Sistem Teknologi dan Kekuatan Super

31. Kenangan Pahit



31. Kenangan Pahit

0Daniel merasakan kesadarannya telah pulih kembali. Ia membuka matanya perlahan dan segera disambut oleh ruangan berwarna putih dengan gorden berwarna hijau di sampingnya. Ia sedikit bingung di mana dirinya berada saat ini, tetapi segera lega setelah mengingat kejadian yang ia alami sebelum pingsan.     

"Kamu sudah bangun? Bagaimana perasaanmu saat ini?"     

Suara langkah kaki serta diikuti dengan suara seorang wanita dewasa didengar oleh Daniel. Ia mengangkat kepalanya, melihat wanita menggunakan seragam putih khas perawat sedang tersenyum ramah kepadanya. Diam-diam ia merasa lega dan batinya berkata, 'Untung saja tidak menggunakan seragam hijau ataupun biru.'     

Ia segera membalas senyum wanita itu lalu menjawab, "Masih terasa sedikit pusing, tetapi sudah lebih baik dari sebelumnya."     

"Um, maaf. Saya ingin menanyakan sesuatu," lanjutnya setelah melaporkan keadaannya kepada perawat. Ia bertanya, "Bagaimana dengan orang yang mengantarkanku? Apakah dia baik-baik saja?"     

Setelah menjawab mengenai keadaannya tadi, ia ingat dengan gadis yang diselamatkannya. Hal yang diingatnya terakhir kali ialah dirinya dirangkul gadis itu setelah sesuatu yang berat menghantam bagian belakang kepalanya. Ia sedikit khawatir dengan gadis yang diselamatkannya.     

"Apakah yang kamu maksud itu adalah seorang gadis yang menemanimu sampai ke sini?" tanya perawat itu sembari meletakkan makanan yang dibawanya untuk Daniel. Dia menjawab, "Dia baik-baik saja. Hanya saja, dia tidak bisa terlalu lama menjagamu. Aku hanya melihat dia mendapatkan panggilan telepon dan langsung pergi setelah mengangkat telepon itu."     

"Jangan khawatirkan soal biaya perawatanmu, dia telah membayar seluruh biayamu di klinik ini," lanjut perawat itu dengan senyuman lembut di wajahnya.     

Daniel merasa lega setelah mendengar gadis yang diselamatkannya baik-baik saja, tetapi ia hampir saja menyemburkan air yang diminumnya ketika mendengar kalimat tambahan dari perawat cantik di depannya. Ia merasa gadis itu dan perawat di depannya mengenalinya.     

Ia tersenyum canggung dan berkata, "Terima kasih, kakak Perawat."     

"Ucapkan terima kasihmu kepada gadis yang membantumu ketika kamu bertemu dengannya nanti."     

Setelah itu, perawat itu tersenyum dan pergi untuk melakukan pekerjaan lain. Ia memakan hidangan yang dibawa oleh perawat tadi, kemudian mencari-cari barang-barangnya. Ia sangat bersyukur menemukan dompet dan ponselnya masih ada dan isi dari dompetnya masih utuh.     

Ia memeriksa ponselnya, menemukan panggilan tak terjawab dari Rika dan Raka. Ia segera memanggil perawat untuk melakukan prosedur pemulangan karena malam semakin larut dan ia tak ingin adik-adiknya terlalu khawatir. Setelah menjalani prosedur yang ditetapkan, ia pun diizinkan pulang dari Klinik.     

Sebelum pergi, ucapan terima kasih ia sampaikan kepada dokter dan perawat yang telah merawatnya selama ia di klinik itu. Ia kemudian menelepon Rika, memberitahunya bahwa ia akan segera pulang. Adiknya itu cepat mengerti apa yang dikatakan olehnya dan segera menutup panggilan telepon.     

Ia berjalan di bawah langit malam yang dihiasi oleh ribuan bintang terang. Menatap bintang-bintang itu, ia bergumam, "Dia sangat bertanggung jawab. Aku akan mengucapkan terima kasih ketika bertemu dengannya nanti."     

....     

Beristirahat selama satu hari penuh sejak kejadian malam itu, Daniel kembali ke sekolah keesokan harinya karena merindukan suasana kelasnya. Namun, ia tak menyangka bahwa kedatangannya akan disambut oleh tatapan tak mengenakan dari teman-teman sekelasnya.     

Ia dibuat bingung karena ulah mereka menatap dirinya dengan berbagai tatapan tak mengenakan. Ia ingin menanyai seseorang yang berada di di dekat pintu masuk kelas, tetapi ia kaget melihat seseorang yang sangat akrab di matanya. Orang itu adalah gadis berwajah bulat berkacamata model square-frame dengan rambut dikepang dua. Gadis itu adalah pacarnya, namanya Anita.     

