Misteri Gedung Kantor

Bab 22



Bab 22

0"Oke bro, gua tunggu kabarnya." Pak Jefri keluar dari ruangannya sambil masih menelepon yang kelihatannya dengan teman polisinya.     

"Gimana kabar Lilis?" Tanya Pak Jefri kepada kami semua yang berada di ruang kerja.     

"Tadi sih masih belum sadar, pak. Bu Dewi bilang biar dia aja yang ngawasin Bu Lilis." Pak Wisnu yang tadi mengantar Bu Lilis menjawab pertanyaan dari Pak Jefri.     

"Oke, nanti saya lihat kondisinya. Udin, kamu udah telpon Fadil?" Pak Jefri kali ini secara langsung menanyakan kepadaku.     

"Iya udah, Pak. Tapi, katanya kita harus siap-siap buat kotorin tangan kita pak. Saya gak ngerti maksudnya apa?" Jawabku.     

"Kita berurusan sama makhluk yang punya kekuatan di luar nalar, orang yang kita cari juga terlibat dengan makhluk itu. Menurut kamu, semuanya akan jadi aman aja?" Balas Pak Jefri.     

Aku langsung menyadari maksud perkataan Fadil, karena lawan kami bukan lah manusia, tapi sosok yang tidak kami tahu tepatnya apa dan sebesar apa kekuatannya, yang jelas aku dan Pak Jefri sudah merasakan teror dari makhluk menyeramkan ini. Siapa yang bisa yakin kalau di akhir nanti semuanya berjalan baik saja?     

"Saya mau lihat Lilis dulu, kalian lanjut kerja saja sambil menunggu kabar dari rekan saya yang polisi soal keberadaan orang yang kita cari." Pak Jefri langsung berjalan ke luar ruangan dan kami juga langsung kembali ke meja kerja kami.     

"Masalah Bu Risma serumit itu ya?" Rivaldi menghampiriku dan langsung bertanya, sepertinya dia sudah pulih dari rasa takut yang sebelumnya menguasai dia sejak di lantai bawah.     

"Ya, intinya lebih rumit dari perkiraan lah." Balasku sambil berusaha fokus kembali ke pekerjaanku.     

"Tadi kata Pak Jefri, orang yang kita cari, itu siapa?" Rivaldi kembali bertanya.     

"Suaminya Bu Risma." Jawabku singkat, aku masih merasakan pusing dan sedang tidak ingin untuk memberikan jawaban panjang.     

"Anjir, suaminya juga? Gak nyangka sih, yaa semoga masalah ini selesai, Bu Risma berhenti teror kita yang kerja deh." Balas Rivaldi.     

"Iya, semoga aja." Balasku sambil melihat ke arah Rivaldi dan sedikit tersenyum.     

"Yaudah gua balik ke meja gua ya." Rivaldi langsung membalikkan badannya dan berjalan kembali ke meja kerjanya.     

Berusaha fokus dengan pekerjaan saat masalah menyeramkan ini berada di depan mataku. Aku ingin sekali segera mengakhiri permasalahan ini, aku hanya berharap untuk bisa bekerja dengan damai. Siapa juga yang menyangka pekerjaan yang mengakhiri status pengangguranku justru membuatku mengalami berbagai macam hal menyeramkan seperti ini? Ah sial, kenapa ini semua harus terjadi kepadaku?     

Beruntung bagiku, pekerjaan hari ini tidak seberat hari kemarin. Walaupun sulit bagiku untuk fokus, tapi karena cukup ringan, satu per satu dokumen pekerjaan bisa aku selesaikan. Saat sudah mulai fokus ke pekerjaan dan bisa bekerja sedikit lebih cepat dari sebelumnya, Pak Jefri masuk ke ruangan dan meminta ku untuk mengikutinya.     

Aku sedikit ragu karena sedang asik mengerjakan dokumen pekerjaanku, tapi Pak Jefri memaksaku untuk mengikutinya dan bilang kalau ini berurusan dengan Bu Lilis. Aku pun mengalah dan setuju untuk mengikutinya, seandainya dia bukan bosku mungkin aku akan bersikap keras kepala dan menolak permintaannya.     

