Sistem Teknologi dan Kekuatan Super

6. Kemarahan Daniel



6. Kemarahan Daniel

0Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada sahabatnya, Daniel berjalan menuju ruang guru. Memikirkan alasan Nia memanggilnya, dalam pikirannya ia hanya bisa menebak bahwa itu terkait masalah tertidur di kelas. Ia terpikirkan itu karena tahu bahwa Nia merupakan wali kelas sementara di kelasnya.     

Sesampainya di sana, dirinya mengetuk pintu dengan sopan lalu masuk ke dalamnya. Kedatangannya diperhatikan oleh guru-guru yang masih berada di ruangan tersebut, tetapi kemudian mereka kembali pada kesibukan mereka sendiri.     

Ia mencari-cari keberadaan Nia sampai pada akhirnya menemukan seorang guru cantik sedang mengetik sesuatu di laptopnya. Ia berjalan menghampiri Nia, dan saat sampai, ia menyapanya dengan sopan.     

"Selamat siang, bu Nia."     

Mendengar seseorang memanggilnya, Nia mengehentikan kegiatannya. Dia mendongak mencari tahu siapa yang memanggilnya, kemudian ia menemukan Daniel sedang berdiri menunggunya berbicara. Matanya memandang serius ke arah Daniel, kemudian menunjukkan senyum cerah yang amat manis.     

"Selamat siang, Daniel," katanya membalas sapaan, "kamu duduk dulu."     

Daniel merasa senang mendapat sambutan hangat dari walikelasnya. Ia membungkuk sopan dan berkata, "Terima kasih, Bu."     

Mendapatkan sikap sopan dari seseorang yang dia anggap sebagai murid bermasalah, ia cukup terkejut. Namun, mengingat berbagai rumor buruk yang diceritakan oleh banyak murid tentang Daniel, dirinya tersenyum kecut.     

'Murid-muridku berkata bahwa ia adalah siswa yang buruk. Sering tak masuk sekolah, perilaku buruk, berkelahi, hingga rumor mengenai pemerasan dan perilaku menjijikkannya kepada gadis-gadis cantik adalah apa yang diceritakan murid-murid itu kepadaku. Mengingat ia tak sekalipun masuk di pekan pertama sekolah dan sikap sok manisnya di depan seorang wanita cantik sepertiku, kurasa apa yang mereka katakan benar. Sepertinya aku benar-benar mendapat siswa bermasalah.'     

Nia menghembuskan napas pasrah atas apa yang dia dapatkan. Ia tetap menunjukkan senyumnya agar membuat muridnya nyaman dalam mengobrol, kemudian dia berkata, "Ibu akan menyita sedikit waktumu. Ibu memanggilmu ke sini untuk mengobrol mengenai masalah tindakan tidak disiplinmu dan alasanmu bolos sekolah selama pekan pertama sekolah."     

"Jadi, bisakah kamu ceritakan mengapa kamu tidak fokus pada saat jam pelajaran saya? Apakah ada sesuatu yang menganggumu?" katanya bertanya kepada murid di hadapannya.     

Daniel mengangguk, mengerti dengan pertanyaan dari walikelasnya. Ia menjawab, "Jika ibu berbicara tentang itu, saya benar-benar minta maaf. Perihal saya tidak berkonsentrasi pada pelajaran ibu dikarenakan saya merasa terganggu dengan rasa sakit akibat dari kecelakaan ditabrak mobil. Untungnya mobil itu tak berjalan terlalu cepat sehingga cedera yang saya terima tidak parah dan sudah pulih sekarang."     

"Benarkah kamu ditabrak oleh mobil? Ibu benar-benar tidak menerima berita mengenai kecelakaan tersebut." tanya Nia. Matanya menatap ragu kepada Daniel karena cerita yang didengarnya masih sulit dipercaya.     

Daniel mengangguk lalu menjawab, "Kecelakaan itu merupakan kecelakaan kecil. Saya langsung kabur setelah mobil itu menabrak saya. Jadi, adalah hal normal jika ibu tak mendengar kabarnya."     

Mendengar jawaban Daniel hampir membuat Nia tertawa. Bukan karena dia merasa lucu, melainkan merasa kesal serta merasa sangat bodoh jika ia mempercayai cerita semacam itu. Mengabaikan kebohongan yang sangat nampak tersebut, dia melanjutkan obrolan dengan murid bermasalah yang ada di hadapannya.     