Niatnya mencari tahu perilaku aneh teman-temannya ia hentikan untuk sementara waktu karena melihat sosok Anita di kelas. Ia pun mendatangi Anita dengan maksud mencari tahu mengapa Anita mendatangi kelasnya pagi-pagi sekali. Namun, baru berjalan beberapa langkah, ia melihat ekspresi Anita ketakutan dan marah, Anita juga melangkah mundur saat melihatnya mendekat.     

Daniel mengerutkan kening, merasa heran dan mempertanyakan sikap Anita saat ini. Namun, ia segera mengubah ekspresinya. Senyum lembut terbentuk di bibirnya dan bertanya kepada Anita, "Apa yang terjadi padamu? Mengapa kamu terlihat marah dan sedih seperti ini?"     

"Jangan berpura-pura tidak tahu!" teriak seorang remaja laki-laki di samping Anita, "Kau telah memeras uang Anita! Uang yang akan digunakan untuk biaya pengobatan ibunya!"     

"Benarkah ia melakukan itu? Selama ini ia bersikap cukup baik loh."     

"Siapa yang tahu? Coba lihat saja ekspresi Anita. Aku yakin itu benar-benar dilakukannya. Ia benar-benar memeras uang Anita."     

"Jika itulah yang terjadi, aku sangat kasian kepada Anita dan ibunya. Uang yang dikumpulkannya untuk ibunya malah dirampas paksa oleh Daniel. "     

Sejak satu orang memecahkan suasana dengan menuduhnya melakukan kejahatan, siswa-siswi lainnya langsung berdiskusi tentang hal tersebut. Daniel merasa kaget dan tidak mengerti apa yang dikatakan oleh remaja laki-laki di samping Anita yang dikenalnya sebagai ketua kelas itu. Untuk sementara waktu, ia mengabaikan hal-hal lainnya dan menatap Anita dengan serius. Ia bertanya, "Anita, apa maksud sebenarnya dari perkataan Yudhistira? Bisakah kamu menjelaskannya kepadaku apa yang terjadi?"     

"Kamu ... kamu telah memeras uangku! Satu-satunya uang yang kukumpulkan malah kau ambil! Ibu ... dia membutuhkan uang itu, Daniel. Dia butuh uang itu untuk membayar biaya pengobatannya. Mengapa ... mengapa kamu mengambil uang itu?"     

Kemarahan hingga kesedihan Anita membuat Daniel kaget sekaligus tak nyaman. Ia kaget karena Anita menuduhnya melakukan sesuatu yang tidak dilakukannya dan ia merasa tak nyaman karena sikap Anita sangat berbeda dari biasanya. Ia merasa yang didengar dan dilihatnya saat ini bukanlah Anita yang dikenalinya.     

Ia tidak mengerti apa alasan Anita menuduhnya melakukan hal yang tidak pernah dilakukannya, tetapi ia bisa memahami satu hal. Saat ini, ia sedang difitnah oleh pacarnya sendiri. Sempat terdiam beberapa detik, ekspresinya segera berubah menjadi serius. Ia berkata, "Aku sama sekali tidak melakukan apa yang kamu tuduhkan kepadaku."     

"Jika kau tidak melakukannya, bisakah kau memberikan buktinya kepada kami?" Yudhistira langsung menanyainya, "Anita, aku dan wali kelas sudah melihat bukti bahwa kau melakukan kejahatan itu. Buktinya berupa buku tabungan Anita yang hampir terkuras habis, hanya menyisakan lima puluh ribu saja."     

Daniel terdiam sebentar mendengar pertanyaan itu. Ia menyadari bahwa ia tak bisa menyanggah tuduhan tak berdasar Anita sehingga mengakui tak memiliki bukti adalah pilihan terakhirnya, "Aku tidak memiliki bukti."     

"Benar saja dugaanku! Ia benar-benar melakukan perilaku keji semacam itu!"     

"Aku pikir ia anak baik-baik, seorang yang bekerja keras belajar dan bekerja, tetapi dibalik itu ia memiliki hati busuk. Ia bahkan tega mengambil uang itu walau sudah tau ibu Anita sakit dan membutuhkan uang itu."     

"Kau tidak memiliki bukti dan masih saja ingin mengelak dari masalah ini. Sebagai ketua kelas, aku tidak ingin masalah ini membuat nama kelas kita menjadi buruk karena tingkah lakumu. Jadi, kembalikan kepada Anita uang yang yang kau ambil."     