"Bu Lilis baru sadar, dan karena kita berdua yang tau persis waktu dia kesurupan tadi, jadi saya butuh kamu buat sekarang." Jelas Pak Jefri saat mengajakku untuk melihat kondisi Bu Lilis.     

Kami pun sudah berada di ruangan tempat Bu Lilis dan Bu Dewi menunggu. Terlihat Bu Lilis matanya masih memancarkan kekosongan dan Bu Dewi dengan setia menemani rekannya tersebut sambil berusaha membuatnya meminum air agar lebih tenang.     

"Lis, sadar lis." Pak Jefri mengguncang bahunya.     

Bu Lilis menengok pelan ke arah Pak Jefri, dia benar-benar terlihat seperti orang kebingungan. Ya wajar saja, dia kesurupan yang menurutku cukup hebat karena Bu Risma mengambil alih total kontrol tubuhnya waktu itu.     

"Saya di mana ini Pak?" Tanyanya dengan suara yang pelan bahkan hampir tidak terdengar.     

"Di ruang tempat kita biasa sambut tamu. Kamu tadi kesurupan Bu Risma, terus pingsan jadi kita bawa ke sini." Balas Pak Jefri. Sementara itu , aku hanya memperhatikan saja sambil berdiri di belakang Pak Jefri.     

"Lis, ini minum dulu." Bu Dewi mengarahkan secangkir teh hangat di tangannya ke Bu Lilis.     

Tanpa berkata apa-apa, Bu Lilis perlahan mengambil cangkir tersebut dan mulai meneguk teh hangat di dalamnya. Pelan-pelan kesadarannya dan tenaganya tampak kembali.     

"Udah enakan Lis?" Tanya Pak Jefri.     

Bu Lilis mengangguk pelan sambil memberikan cangkir tehnya kembali ke Bu Dewi. Aku masih bingung harus berbuat apa atau mengatakan apa, aku benar-benar merasa kalau sebenarnya keberadaanku di sini tidak begitu penting dan mungkin akan lebih baik kalau aku kembali bekerja.     

"Bu Dewi, kembali kerja aja gak apa-apa, udah ada saya sama Udin." Kata Pak Jefri meminta Bu Dewi untuk kembali bekerja. Aku merasa tidak enak karena kini hanya aku yang tidak bekerja.     

"Baik, Pak. Tehnya Bu Lilis saya taruh di meja sini aja ya." Balas Bu Dewi sambil menaruh cangkir tehnya di meja dan segera berpamitan meninggalkan kami bertiga.     

"Sa... saya lupa kenapa saya bisa kesurupan?" Ucap Bu Lilis setelah Bu Dewi hilang dari pandangan.     

"Udin, bisa coba kamu jelasin ke Bu Lilis?" Pak Jefri akhirnya mengajakku berbicara.     

"Eh, um... Jadi kalau setahu saya sih, kan awalnya saya dipanggil Pak Jefri ke ruangan, dan pas keluar ruangan, saya liat Bu Lilis lagi bengong aja ngeliatin monitor. Setelah itu ya, kaya yang bapak tau, Pak Wisnu sama Pak Rusdi coba sadarin Bu Lilis, tapi akhirnya Bu Lilis ternyata kesurupan." Kataku berusaha menjelaskan sejauh yang aku tau.     

"Yang ngerasukin Bu Lilis itu hantunya Bu Risma, dia mau minta tolong ke kita lewat perantara tubuh Bu Lilis." Pak Jefri melanjutkan cerita saat Bu Lilis kerasukan.     

