Misteri Gedung Kantor

Bab 21



Bab 21

0Aku tersadar di sebuah rumah besar dengan 6 buah pilar yang menyangga di bagian tengah rumahnya, sebuah rumah megah dengan nuansa putih cerah dengan diberikan batas antara dinding dan atap berwarna emas memberikan kesan yang mampu membuat mata terkagum-kagum.     

"Kita di mana ini, Din?" Ucap Pak Jefri yang tanpa aku sadari sudah berdiri di sampingku.     

"Sedikit kilasan dari masa lalu aku." Sahut Bu Risma tiba-tiba dari arah belakang kami berdua.     

"Aku bawa kalian berdua, karena cuma kalian yang bisa aku percaya, dan ini lah awal mula dari semuanya." Lanjut Bu Risma dengan sosok manusia yang sama sekali tidak menyeramkan.     

Bu Risma mengenakan baju yang sama dengan yang biasa dia atau jin yang menggunakan sosoknya untuk meneror kami saat bekerja. Kerutan di wajahnya memang terlihat, tapi menurutku dia masih tetap cantik, dan terlihat awet muda.     

"Ini rumah ku, Jef. Yang selama aku hidup selalu aku rahasiakan." Bu Risma menjelaskan lebih lanjut tentang lokasi kami. Seketika pintu depan rumah ini terbuka, menampilkan seorang wanita dan seorang laki-laki berkacamata dengan sarung tangan yang masih dipakai.     

"Itu aku dan suami saat masih muda. Suamiku mempunyai sedikit kelainan pada kulitnya yang mengharuskan dia untuk menutup tubuhnya jika keluar rumah. Cari dia saat kita sudah selesai melihat ini semua." Pinta Bu Risma.     

Bu Risma muda dan suami kini tengah terlibat sebuah percakapan, dan tampaknya mereka sedikit bersitegang, terdengar secara samar kalau Bu Risma mulai lelah dengan semua hal yang terjadi di kehidupan mereka dan ingin hidup normal, namun suaminya masih berusaha meyakinkan Bu Risma dengan mengatakan tidak ada jalan kembali lagi.     

"Lihat ke lantai dua, itu adalah anak kami berdua yang... ah maaf, aku lupa tepatnya dia anak kami yang ke berapa, yang jelas dia lah yang terakhir dan yang membuatku memutuskan bunuh diri." Aku dan Pak Jefri spontan melihat ke atas dan terlihat sosok anak kecil yang sedang mengintip dibalik pilar besar yang menopang bagian atas tangga.     

Anak kecil perempuan berusia sekitar 5 tahun atau mungkin lebih, dia tampak ketakutan melihat orang tuanya berdebat di tengah-tengah ruangan rumah mereka. memiliki rambut sebahu, dan mengenakan kalung putih yang tampak tidak asing bagiku.     

"Sudah cukup di sini, kita pindah lagi." Bu Risma menepuk pundak kami berdua, dan kini kami sudah berada di tempat yang berbeda.     

"Ini ruangan rahasia di rumah kami, letaknya ada di dapur, ada semacam tuas yang tersembunyi dan langsung membuka pintu rahasia yang langsung menuju ke sini. Ini juga hari terakhir untuk anakku." Bu Risma menjelaskan tempat baru yang kami sedang lihat.     

Beberapa lilin dinyalakan memanjang, lalu memutar pada bagian tengah, akses pintu masuk terbuka, menampilkan Bu Risma muda dan keluarganya berjalan menuju tengah-tengah ruangan. Sang suami sedikit berbicara kepada anak mereka, seperti terhipnotis mata anak tersebut langsung berubah menjadi tatapan kosong, tetapi kakinya berjalan tepat ke tengah-tengah lilin.     

"Aku tidak sanggup melihatnya lagi." Bu Risma di belakang kami membalikkan badannya dan menutup matanya dengan kedua telapak tangannya.     

Sementara Risma muda hanya menunduk dan berdiri diam selagi sang suami menyiapkan sesuatu. Suami Bu Risma sepertinya sedang menyusun lilin lagi di tengah-tengah lingkaran lilin yang sebelumnya sudah ada, dan mulai menyalakannya.     

Saat itu lah aku langsung sadar apa yang akan terjadi, sang suami baru saja menyalakan lilin dengan susunan bintang terbalik, dengan sang anak yang berada tepat di tengah-tengah. Bu Risma muda yang berdiri di belakang suaminya hanya menunduk dan juga terlihat air mata mengalir dari matanya yang tersembunyi dibalik bayangan rambut dan mantel panjang yang ia dan suaminya kenakan.     

Suami Bu Risma langsung meracau tidak jelas, mungkin sedang merapalkan mantra, dan sebuah tangan perlahan muncul dari bawah tanah, seketika tempat kami berada kembali berganti. Orang-orang yang ada kini memakai kemeja dan celana bahan, mereka tampak sedang berbincang santai.     

"Kamu tau tempat ini kan anak muda?" Kata Bu Risma, rupanya dia mengajukan pertanyaan kepadaku.     

"Kaya gak asing sih, ruangan yang pernah kebakaran?" Tanyaku memastikan.     

"Iya, ini adalah hari kebakaran itu terjadi." Jelasnya.     

