Pekerjaanku [End]

Kejutan



Kejutan

0Besok adalah hari ulangtahun Bos Kecil. Kehebohan sudah dimulai sejak pagi ini. Aku juga kebagian dapet hebohnya. Nggak ribet, tapi detail.     

Ada yang bertugas menghias mobil dan juga rumah. Ada juga yang menyiapkan makanan dan juga perintilan lainnya. Sekali lagi, aku adalah pihak yang harus tahu segala hal tentang Mr. Angga Narendra secara mendetail. Karena aku adalah asisten pribadi beliau.     

Hias menghias udah kelar. Perintilan pesta juga udah kelar. Yang belum adalah makanan.     

"Apa harus seteliti itu?" tanyaku ke Rossie. Dia yang mendapat jatah mengurusi makanan karena aku belum paham.     

Ada setumpuk buku menu yang sedari tadi dibuka tutup oleh Rossie. Dia sedang memilih menu makanan yang sesuai dengan daftar yang sudah diberikan oleh Nyonya Clara. Harusnya sih gampang, karena di list itu sudah disebutkan nama masakannya. Yang ribet adalah bahan campurannya.     

"Mr. Angga memiliki alergi yang parah dengan seafood, jadi kita harus teliti melihat bahan apa saja yang dimasukkan dalam masakan, agar beliau tetap bisa mencicipi makanannya."     

Memangnya separah apa alergi itu? Bukannya cuma bentol atau gatal doang ya?     

"Separah apa?" tanyaku kepo.     

"Death." jawaban Rossie langsung membungkam mulutku.     

"How come?" tapi aku masih kepo.     

"Anafilaksis, bisa menyebabkan kematian." Rossie ngomongnya biasa aja lho. Sama seperti ngomong kalo kamu bakal diare gitu.     

"Maksudnya?" kok malah keterusan nanya sih?     

"Kamu bisa mencari penjelasannya di internet." Rossie menutup buku ditangannya. "Ah mumpung kamu bahas. Setelah acara ini selesai, kamu harus ketemu dokter. Kamu harus belajar menyuntik."     

Hah? Apa lagi ini sekarang? Kenapa juga aku harus belajar nyuntik coba? Emang siapa yang harus aku suntik?     

Pertanyaan yang berputar diotakku, aku tahan untuk sementara waktu. Biar besok ada bahan obrolan sama Rossie pas kita duduk barengan.     

Malamnya, semua orang berkumpul untuk merayakan ulangtahun si Bos Kecil. Sekilas info aja nih, ultahnya nggak diadain di rumah utama keluarga Narendra, melaikan di rumah yang nantinya akan menjadi rumah Bos Kecil. Gile ya, anak 17 tahun aja udah punya rumah mewah gini.     

Usut punya usut, rumah ini terdiri dari 4 rumah yang digabung. Dengan dinding belakang yang di bongkar biar bisa menyatukan 4 rumah itu. Ya biar bisa akrab gitu antar anak.     

Yakin banget kalo rumah ini tuh harganya mahal. Selain bentukan rumahnya yang bagus banget, letak rumah ini tuh di jalan yang ramai alias strategis. Dan, nanti ketika Bos kuliah, dia akan lebih banyak tinggal di rumah ini ketimbang di rumah utama.     

Kalau berita yang itu, aku menyambut dengan tangan terbuka. Jelas dong ya jarak rumah ke tempat kerja nggak jauh-jauh amat. Lagian, aku juga nggak perlu lewatin jalan sepi kalo pulang malam. Lama-lama horor juga tahu setiap balik malem sendirian. Mana jalan sepi, rumah penduduk jarang.     

Eh, balik ke acara ultahnya Bos. Kita semua memprediksi kalau itu orang bakal B aja pas dikasih surprise. Dan emang gitu sih faktanya. Nggak ada tampang kaget atau heboh kalo dikasih kado beberapa mobil mewah.     

Dulu Tuan sama Nyonya ngidam apa ya pas anakan ini? Bisaan aja lempeng gitu mukanya.     

***     

Nggak ada yang spesial setelahnya.     

Aku mulai bekerja seperti yang aku harapkan. Maksudnya, aku udah mulai ngatur jadwal harian dan juga pekerjaan yang mendetail. Udah kaya asisten pribadi lah pokoknya. Tapi belum seahli Kairo atau Rossie gitu.     

