Pekerjaanku [End]

Masa Setelahnya



Masa Setelahnya

0Kehilangan kedua orangtua itu memang hal paling mengerikan yang terjadi dalam kehidupan kita. Aku menjadi saksi dimana keempat lelaki yang sudah dewasa kehilangan 'kompas hidup' mereka. Padahal mereka adalah 4 lelaki yang sudah dewasa dan sukses. Yang aku pikir goncangan ini nggak akan banyak pengaruhnya untuk mereka. Ternyata aku salah.     

Bos Kecil mulai kembali aktifitasnya lagi setelah libur akhir semester berakhir. Dan dia memutuskan untuk tinggal di rumahnya. Berbeda dengan ketiga kakaknya yang lebih memilih untuk tinggal di rumah utama lebih lama.     

Meski perlahan, aku bisa melihat bagaimana mereka bangkit untuk kembali menapaki jalan hidup masing-masing. Bersedih juga nggak akan membuat Mr. dan Mrs. Narendra kembali kan?     

Mr. Arrael mulai membimbing adik-adiknya untuk bangkit. Aku tahu, tugas sebagai anak tertua itu memang berat. Kita harus memberikan contoh kepada para adik agar mereka menjadi baik. Kalau kita udah ngasih contoh tapi mereka nggak baik, ya itu urusan mereka. Itu pemikiranku, tapi nggak dengan Mr. Arrael.     

Meski terlihat canggung dan aneh, tapi Mr. Arrael berusaha dengan sangat keras. Dari yang awalnya 11-12 kaya Bos Kecil, pendiam parah, kini Mr. Arrael mencoba untuk lebih banyak berbicara.     

Perlu usaha berulang kali agar para adik memakan umpan dan mulai berbicara lagi. Itulah sebuah proses, yang membuatku semakin kagum sama keluarga ini.     

Meski kehilangan hal terpenting dalam hidup, mereka mau berusaha untuk bangkit. Aku ingin menjadi seperti Mr. Arrael suatu saat nanti. Bukan mau mendoakan Bapak dan Ibu cepet meninggal, aku cuma ingin memiliki semangat yang sama dengan beliau.     

Nah, balik ke Bos Kecil.     

Sebelum memutuskan untuk kembali ke rumahnya, aku pernah secara nggak sengaja mendengar para Kakak berbincang. Mereka membahas perihal Angga Narendra.     

Ketiga kakak merasa khawatir karena Bos Kecil tampaknya sangat terpukul dengan kepergian kedua orangtua mereka. Apalagi Bos itu deket banget sama Nyonya Clara. Kemana-mana bakal ngintil.     

Apalagi, menurut Ms. Stephenson, hanya Bos yang nggak memberikan peningkatan. Aku sih nggak paham apa yang dimaksud sama peningkatan itu, tapi aku paham artinya. Bahwa setelah melakukan beberapa kali perbincangan pribadi dengan Ms. Stephenson, Bos Kecil nggak membaik. Bisa diartikan gitu sih.     

Menurutku memang gitu. Nggak perlu dari kacamata para ahli psikologi, orang awam pun akan berpikir hal yang sama. Bahwa seorang Angga Narendra rasanya menjadi orang lain, bukan Angga Narendra yang mereka kenal dulu.     

Bos masih sama, masih suka diam, masih suka irit ngomong. Tapi Bos jadi lebih tertutup. Contoh kecil aja, kalau biasanya aku diperbolehkan berada disisinya ketika Bos lagi kerja atau ngerjain tugas, sekarang nggak. Bahkan untuk masuk ke kamarnya aja udah nggak sebebas dulu.     

Yang lebih parah? Bos kayaknya mencoba bunuh diri.     

Kenapa aku bisa bilang gitu? Itu karena aku nggak sengaja nemu udang di freezer. Dimana itu adalah hewan yang haram ada di rumah. Aku langsung menyingkirkan hewan itu dan melaporkan ke Kairo. Meski menyadari 'simpanan'-nya menghilang, Bos nggak protes atau apa gitu.     

Sejak penemuan itu, aku lebih ekstra lagi memeriksa semua sudut rumah. Kalau lagi di rumah, aku macam polisi lagi cari barang bukti, semua sudut rumah digeledah. Bahkan kamar Bos yang sekarang terkunci juga aku geledah. Jangan sampai kecolongan.     

Memang nggak ditemukan barang 'haram' seperti udang atau sejenis seafood lainnya, tapi aku menemukan beberapa epipen di tempat sampah. Itu adalah barang Bos Kecil, aku yakin itu. Kalau kayak gini ceritanya, jelas aku juga membutuhkan waktu khusus untuk bertemu dengan Ms. Stephenson.     

Keadaan ini memang tidak semenegangkan ketika menghadapi Bos Kecil yang kolaps karena alergi, tapi jelas tekanannya nggak segampang itu. Aku merasa jadi gampang lelah. Kalau di rumah, aku jadi uring-uringan. Entah apa yang terjadi disekitarku, rasanya nggak tepat aja. Dan ada aja alasan bagiku untuk marah.     

"Lo napa sih? Macem anjing nggak keturutan kawin aja." protes Edo, ketika aku baru saja selesai memarahi Fara yang membuat kopi terlalu panas untukku.     

Aku diam sejenak. Meresapi apa yang Edo katakan barusan, lalu melihat kearah Fara yang sudah tertunduk lesu. Ibu sama Bapak menatapku dengan pandangan yang rumit. Aku jadi tersangka sekarang.     

"I'm sorry." hanya itu yang aku ucapkan, itupun dengan nada lirih.     