"Mengembalikan? Tidak. Aku tidak akan memberikan uang hasil jerih payahku untuk hal yang tidak berdasar seperti saat ini," balas Daniel atas saran dari Yudhistira. Ia telah difitnah, sekarang uang untuk adik-adiknya ingin diambil darinya. Ia tidak akan menyerahkan uangnya.     

"Jika itu maumu, maka aku tidak bisa membantumu lagi." Yudhistira terlihat menghela napasnya lalu menoleh melihat Anita dan berkata, "Kembalilah ke kelasmu dulu, aku akan menyampaikan ini kepada wali kelas. Aku jamin uangmu akan kembali dengan utuh."     

Anita mengangguk, kemudian berjalan mendekati Daniel dan berkata, "Kita putus. Aku tidak ingin berpacaran lagi dengan orang sehina dan menjijikkan sepertimu."     

Mendengar keinginan berpisah dari mulut Anita, perasaan sedih tak bisa tertahan lagi di hatinya. Di dalam hatinya ia bertanya-tanya, 'Apakah berakhir seperti ini?'     

Ia memejamkan matanya beberapa detik, kemudian menghembuskan napasnya dan membuka matanya kembali. Tanpa menunjukkan ekspresi apapun di wajahnya, ia menjawab, "Ya."     

Ia segera berbalik setelah mengatakan jawaban singkatnya, tetapi ia dihentikan oleh dua orang. Mereka adalah Max dan Regi. Keduanya hanya menepuk bahunya dengan senyum lembut pada masing-masing wajah mereka. Ia membalasnya dengan senyum tipis, kemudian berjalan menuju kursinya.     

Setelah kepergian Anita, ia segera mendapat ejekan dan hinaan dari sebagian besar teman sekelasnya. Beberapa orang melemparkan bola-bola kertas kepadanya, tetapi ia mengabaikan mereka. Hatinya telah hancur, suasana hatinya sangat buruk dan emosinya bercampur aduk saat ini. Ia berusaha sekuat mungkin untuk tidak menanggapi mereka agar dirinya tidak menambah lebih banyak masalah lagi.     

Ketika bel istirahat telah berbunyi, ia segera didatangi oleh wali kelasnya dan dibawa ke ruang guru. Selama di perjalanan menuju ruang guru, ia bisa mengetahui bahwa kejadian tadi pagi telah tersebar cepat di seluruh sekolah melalui tatapan dan ejekan dari orang-orang yang berpapasan dengannya.     

Bersama wali kelasnya di ruang guru, ia sekali lagi dimintai pertanggungjawaban dengan mengembalikan uang Anita sebesar tujuh ratus ribu. Ia menolak dan menjelaskan bahwa ia tidak melakukan hal itu, tetapi wali kelas sama sekali tidak mempercayainya. Ia diam, menggertakkan giginya, merasa sangat tidak rela uang untuk adik-adiknya digunakan untuk hal semacam ini.     

Hanya setelah wali kelas mengatakan bahwa hal itu bisa diproses hukum barulah Daniel menyetujui keinginan wali kelasnya. Jauh di lubuk hatinya ia tak ingin memberikan uang itu, tetapi ia juga berpikir panjang mengenai proses hukum dan nasib adik-adiknya nanti. Untuk itulah ia menyerahkan uang itu dan langsung pergi setelah diterima oleh wali kelasnya. Ia tak bisa menahan emosinya lagi jika berlama-lama di ruang guru.     

Sepanjang hari ini ia mendengar ejekan, hinaan, serta perundungan secara verbal oleh sebagian murid-murid di sekolah. Sehingga saat bel pulang berbunyi, ia langsung keluar dari kelas karena takut emosinya meledak di kelas dan mendapatkan masalah lainnya.     

Ia tidak langsung kembali ke rumah, tetapi datang ke pemakaman kakeknya. Ia ingin berbicara dengan kakeknya untuk menghapus emosi-emosi yang ada di dalam hatinya agar tidak menyakiti orang-orang terdekatnya, terutama Rika dan Raka.     

Tangisnya tak terbendung lagi saat sudah sampai di makam sang kakek. Air mata yang mengalir menumpahkan rasa sedih dan kecewanya. Bibirnya tak mengucapkan satu kata pun, hanya isakan tanginya yang terus terdengar.     

Hanya setelah beberapa menit menangis, emosinya menjadi lebih stabil dan suasana hatinya mulai membaik. Ia mulai menceritakan kisahnya kepada kakeknya, "Kakek, aku mendapatkan perlakuan sangat buruk hari ini. Aku dituduh melakukan hal yang tidak pernah kulakukan sama sekali oleh dan kepada orang yang kuanggap berarti. Aku telah menjelaskannya dengan jujur, tetapi hanya sedikit yang mau mempercayaiku. Aku diejek, dihina, sampai dirundung oleh sebagian besar orang di sekolah hanya dalam satu hari ini."     