Apa ya misalnya?     

Oh, menyiapkan tiket pesawat untuk ke luar negeri misal. Itu aku lakukan ketika Bos harus nyusul Mr. dan Mrs. Narendra ke Jepang sendirian. Karena ada urusan pribadi, jadi Bos memilih berangkat sendiri.     

Nggak cuma menyiapkan tiket pesawat aja. Aku juga harus menyiapkan visa untuk bisa kesana. Ini yang rumit. Harus berulang kali revisi karena ada berkas yang nggak komplit. Untungnya si Bos diem aja sih ngeliat kesalahanku.     

Pada akhirnya aku tanya sama Kairo, kenapa dia bisa cepet banget ngurus ijin tinggal dan lainnya kalau mau ke luar negeri. Tapi bener lho, emang sesingkat itu kalo Kairo disuruh ngerjain tugas. Malam ini diminta, esoknya udah siap.     

Ternyata Kairo mendelegasikan tugasnya ke orang lain. Orang yang lebih berkompeten dibidangnya ketimbang urus sendiri. Jadi inget sama orang yang binal bikinin paspor untukku. Mungkin yang dimaksud Kairo semacam itu kali ya orangnya. Ilmu baru nih.     

Abis balik dari Jepang, pesan dari Fara bikin aku gemes. Untung adik sendiri ya, jadi nggak bakal berlebihan.     

[Kapan balik? Besok nikahannya Nara. Ibu udah bingung kenapa Mas belum balik juga.]     

Aku nggak pernah bepergian jauh selama ini. Apalagi naik pesawat yang lama kek ke Jepang. Jadi rasanya kayak nge-fly gitu. Kepala udah pusing karena jetlag, ditambah pesan dari Fara. Sempurna!     

Nggak ada yang bisa aku lakuin. Jadi aku gunakan waktu yang ada buat istirahat. Itu aja aku nggak balik ke rumah. Kalau sampai aku balik ke rumah, udah jelas cecaran dari banyak orang malah bikin makin pusing.     

Oh iya, belum jelasin siapa Nara.     

Dia itu pacarku. Eh, sekarang udah nggak sih, soalnya kita udah putus beberapa bulan yang lalu. Kami pacaran sejak masih duduk di bangku SMA. Yah kira-kira udah 8 tahun pacaran sebelum akhirnya putus. Nara ya yang mutusin, bukan aku.     

Kata Nara, aku bukan cowo baik. Karena udah 8 tahun pacaran tapi nggak buruan dinikahi. Padahal selama ini hubungan kami baik-baik aja tuh. Bahkan Nara nggak pernah protes waktu aku ajak makan diangkringan karena uangku menipis.     

Nggak tau lah.     

Singkatnya sih dia minta putus karena aku nggak ngasih kepastian. Well, aku pernah bilang ke dia, aku bakal nikah kalo adik-adikku udah kelar kuliah. Tapi dia lebih milih orang lain.     

Sebenernya biasa aja sih ya. Maksudnya aku nggak benci atau gimana, karena aku mikir simpel kalo dia bukan jodohku. Yang bikin emosi tuh pas dia bilang aku anak miskin yang nggak bakal bisa hidupin kebutuhan dia.     

Whats wrong with her?     

Ditambah lagi keluargaku yang berpikir kalau aku bukan lelaki baik untuk dia. Woah, pinter banget ya main dramanya. So, aku semakin biasa aja ke dia. Karena itu juga membuktikan kalau dia bukan perempuan yang baik bagiku. Juga untuk keluargaku.     

Case closed!     

Paginya, semua orang kaget waktu liat aku masih ada di rumah utama. Wajar sih, soalnya aku selalu balik ketika jam kerja udah kelar. Ditambah jarak rumah yang jauh kan.     

"Any problem?" itu pertanyaan dari Mr. Ilham. Harus dibilang kalau dia punya semacam kelebihan untuk membaca orang.     

"My ex, dia menikah hari ini." entah apa yang menyihirku, tapi kalimat itu meluncur begitu aja.     

"Kamu marah? Sedih?" Mr. Ilham bertanya dengan suara yang lembut. Nggak ada kesan jahil di suara itu.     

"Nope. Aku hanya malas mendengar perkataan orang-orang."     

"So, let's have fun." senyumnya menular.     