"Lalu, mengapa kamu tertidur di saat pelajaran pak Barudi dimulai? Apakah kamu juga merasa pusing akibat tertabrak mobil?" tanya Nia seraya menyisipkan sinisme di dalamnya.     

"Saya minta maaf mengenai hal tersebut. Selama sepekan terakhir, saya bekerja hingga larut malam. Karena hal tersebutlah saya tidak masuk selama sepekan awal dan berakhir tertidur di jam pelajaran pak Barudi," jawab Daniel tanpa memedulikan sinisme yang terkandung dalam kalimat walikelasnya. Ia memilih untuk tak menceritakan tentang keberadaan Sky maupun sistem kepada siapapun karena ini merupakan rahasia terbesarnya.     

"Tak bisakah kamu berterus terang dan jujur saja?!" Nia berteriak marah karena merasa tak tahan lagi dengan cerita Daniel yang ia anggap sebagai kebohongan.     

"Pertama-tama, kamu berkata bahwa kamu kabur setelah kecelakaan mobil dan itu benar-benar tak masuk akal. Sulit untuk mempercayainya ketika kamu mengatakan mengalami kecelakaan yang tak terdengar kabarnya."     

"Kedua, kamu membuat alasan dengan membual bahwa kamu bolos selama pekan awal dan tertidur di jam pelajaran pak Barudi karena bekerja. Ini benar-benar kebohongan yang sangat besar jika kamu mengatakan bahwa murid sepertimu bekerja!"     

"Apakah kamu diajarkan oleh orangtuamu seperti ini? Benar-benar menyedihkan mengetahui kamu diajarkan seburuk ini oleh orangtuamu. Kuharap kamu belajar dari kesalahan ini dan janganlah berbohong lagi!"     

Nia benar-benar meluapkan kekesalannya. Dia mula-mula ingin menasehatinya dengan baik melalui obrolan ini, tetapi kebohongan demi kebohongan terus ia dengar dari mulut murid bermasalah di hadapannya ini. Hal itu tentu saja membuatnya semakin kesal hingga akhirnya ia tak bisa membendung kekesalannya lagi.     

Keributan yang dia buat membuat keduanya menjadi pusat perhatian dari guru-guru yang masih di ruang guru. Para guru saling memandang karena merasa bingung, dan akhirnya salah satu dari mereka mencoba untuk menenangkan Nia agar tak emosi.     

Sementara itu, Daniel tertunduk setelah mendengatkan mendengarkan rentetan kekesalan yang dikatakan oleh Nia kepadanya. Bukannya ia diam karena membenarkan pernyataan tersebut, tetapi ia diam karena merasa sangat marah atas apa yang dikatakan oleh Nia pada kalimat terakhirnya.     

Ia hanya akan menganggap itu angin lalu jika seseorang menghina dirinya, tetapi ketika orang-orang menghina kakek dan adik-adiknya, dia akan merasa sangat marah. Yang dikatakan oleh Nia merupakan hinaan kepada kakeknya, yang ia anggap sebagai orangtua, mentor kehidupan, kakek, dan seorang sosok sangat penting baginya. Itu membuat kemarahannya sangat memuncak.     

Tanpa memikirkan akibat yang akan terjadi kedepannya, ia meluapkan amarahnya dengan menggebrak keras meja di depannya. Suara itu mengejutkan guru yang mencoba mendinginkan suasana dan guru-guru yang hadir di ruang guru karena gerakan itu terlalu tiba-tiba dan terdengar nyaring.     

Ia menatap Nia dengan tajam. Matanya menunjukkan amarah yang besar hingga menyebabkan Nia takut menatap langsung pada matanya.     

"Tak bisakah kau untuk tidak menghina orangtuaku? Asalah kau tau saja, aku sejak lahir tidak mengetahui siapa orangtuaku. Aku diadopsi oleh seorang kakek berusia lanjut, seorang yang sangat penting yang kuanggap sebagai orangtua, kakek, dan orang yang sangat penting bagiku. Kini kau menghinanya seolah dia mengajarkan hal buruk kepadaku? Sialan kau!" teriak Daniel meluapkan kemarahannya.     