Bu Lilis mendengarkan dengan serius, walau aku tidak yakin dia menangkap semua yang kami ceritakan karena tampaknya dia belum sadar sepenuhnya. Kali ini aku merasa kasihan dan sebenarnya tidak ingin percakapan ini dilanjutkan karena menurutku, Bu Lilis masih harus istirahat terlebih dulu. Tapi, aku hanyalah karyawan biasa saja yang takut dianggap kurang sopan jika menyela pembicaraan antara bos dan karyawan lainnya.     

"Oh iya, rasanya saya mulai ingat sebelumnya." Bu Lilis mulai bersuara sedikit lebih kencang dari sebelumnya sambil memegangi kepalanya.     

"Seingat saya, waktu itu saya kerja biasa, terus komputer saya kaya eror gitu. Tapi habis itu saya gak ingat lagi." Kata Bu Risma sedikit menjelaskan awal mulanya, sepertinya dia benar-benar memerlukan istirahat untuk memulihkan ingatannya juga.     

Wajah Pak Jefri menunjukkan ekspresi kecewa, aku rasa dia mengharapkan sesuatu dari kejadian awal Bu Lilis kerasukan, mungkin sesuatu yang bisa lebih menguatkan kalau yang merasuki Bu Lilis benar-benar Bu Risma.     

"Ya sudah, Bu Lilis istirahat dulu saja, kalau dirasa benar-benar capek, Bu Lilis pulang lebih cepat aja gak masalah. Atau mau saya pesenin taksi online?" Tanya Pak Jefri.     

"Nggak usah, Pak. Saya boleh istirahat dulu sebentar di sini? Nanti saya kerja lagi kalau udah enakan." Tanya Bu Lilis, semangat kerja yang luar biasa dari dirinya, jujur aku kagum kali ini.     

"Yakin Bu?" Tanya Pak Jefri untuk meyakinkan kembali permintaan dari Bu Lilis.     

"Iya gak apa-apa, Pak. Saya istirahat dulu sebentar aja." Balas Bu Lilis.     

"Ya udah kalau begitu, tapi jangan dipaksa ya, kalau memang nggak kuat, dan merasa harus istirahat lebih pulang aja gak apa-apa." Jawab Pak Jefri.     

"Iya Pak." Sahut Bu Lilis.     

"Oke kalau begitu, kita tinggal ya Bu." Pak Jefri langsung mengajakku untuk berpamitan keluar dari ruangan dan kembali bekerja di beberapa jam yang tersisa.     

Bu Lilis tersenyum dan melambaikan tangannya, entah kenapa bagiku masih ada sesuatu yang mengganjal dari Bu Lilis.     

"Sebenarnya saya berharap ada clue lagi dari Bu Risma yang diliatin ke Bu Lilis." Ucap Pak Jefri setelah kami keluar ruangannya.     

Benar saja dugaanku, tapi tentu saja kami tidak seharusnya berharap banyak dari seseorang yang baru saja sadar setelah kerasukan.     

"Oh, tunggu sebentar, hp saya getar." Pak Jefri mengambil ponsel di kantungnya.     

"Iya halo? Ada apa?" Ucapnya kepada seseorang di sebrang telepon.     

"Sudah ketemu? Seriusan?" Nada ketertarikan jelas terdengar dari suaranya Pak Jefri.     

"Oh begitu, yaudah kalau gitu, kalian atur aja gimana caranya bawa dia ke sini, atau bisa bilang temen mantan istrinya mau ketemu dia gitu." Aku yang memandang kali ini mulai ikut penasaran, sebenarnya apa yang membuat Pak Jefri benar-benar menunjukkan ketertarikannya.     

"Oke kalau gitu, gua tunggu ya. Thank you udah bantu." Ucapnya mengakhiri telepon.     

"Itu tadi rekan polisi saya, dia bilang suaminya Bu Risma udah ketemu." Ucap Pak Jefri seolah dia membaca raut wajahku yang penasaran.     

Babak akhir sepertinya mulai terbuka, aku jadi penasaran bagaimana sosok wajahnya sekarang? Sosok dari manusia kejam yang rela menukar nyawa anaknya sendiri dengan Makhluk dunia lain demi kepuasan tersendiri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.