Jadi, aku membatalkan niatku untuk membuat kopi. Mr. Ilham menarikku ke kolam renang, dan langsung mendorongku masuk tanpa aba-aba. Aku masih berpakaian lengkap, yang sialnya ponselku juga ada di saku celana.     

"Ups, maaf. Aku nggak tahu kalau ada ponsel. Apa itu masih bekerja?" terlihat Mr. Ilham yang merasa bersalah.     

"Kita coba dulu."     

Nggak mempedulikan baju yang basah dan dingin, aku fokus membenahi ponselku. Ini adalah satu-satunya ponsel yang aku miliki. Dan aku belum berencana membeli ponsel baru dalam waktu dekat ini. Kalo nggak ada ponsel, gimana aku bisa kerja?     

Pengen nangis tapi kok malu ada banyak orang. Suasana hati langsung drop ke level paling bawah.     

Pulang ke rumah, udah malem banget. Sengaja, biar mereka udah pada tidur. Jadi nggak ada pertanyaan yang tertuju ke aku. Sialnya, Fara masih aja rebahan di depan televisi bareng sama Edo. Mereka langsung menoleh begitu aku masuk.     

"Dari mana? Kenapa ponselnya nggak aktif?" itu Fara udah nyerocos aja macam emak-emak yang anaknya pulang malem.     

"Mas cemen, gitu aja matiin hp. Katanya B aja sama Nara." yang ini Edo.     

Kan, bener aku bilang. Orang terdekat tuh kadang malah bikin puyeng.     

Tanpa banyak kata, aku langsung lempar ponselku ke arah mereka. Jatuh gitu aja di bantal dan mental ke lantai. Fara adalah orang pertama yang mengambilnya dan segera memeriksa ponselku.     

"Kok mati? Ini rusak, mas?"     

"Mati, nyebur ke kolam." jawabku, langsung masuk ke kamar dan mulai beristirahat.     

Paginya, aku diem aja. Menjawab pertanyaan semua orang dengan singkat dan nggak ngajakin ngobrol. Bahkan aku cuma naruh oleh-oleh dari Jepang kemarin di meja makan. Setelah menghabiskan kopi yang dibuat Ibu, aku pamit dan langsung tancap gas.     

Sampai di rumah utama tepat ketika keluarga Narendra selesai sarapan. Begitu masuk, aku langsung menuju kamar Bos, karena udah ditunggu. Apa lagi kalau bukan ngerjain tugas?     

Tok tok tok.     

Aku ingin bangkit untuk membukakan pintu, tapi ditahan oleh Bos, karena katanya itu cuma Mr. Ilham. Bisa dipastikan kalau beliau yang datang, acara bisa kacau. Tapi bukan Ilham Narendra kalau nggak gigih. Dia terus saja mengetuk pintu kamar, bahkan menjurus mneggedor pintu.     

Dengan malas Bos membukakan pintu. Itu aja nggak masuk ke kamar, cuma di ruang tamu.     

"Where is Deano?" aku bisa mendengar Mr. Ilham menanyakan keberadaanku. Tak berselang, Mr. Ilham sudah berdiri disampingku sembari menyodorkan sebuah kotak.     

Aku diam saja. Tidak memahami jalan pikiran kakak si Bos ini. Wajah Mr. Ilham yang awalnya tersenyum malu-malu, lalu berubah menjadi jengkel karena aku harnya diam saja.     

"Ini gantinya. Mianata." aku makin diam.     

Entah harus percaya atau nggak, tapi ini bukan mimpi kan?     

"No need." hanya itu yang bisa aku ucapkan. Nggak enak juga kan kalo bos sampe ganti barang kita yang rusak. Yah walopun itu karena kesalahan dia.     

"Ish. Don't think about it. I really have to replace it. That is my fault." lalu Mr. Ilham keluar kamar Bos. Bahkan tidak berpamitan dengan si empunya kamar.     

Sepersekian detik aku bengong.     

"Just accept it." kata Bos sambil lalu.     

Dengan tangan sedikit gemetar, aku menyentuh kotak itu. Pelan banget aku unboxing kardus yang membungkus barang di dalamnya. Ya Tuhan, mimpi aku semalam sampai bisa dapet kejutan ini? Ini memang bukan ponsel yang aku inginkan, soalnya mahal banget. Dan sekarang ada di tanganku. Gimana aku makenya? Aku nggak pernah pegang ponsel mahal, Tuhan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.