak ini masihlah tergolong awet muda, seperti terlihat masih berusia seperempat baya. Hal ini diperkuat dengan kejadian dimana teman-teman putrinya yang pernah menyangka bahwa Endang adalah kakak dari putrinya sendiri yang saat itu masih berstatus pelajar SMA. Mengingat kejadian itu membuat Endang tersenyum geli saat melihat wajah-wajah kaget para siswa teman seangkatan putrinya ketika mereka mengetahui bahwa Endang sebenarnya adalah ibu dari Kirana Candramaya Ratih.     

Terlalu asyik dengan pemikirannya membuat Endang tak menyadari bahwa putrinya tengah memanggil dari lantai atas tempat kamar Raka berada. "Bundaaa.....liat jaketnya Rana nggak? Kemaren dipinjem sama adek, tapi ngga ada di kamarnya Bun," panggil Rana yang tengah mengacak-acak lemari pakaian adiknya. Endang bergegas menghampiri putrinya, lalu bertanya, "Emang jaket apa yang Rana cari?". "Jaket hoodie putih, Bun. Itu lho, yang Rana beli pas ada diskon gede di mall dulu," jawab Rana menjelaskan. Senyuman maklum tertoreh di bibir Endang, sebelum akhirnya wanita itu mengambil barang yang Rana sebutkan tadi dari dalam laci meja belajar Raka.     

"Loh! Kok jaket Rana bisa di lacinya adek sih Bun?" tanya Rana bingung, yang disambut kekehan lembut bundanya. "Rana, Rana. Kamu kayak nggak tau aja kalo adekmu itu suka jail. Raka pasti udah tau kalo Rana bakal cari jaket Rana di lemarinya, jadi dia pasti simpen jaket itu di tempat yang nggak disangka sama Rana," jawab Endang seraya menyerahkan jaket itu pada Rana. Rana terdiam dengan perasaan dongkol menumpuk di hati. Di pikiran gadis manis itu, terpikir 1001 rencana untuk membalas kejahilan adik lelaki satu-satunya itu.     

"Ya udah, Bunda berangkat duluan ya? Hari ini Bunda harus ngadain kuis buat mahasiswa prodi sastra Inggris. Rana tolong anterin adek ya? Sekalian nanti jemput kalo dia udah pulang," ujar Endang seraya berjalan keluar menuju garasi. "Oke deh, Bunda, hati-hati di jalan ya Bun," sahut Rana sambil mengekor di belakang bundanya, lalu membukakan pintu pagar rumah agar mobil sang bunda bisa lewat. "Kamu juga hati-hati nyetirnya lho, Rana," ucap Endang sebelum mengemudikan mobilnya menuju kampus yang jaraknya sekitar 18 km dari rumah mereka.     

Saat Rana berjalan menuju kamar untuk mengambil tasnya, ia melihat Raka tengah menyantap sepiring nasi goreng buatannya. "Dek, cepetan makannya! Udah jam 6 seperempat, nanti telat," seru Rana saat menaiki tangga menuju kamarnya. "Ojo kesusu to Mbak (Jangan buru-buru Mbak), nanti aku keseleg," protes Raka setelah susah payah menelan makanan yang tersangkut di kerongkongannya karena kaget mendengar seruan Rana. "Jangan santai-santai aja, Dek, cepetan. Mosok udah SMA masih seneng telat," cibir Rana sambil duduk di depan Raka dan meminum segelas susu. "Hilih...mentang-mentang wes kuliah," Raka balas mencibir sambil melihat kakaknya yang mengenakan celana jeans biru dan jaket putih bertuliskan kalimat `I Love Jogja` di bagian dada. Sungguh, ia ingin sekali bisa berangkat sekolah dengan penampilan bebas seperti kakaknya.     

"Udah, lek uwis kamu ki, udah jam setengah tujuh ini," Rana tidak mengacuhkan cibiran Raka padanya, lalu berdiri dan mengambil kunci mobil lain di atas kulkas. Raka sendiri langsung menghabiskan isi gelasnya dalam sekali teguk, lalu meletakkan piring dan gelasnya di bak cuci piring. "Mbak, enteni aku (tungguin aku) mbak!" seru Raka saat Rana menyalakan mesin mobilnya. "Cepetan, dek. Ojo lali (jangan lupa) ngunci gerbang ya," ucap Rana sambil menunggu Raka selesai mengunci pintu gerbang. Setelah Raka masuk ke mobil dan mengenakan sabuk pengaman, barulah Rana menginjak pedal gas menuju ke sebuah SMA negeri yang merupakan sekolah favorit disana. Perjalanan itu memakan waktu 10 menit karena Rana mengemudikan mobilnya dengan kecepatan standar. Sesampainya mereka di sekolah baru Raka, Raka langsung saja turun dari mobil dan berkata, "Om Swastyastu, mbak, aku berangkat dulu."     

"Dek, kowe mengko bali jam piro (kamu pulang jam berapa nanti)?" tanya Rana dalam bahasa Jawa yang sedikit aneh aksennya. "Kalo di jadwal sih, jam 3 atau jam setengah 4 lah mbak," jawab Raka sambil menoleh sedikit. "Ya wes, nanti mbak jemput jam 3. Bunda nanti kayaknya pulang telat, jadi nanti kita beli makan di luar ae ya?" Ucap Rana sebelum menutup kaca mobilnya dan mulai menyetir menuju kampusnya.     