"Kakek tak pernah mengajarkanku untuk berbohong. Apa yang kuucapkan adalah kebenaran dan kejujuranku. Sejujurnya, sejak awal aku sangat menghormatimu sebagai guru dan walikelasku seperti yang diajarkan meski matamu menatapku layaknya murid sampah, tetapi aku tak bisa mentolerirnya lagi sejak kau menghina kakekku. Menuduhku berbohong, menghina orangtuaku, dan meragukan muridnya sendiri, apakah-"     

"Daniel, kuharap kamu bisa tenang."     

Seorang pria paruh baya menyentuh pundak Daniel untuk menenangkannya dari luapan amarah. Daniel menoleh kepada sosok pria tersebut, tapi kemudian ia menundukkan kepala meminta maaf kepada pria paruh baya tersebut karena ia mengenalinya.     

Melihat bahwa Daniel perlahan merasa tenang, pria paruh baya itu berkata, "Daniel, tenangkanlah dirimu dulu. Besok, kamu harus datang ke ruangan saya."     

Daniel mengangguk paham. Ia mengambil tas yang ia taruh di lantai kemudian sekali lagi meminta maaf kepada pria paruh baya tersebut.     

"Saya minta maaf atas apa yang saya lakukan. Saya akan pulang dulu," katanya sembari meminta maaf kepada guru yang lain, termasuk kepada Nia juga.     

"Berhati-hatilah di jalan. Jangan sampai tertabrak mobil lagi," kata pria paruh baya itu sembari tersenyum tulus.     

Berterima kasih kepada pria paruh baya itu, Daniel pergi meninggalkan ruang guru. Pria paruh baya itu bernapas lega, ia mengalihkan pandangannya kepada guru-guru lain dan berkata, "Bapak dan ibu guru, jangan lupa untuk beristirahat."     

"Baik, Pak." Guru-guru membalas dengan serentak.     

Pria paruh baya itu beralih lagi kepada Nia, seorang guru baru yang mengajar di sekolah yang ia pimpin. Ia berkata, "Ibu Nia, saya harap Anda bisa memberikan alasan yang masuk akal atas tindakan dan ucapan yang Anda katakan kepada Daniel."     

"Saya harap Anda tidak mengulangi kesalahan semacam ini lagi. Mari berbicara di ruangan saya," katanya tersenyum sembari berjalan keluar dari ruang guru.     

Sementara itu, Nia hanya diam dan mengangguk saja. Dirinya tak menyangka bahwa apa yang dia katakan akan berdampak besar seperti ini hingga membuat siswa yang ia anggap bermasalah marah-marah tanpa pandang bulu.     

Tak ingin membuat sosok penting di sekolah menunggu, ia segera datang menuju ke ruangan kepala sekolah.     

....     

Sesampainya di rumah, Daniel disambut oleh dua remaja yang memiliki wajah mirip satu sama lain. Mereka merupakan adiknya yang kembar, yang merupakan keluarganya satu-satunya.     

"Akhirnya kakak udah pulang," sambut Rika ketika menemukan kakaknya duduk di teras rumah, "sangat jarang kaka pulang terlambat. Apakah terjadi sesuatu di sekolah, Kak?     

"Tidak ada hal khusus terjadi, hanya mengobrol dengan guru saja," jawab Daniel tersenyum. Ketika melihat wajah gembira dari adik-adiknya, amarah yang dirasakannya tadi menghilang. Sambutan dari keluarga satu-satunya membuatnya merasa senang. "Apa kalian sudah makan?" lanjutnya.     

Adik laki-laki Daniel, Raka membusungkan dada dengan bangga ketika mendengar pertanyaan dari Daniel. Dia berkata, "Hehe, tenang, Kak. Tadi aku sudah memasak dan kami makan sampai kenyang."     

Melihat perilaku adik-adiknya, Daniel tersenyum bahagia.     

"Apakah kalian masih menyisakan masakan itu untukku?" tanya Daniel sembari bangun dari lantai. Ia memasuki rumah bersama keduanya.     

"Tidak. Aku tak memasakkannya untuk kakak karena kakak bisa memasaknya sendiri," jawab Raka tertawa.     

Daniel berpura-pura sedih, dan disambut oleh tawa dari adik-adiknya. Saat ini, ia sangat bersyukur masih bisa dipersatukan dengan keluarganya. Ia ingin kehidupan seperti ini terus berlanjut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.