Misteri Gedung Kantor

Bab 20



Bab 20

Atau mungkin kali ini hantu-hantu menyeramkan tersebut menjadi marah sehingga mereka mulai berani bergerak di siang hari? Aku pernah baca mengenai hal ini pada suatu thread di sosial media yang mengatakan jika 'mereka' merasa semakin terganggu, maka sosok-sosok tersebut akan menjadi liar dan balik mengganggu orang-orang yang sengaja mengusik 'mereka'. Semoga saja thread tersebut hanya lah sebuah karangan.     

Entah kenapa, kakiku tidak mau melangkah mendekati Bu Lilis, padahal sebenarnya aku ingin menyadarkannya dari lamunan yang ia sedang alami. Firasatku mengatakan hal yang tidak bagus sedang muncul di hadapan Bu Lilis, dan itu lah yang membuatnya menjadi melamun dengan ekspresi wajah terkejut bercampur dengan rasa takut.     

"Si Lilis kenapa?" Pak Wisnu tiba-tiba saja berada di sampingku sambil membawa segelas minuman di tangan kanannya.     

"Eh, pak, gak tau saya juga. Coba ditegur, pak." Balasku     

"Kayanya sebelum gua ke pantry tadi, dia masih kerja normal aja." Lanjutnya. "Pegangin gelas gua, Din." Dia mengarahkan gelas minumannya ke depanku, aku pun menuruti permintaan Pak Wisnu.     

"Lis..." Pak Wisnu mulai memanggil Bu Lilis sambil mengguncang pundaknya agar ia kembali tersadar. Sikap Pak Wisnu yang ingin menyadarkan Bu Lilis ternyata memancing perhatian rekan kami yang lain. Bunyi roda dari kursi kerja yang tergeser terdengar di seisi ruangan, Aku membalikkan badan dan melihat rekan kerjaku yang bekerja di dekat pintu masuk juga sudah berdiri, melihat ke arah Bu Lilis.     

Pak Rusdi mungkin karena ia merasa paling senior, langsung berjalan menghampiri Pak Wisnu dan Bu Lilis. Entah apa yang sedang terjadi, tapi Bu Lilis masih saja melamun, padahal Pak Wisnu sudah memanggilnya terus dari tadi. Bahkan kini sudah dua orang yang berusaha menyadarkan Bu Lilis, tapi matanya masih terpaku pada layar komputernya dan mulutnya masih saja terbuka.     

"Ada apa ini?" Seketika saja Pak Jefri keluar dari ruangannya.     

"Ini pak, Bu Lilis kayanya kesambet, gak tau kesambet apaan nih." Jawab Pak Wisnu.     

"Kok bisa?" Tanya Pak Jefri kembali.     

"Ngga tau, saya abis dari pantry pas balik Bu Lilis udah begini." Pak Wisnu kembali menjawabnya.     

Dengan sedikit helaan nafas, Pak Jefri mulai berjalan mendekati Bu Lilis juga. Dia langsung memberikan perintah kepada Pak Rusdi dan Pak Wisnu untuk menggeser bangku kursi Bu Lilis keluar dari bilik kerjanya.     

Tanpa banyak berbasa basi lagi, dua karyawan lelaki ini mulai menarik kursi Bu Lilis perlahan keluar dari bilik kerjanya, dan Pak Jefri langsung berada di depan komputer Bu Lilis. Terlihat dia sedang mengamati secara teliti pada layar komputer Bu Lilis. Sementara Pak Rusdi dan Pak Wisnu tampaknya sudah menyerah untuk menyadarkan Bu Lilis, mereka kini hanya berdiri di depannya saja sambil mengamati Pak Jefri.     

Saat itu, tiba-tiba saja Bu Lilis berdiri dari kursinya dengan kepala menunduk dan rambut panjangnya menjadi terurai ke depan sehingga sukses memberikan kesan menyeramkan saat ia berdiri.     

"Mmmm, Pak Wisnu... itu Bu Lilis." Kataku sambil menunjuk ke belakangnya, atau lebih tepatnya ke Bu Lilis.     

Pak Wisnu dan Pak Rusdi seketika melompat mundur, menjauh dari Bu Lilis. Pak Jefri juga menghentikan pengamatannya pada komputer Bu Lilis dan kini berfokus langsung pada orangnya.     

"Ada-ada aja masalah siang hari gini." Gerutu Pak Jefri. Sepertinya dia sudah lebih terbiasa dengan hal menyeramkan. Padahal saat kejadian di ruangan bawah, dia terlihat paling ketakutan.     