"Kakek dulu pernah mengatakan kepadaku jikalau orang yang bersikap baik akan dibalas dengan kebaikan pula. Aku mengikuti apa yang kakek katakan kepadaku. Aku bersikap lembut, baik kepadanya, mengerti dia, membantunya melakukan banyak hal, bahkan sampai membantu orangtuanya. Namun, kenapa, kenapa aku malah mendapat balasan seperti ini, Kakek?!" lanjutnya terus menumpahkan semua emosinya dengan beruraian air mata.     

Ia terus mengeluarkan semua keluh kesah yang dialaminya hari ini sampai-sampai tidak menyadari awan mulai menghitam. Angin dingin pun berhembusan hingga kemudian suara guntur bergemuruh mengeluarkan suara nyaring.     

"Saat ini aku benar-benar membutuhkanmu, Kakek. Aku ingin bercerita dan mendengarkan nasihatmu lebih banyak lagi. Aku merindukanmu," gumamnya dengan rasa penuh kerinduan di matanya.     

Air hujan mulai berjatuhan membasahi Daniel. Semakin lama, semakin deras hujan membasahinya. Meskipun begitu, ia tidak berhenti menceritakan kesedihannya. Ia bahkan sampai berterika untuk meluapkan semua amarah dan kekecewaannya terhadap pacar, yang saat ini sudah menjadi mantan pacarnya.     

Di tengah derasnya hujan turun dan nyaringnya suara guntur, tak ada satu orang pun yang mendengar dan memperhatikan teriakan dan tangisannya. Bak didukung semesta, cuaca terasa sangat mendukungnya untuk menumpahkan seluruh emosi yang diterimanya hari ini.     

Ia tidak menyadari berapa lama waktu berlalu hingga akhirnya ia menyelesaikan cerita keluh kesahnya, laporannya tentang adik-adiknya, dan juga kesehariannya dan kedua adiknya kepada sang kakek.     

Hujan telah berhenti, awan gelap mulai menghilang. Indahnya pelangi mulai terlihat dan kehangatan mentari senja dirasakan oleh tubuhnya yang basah karena hujan. Ia membelai batu nisan makam kakeknya lalu berkata, "Kakek, maaf telah banyak mengeluh dan menceritakan banyak hal kepadamu hari ini. Aku telah mengerti beberapa hal dari nasehat yang dahulu kakek berikan kepadaku. Aku akan hidup lebih baik lagi, demi kakek, Rika, Raka dan diriku sendiri. Aku berjanji akan membuatmu dan mereka bahagia serta bangga kepadaku dan prestasiku di masa depan."     

"Aku akan mengajak mereka mengunjungimu di masa depan dan akan kembali lebih sering lagi untuk bercerita banyak hal kepadamu, Kakek," lanjutnya dengan senyum lembut. Ia berdiri, mengambil tasnya yang basah lalu berkata, "Aku pulang dulu, Kek. Sampai jumpa di lain hari."     

Ia sekali lagi menatap makam kakeknya kemudian melangkahkan kakinya pergi dari taman pemakaman umum dengan seragam basahnya. Ia merasa langkah kakinya semakin ringan dan beban emosi di hatinya telah berkurang setelah bercerita panjang lebar kepada sang kakek. Tanpa disadarinya, sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis tetapi terasa tulus.     

.....     

"Mengingat masa lalu membuatku merindukan kakek," gumamnya sembari menghapus setitik air mata di sudut matanya. Ia melanjutkan, "Kejadian itu masih menyisakan perasaan sakit hati, tetapi ... kini aku mengerti sedikit tentang garis besar masalah yang terjadi."     

Ia duduk di tanah sembari menelaah kembali ucapan Yudhistira kemarin. Meski kenangan pahit kembali teringat karena ucapan itu, tetapi ia bisa mendapatkan beberapa fakta baru tentang apa yang terjadi. Ia tersenyum pahit dan berkata, "'Dia' jadi ikut terlibat masalah karena diriku. Meski hati ini masih terasa sakit, kuharap dia baik-baik saja sampai saat ini."     

Potongan-potongan puzzle semakin banyak ia dapatkan karena kejadian kemarin. Potongan tersebut membuatnya melihat semakin jelas tentang awal mula masalah itu dimulai. Ia menoleh melihat jam tangannya, kemudian tatapannya berubah tajam serta ekspresinya menjadi serius. Ia telah memutuskan sesuatu dan mengatakannya dengan tegas, "Suatu saat aku akan membalas perbuatanmu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.