"Tumben Mbak Rana ngajak makan di luar, biasanya ngomong nek kudu hemat," gumam Raka sambil menaikkan sebelah alisnya. Ia lalu mengangkat bahunya, lalu berjalan menuju ke sebuah kelas yang letaknya di pojok belakang yang dekat dengan laboratorium biologi. Kelas tersebut merupakan bangunan tua yang tampak kusam dan mencekam, membuat Raka bisa merasakan hawa-hawa tidak mengenakan di sekitarnya saat ia memasuki kelas. Raka melihat ke sekeliling, dimana ada 3 orang anak laki-laki tengah mengobrol di pojok belakang kelas, dan di depan mereka ada sekelompok anak perempuan yang tampak tengah asyik ngerumpi dengan teman baru mereka. Raka memilih untuk menaruh tasnya di dekat kelompok anak laki-laki itu, lalu mencoba untuk bergabung dengan obrolan mereka.     

"Hai, boleh gabung ga?" Sapa Raka ramah kepada ketiga anak laki-laki tersebut. Ketiganya sontak menoleh kearah Raka, lalu spontan mengeluarkan cengiran usil. "Boleh aja bro, ga ada yang ngelarang kok," ucap anak laki-laki pendek dengan paras oriental. "Makasih genks, btw, kenalin, namaku Rakai Yudha Taksaka, panggil aja Raka," ujar Raka seraya mengulurkan tangan kearah remaja berparas oriental tersebut, yang langsung disambut sebuah jabat tangan hangat dari remaja itu. "Raka ya? Kenalin, gue Gilang, met kenal ya Ka," balas Gilang sambil memperkenalkan dirinya. Raka langsung memberikan cengiran terbaiknya, lalu menyalami teman-teman lainnya.     

"Salam kenal ya, Ka, aku Aditya Pratama Jati, panggil aja Adit," ucap remaja kurus yang tingginya sedikit lebih pendek dari Raka. "Met kenal juga Dit, hehehehe," sahut Raka dengan cengiran sumringah, lalu menyalami anak laki-laki yang terakhir. "Kenalin, nama ane Lingga Buana Garudhawijaya, panggil aja Lingga ya bro," ujar remaja berbadan kekar namun agak pendek dengan rambut cepak sambil menggenggam tangan Raka dengan kuat. "Beres, Ling," canda Raka membuat tawa ketiga remaja lainnya meledak karena panggilan unik itu.     

"Btw, tadi lagi ngobrolin apa bro? Keknya asik bener," tanya Raka antusias pada teman-teman barunya. "Ngobrolin soal sekolah doang sih, Ka. Lu tau gak kalo kabarnya kelas yang kita tempatin ini sebenernya angker?" Jawab Adit sekaligus bertanya pada Raka. "Yo'i Ka, kabarnya, di sekolah ini dulunya pernah ada siswa bunuh diri masal, konon nih ya, sampe sekarang hantu mereka masih gentayangan di sekolah ini lho," sahut Lingga memanasi obrolan. "Ah, masa sih Dit? Gue liat ini sekolah keknya adem ayem aja gitu, ga ada apa-apa," celetuk Raka setengah bercanda, padahal dirinya sendiri bisa merasakan bahwa apa yang dikatakan Adit dan Lingga memang benar adanya.     

Di sekitarnya, Raka melihat beberapa arwah gentayangan yang sedang menatap kumpulan remaja laki-laki itu dengan intens. Arwah-arwah tersebut mengeluarkan hawa intimidasi yang sangat kental, sehingga membuat teman-teman Raka merasa merinding. "Gue juga pernah denger tuh Ling, katanya penyebab kasus bunuh diri berantai itu karena ada setan Bhuta di ruang kesenian yang neror siswa-siswi yang bunuh diri itu, katanya sih, sebelum meninggal bunuh diri, mereka kayak dihantui sama sosok Bhuta itu," Ucap Gilang yang menambah ketegangan dalam obrolan mereka, membuat Raka semakin merinding karena para arwah gentayangan itu mulai mendekat kearah mereka perlahan-lahan. "Lang, lu yakin itu beneran ada? Setau gue sih, itu cuma hoax," sanggah Raka yang mulai merasa tidak nyaman karena ada satu arwah yang berdiri tepat di belakang Gilang. Arwah penasaran tersebut mengenakan pakaian terusan warna putih yang bernoda darah, dengan wajah yang sudah membusuk sana-sini.     

Mata merah arwah gentayangan itu akhirnya menyadari bahwasanya salah satu dari keempat remaja itu bisa melihatnya, meski terasa samar, tapi arwah itu yakin bahwa remaja bertubuh tinggi kurus itu bisa melihatnya. Arwah itu lalu menyeringai kearah Raka yang masih coba mengalihkan topik pembicaraan teman-temannya, hingga akhirnya ia terselamatkan oleh bunyi bel pertanda bahwa para siswa-siswi harus berkumpul di lapangan untuk melaksanakan upacara bendera. Raka dengan sigap membenarkan ikatan dasi dan mengancingkan jas almamater miliknya, lalu mengajak teman-temannya untuk bergegas berkumpul di lapangan. Keempat remaja itu pun akhirnya berlalu, meninggalkan kelas yang sekarang dipenuhi arwah penasaran yang menyeringai mengerikan kearah rombongan siswa-siswi kelas 10 IPS B itu.     

Bersambung     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.