"Aku yakin diantara kalian udah tau, apa yang terjadi sama anakku, dan keluarga kecilku. Ini adalah lanjutannya, aku dapat tugas untuk menyerahkan tumbal nyawa lagi, tapi kali ini harus orang yang bukan kerabat. Aku berusaha meminimalisir jumlah korban, jadi aku menunggu semuanya keluar dulu." Benar seperti penjelasan Bu Risma, saat hampir semua orang sudah keluar dan menyisakan resepsionis yang sedang makan di meja masing-masing, kebakaran terjadi.     

Satu resepsionis langsung berusaha kabur saat mendengar alarm kebakaran, sayangnya api menjalar terlalu cepat, dan sial baginya, sebuah besi jatuh tepat di depan matanya yang membuatnya pingsan karena kaget, satu lagi terlalu sibuk dengan memasukkan peralatannya ke dalam tas hingga akhirnya pingsan karena menghirup terlalu banyak asap.     

Kejadian itu membuat panik banyak orang, dan ketika kebakaran telah usai, Bu Risma menyusup ke dalam ruangan, dan menaruh kalungnya di laci meja resepsionis.     

"Aku berharap waktu itu petugas yang menginvestigasi kasus ini akan mengambil kalung dan menjadikanku tersangka, karena aku benar-benar sudah merasa bersalah pada titik ini." Jelas Bu Risma mengenai maksudnya menaruh kalung tersebut di laci meja resepsionis.     

"Terus, kemana mayat-mayat itu pergi?" Tanya Pak Jefri.     

"Petugas yang mengevakuasi mayat merupakan orang yang berada di organisasi yang sama dengan kami, dia yang sembunyikan." Jawabnya     

Dan lagi, kami berganti tempat, kali ini berada di ruangan kantor kami. Terlihat hanya ada Bu Risma yang terlihat sedang berbicara di telepon sambil memegangi kepalanya dan menangis. Berkata dia sudah merasa cukup dengan semuanya dan tidak mau melanjutkan lagi.     

"Aku kembali debat dengan suami seputar masalah ini, dan lagi-lagi suami memaksaku untuk tetap mengikuti dia. Di momen ini akhirnya aku membulatkan tekad untuk mengakhiri semuanya. Setidaknya itu lah pikirku."     

Bu Risma terlihat melempar ponselnya dan langsung berjalan menuju pantry yang ternyata ia sudah menyiapkan semua yang dibutuhkan untuk melakukan bunuh diri, dan kejadian mengerikan awal mula dari segala teror di gedung kantor ini pun dimulai.     

"Sudah cukup sampai sini saja, cari lah suami saya dengan nama Immanuel Ridwan." Bu Risma meninggalkan kata-kata terakhirnya, dan kami berdua kembali terbangun di dunia kami, masih di ruangan Pak Jefri dengan video call yang sudah terhenti, juga tubuh Bu Lilis yang juga tergelatak di tengah-tengah ruangan.     

Pak Jefri memaksakan dirinya sendiri untuk bangun, dan berjalan ke pintu ruangannya. Dia memanggil rekan kami untuk membantu mengangkat tubuh Bu Lilis yang tergeletak karena aku dan Pak Jefri sedang tidak sanggup untuk membawanya, tubuh kami begitu lemas usai berkelana antar dimensi.     

"Sekarang kita udah tau nama suaminya Bu Risma, dan kita udah tau apa yang harus kita lakuin ya kan?" Kata Pak Jefri terhadapku.     

"Iya, kejadian tadi bikin pusing, tapi juga ngebantu banget." Balasku setuju.     

"Saya coba hubungin teman saya di kepolisian. Udin, kamu hubungin Fadil." Perintah Pak Jefri.     

"Iya pak, siap." Balasku.     

Aku mengambil handphoneku yang tergeletak di meja kerja Pak Jefri dan berjalan perlahan keluar ruangan. Bu Lilis juga sudah dibawa ke tempat yang aman berkat bantuan Pak Rusdi dan Pak Wisnu, semoga dia cepat sadarkan diri.     

Aku menekan kontak Fadil dan mulai menelpon, dan langsung dijawab oleh Fadil.     

"Dil, lu pasti gak percaya gua sama Pak Jefri abis kenapa." Kataku..     

"Lintas dimensi?" Balas Fadil langsung mengetahui kejadian yang baru saja aku alami.     

"Kok lu tau?" Tanyaku heran.     

"Ya, gua kan punya kelebihan ini, lintas dimensi udah biasa buat gua, liat Bu Lilis kerasukan terus nempel jarinya di kepala lu sama Pak Jefri gua langsung tau." Jelasnya.     

"Oh iya bener, gak kepikiran. Jadi, tadi kita udah dikasih tau identitas suaminya Bu Risma dan kisah masa lalunya." Sahutku.     

"Terus gimana?" Tanyanya lagi.     

"Ya, Bu Risma minta tolong ke kita buat cari suaminya biar masalahnya selesai." Balasku.     

"Lu yakin?" Fadil kembali bertanya.     

"Emang kenapa?" Aku masih keheranan.     

"Kalau Bu Risma minta begitu, siap-siap aja buat kotorin tangan lu nantinya." Jelasnya.     

"Maksudnya?" Aku sama sekali tidak mengerti.     

"Ya, nanti lu juga tau sendiri, dah ya, gua lagi di kelas nanti lagi." Fadil langsung memutus teleponnya.     

Kotorin tangan? Apa maksudnya? Ah sudah lah, aku hanya ingin masalah ini bisa selesai dan bisa bekerja dengan nyaman ke depannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.