Sisa hari itu aku mengurung diri di kamar. Benar-benar mengurung diri dan mematikan semua gadget yang aku miliki. Aku baru keluar kamar ketika aku yakin semua orang udah tidur.     

Sialnya, Fara malah masih asyik nonton tv di ruang tengah. Ditemani semangkok mie instan yang menggoda. Fara menyadari kehadiranku, membuatnya gagal melahap mie instan. Yang nyebelin adalah, perutku langsung keroncongan ketika mencium bau wangi mie instan yang udah dicampur cabai rawit. Sumpah, mie instan buatan Fara tuh enak banget.     

"Mas mau?" siapa yang bisa menolak mie instan buatan Fara? Aku rela rebutan sama Edo kalau dia ada disini sekarang.     

Fara yang penuh pengertian segera beranjak dari tempatnya dan berjalan ke dapur. Tak lama, dia kembali dengan semangkok jumbo berisi mie instan double untukku. Fara memang paling pengertian.     

"Fara, I'm sorry." kataku. Kami sudah selesai menyantap mie instan kami hingga tandas.     

"Mas ada masalah?"     

Ah, kalau aja Fara bukan adikku, tentu aku udah pacarin Fara setelah putus dari Nara. Dia adalah adik paling pengertian yang aku miliki. Fara seolah bisa membaca pikiranku ketika aku sedang banyak masalah ataupun pekerjaan. Fara nggak pernah tanya, tapi dia tahu semuanya.     

Tuhan, semoga Fara mendapatkan laki-laki yang baik untuk menjadi pendamping hidupnya kelak.     

"Everything went wrong. I don't know what to do." aku menyandarkan kepalaku ke pundak Fara. Dengan lembutnya Fara menepuk pundakku perlahan.     

"All is well. Iya kan?" Fara tersenyum.     

"Hope so."     

Kami akhirnya menonton tv dalam diam. Padahal aku yakin Fara juga sebenernya nggak fokus nonton tv-nya. Tapi itu lebih baik lah, daripada nanti ngobrol malah jadinya salah.     

***     

Pagi ini tiba-tiba aja Bos Kecil minta dianter ke kampus. Jam 9 udah harus sampai di kampus karena ada kerja kelompok sama beberapa temennya. Agak ragu sih, karena memang nggak ada jadwal kuliah pagi dan juga nggak ada tugas kelompok.     

"Sudden assignment." ucap Bos Kecil ketika aku hanya menatapnya.     

Ya udah, percaya aja. Siapa tahu memang ada tugas mendadak kan. Lagian siapa sih aku? Ke kampus aja cuma antar jemput Bos Kecil doang.     

"Pick me up at 4 pm." kata Bos Kecil sebelum keluar dari mobil. Aku sih mengangguk aja sih.     

Balik ke rumah, aku sengaja memanfaatkan waktu luang untuk beristirahat. Sengaja banget minum obat tidur yang aku dapat setelah menemui Ms. Stephenson. Pada akhirnya, aku menjadi bagian dari kaum yang berharap bisa tidur dengan normal. Tak lupa, aku masang alarm biar nggak telat jemput Bos Kecil.     

Walau udah minum obat tidur, nyatanya aku nggak bisa tidur dengan baik. Harapanku, paling nggak aku bisa tidur 4 jam, nyatanya bari 2 jam aja udah kelabakan.     

Sembari membunuh waktu, aku melakukan pekerjaanku. Masih merangkum email dan belajar bahasa asing selanjutnya. Bahasa Perancis. Yang sudah hampir 1 tahun dan belum lancar juga.     

Tepat jam 3.25 sore, aku mengemudikan mobil untuk menjemput Bos Kecil. Hati rasanya nggak enak. Pasti ada sesuatu yang terjadi nih.     

Menunggu 30 menit, dan Bos Kecil nggak muncul juga. Berusaha berpikir positif kalau kelas jadi molor karena ujian atau diskusi. Atau bisa juga si Bos lagi ngobrol sama temen kampusnya dan lupa waktu.     

Sudah kelewat 1 jam. Masih berusaha berpikir positif. Mungkin Bos lupa ngabarin kalo dia ada acara sama temen-temennya. Aku ngirim pesan nggak sampai. Aku telepon juga nggak nyambung. Afirmasi diri kalau All is well.     

"Dean, what are you doing here?" suara Jona mengagetkanku.     

"Menjemput Mr. Angga." jawabku santai.     

Sekilas info aja, aku masih ada di dalam mobil. Di luar lagi hujan lebat. Jona kehujanan, jadi dia masuk ke mobil dalam keadaan basah kuyup.     

"Dia nggak masuk hari ini."     

Apa yang Jona katakan tuh kedengaran kayak ada petir dahsyat yang menyambar. Padahal nggak ada petir walau sekarang hujan.     

"Are you serious?" suaraku agak meninggi.     

"Ngapain bohong? Udah berapa lama nunggu disini?"     

Apa yang diucapkan Jona ada benarnya. Nggak ada motif untuk membohongiku. Dan lagi, aku sudah menunggu disini hampir 2 jam. Kalau memang Bos ada di dalam, pasti dia akan melihat mobil ini kan?     

"So, where is he?" tanyaku polos.     

"Lah, kamu kan asistennya, masa nggak tahu dimana bosnya?"     

Great! Aku terlihat seperti asisten pribadi yang nggak bertanggung jawab banget. Tapi aku beneran nggak tahu dimana Bosku sekarang. Dan akan sangat memalukan kalau anggota keluarga Narendra tahu aku nggak bisa mengurusi 1 orang aja kan?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.