Bu Lilis masih sekedar berdiri diam, tak bergerak sama sekali. Aku baru sadar kalau rambut Bu Lilis ternyata sepanjang itu sampai wajah dan lehernya benar-benar tertutupi. Setelah sebelumnya hanya berdiri diam, Bu Lilis akhirnya mulai bergerak. Dia mengarahkan tangannya ke arah ruangan Pak Jefri.     

"Kita bicara di sana." Sebuah suara keluar dari arah Bu Lilis. Namun, suara yang terdengar seperti menggema dan seolah berasal lebih dari satu orang.     

Setelah berbicara seperti itu, Bu Lilis langsung menggerakkan kakinya, berjalan perlahan, melewati Pak Jefri, aku dan langsung masuk ke ruangan kerja Pak Jefri.     

"Din, video call si Fadil." Perintah Pak Jefri. Dia mulai menyusul Bu Lilis, walau sekilas terlihat tenang, tapi ternyata tangan dan kakinya sampai gemetar bahkan aku sempat melihatnya menelan ludah juga.     

"Iya, Pak." Aku langsung merogoh saku celana tempat aku biasa menaruh ponsel ku. Mencari kontak Fadil, dan langsung melakukan video call.     

"Din, mending kamu ikut masuk ke sana." Kata Pak Rusdi.     

"Ko saya, Pak?" Tanyaku heran sambil tetap memegang ponsel menunggu jawaban dari Fadil     

"Yang tau masalah ini paling detil cuma kamu sama Pak Jefri. Apalagi kamu disuruh video call siapa itu tadi." Balas Pak Rusdi.     

"Fadil, pak. Yang kemarin nolongin Pak Jefri waktu kejadian di ruang bawah." Jawabku.     

"Yah gitu lah. Sana kamu ikut masuk juga." Sahut Pak Rusdi kali ini sembari sedikit mendorong punggungku.     

Aku melangkahkan kakiku untuk masuk ke ruangan kerja Pak Jefri, dan saat aku membuka pintu ruangannya, sudah terlihat olehku Pak Jefri yang duduk di kursinya, dan Bu Lilis yang duduk di sebrangnya.     

"Jadi, siapa kamu dan apa maumu?" Pak Jefri langsung membuka suara.     

"Aku teman lamamu. Tolong bantu aku untuk bisa tenang." Balas Bu Lilis, atau mungkin aku sebut saja, sosok yang sedang berada di dalam Bu Lilis.     

"Teman Lama? Siapa? Sebutkan nama kamu!" Tanya Pak Jefri.     

"Aku Risma Dewi Kumala." Pak Jefri seketika memundurkan badannya ke belakang.     

"Halo Din!" Suara dari ponsel ku terdengar. Fadil sudah menjawab video call dariku.     

"Gua gak bisa jelasin, lu langsung liat sendiri aja nih." Aku mengganti kameraku menjadi kamera belakang, dan memperlihatkan Bu Lilis.     

"Nih, lu sama Pak Jefri aja yang ladenin." Aku memberikan ponselku pada Pak Jefri. Pak Jefri langsung menerimanya dan menaruh ponselku di depannya dengan kamera belakang mengarah ke Bu Lilis.     

Risma Dewi Kumala, baru kali ini aku mendengar nama lengkapnya Bu Risma, dan karena yang dirasuki adalah Bu Lilis, sepertinya memang benar-benar Bu Risma yang kini ada di dalamnya, bukan jin lain yang hanya mengaku-ngaku, dan bukan juga Bu Lilis berpura-pura kesurupan Hantu Bu Risma. Karena tidak mungkin Bu Lilis mengetahui nama lengkap Bu Risma.     

"Apa maksud kamu? Kenapa tahu nama lengkap Risma?" Pak Jefri mulai menaikkan suaranya. Aku rasa dia berpikiran kalau yang ada di Bu Lilis bukan arwahnya Bu Risma, jadi dia sedikit merasa kalau hantu ini bertingkah keterlaluan.     

"Aku memang Risma," Bu Lilis mengangkat kepalanya dan menampilkan wajahnya di depan mata Pak Jefri. Merasa penasaran, aku langsung berjalan menuju belakang Pak Jefri agar bisa melihat wajah Bu Lilis.     

Apa yang terlihat di depanku benar-benar membuatku terkejut, wajah Bu Lilis yang biasanya terlihat seolah baru saja selesai dari salon kecantikan telah berubah menjadi penuh keriput. Bukan hanya aku saja yang terkejut, tetapi Pak Jefri juga ikut terkejut . Aku baru tahu kalau kesurupan juga bisa membuat wajah jadi berbeda.     

"Ini beneran Bu Risma, Pak." Kata Fadil melalui video call.     

"Selama ini aku tidak bisa kemana-mana karena arwahku yang sebenarnya berada di ruangan bawah. Sulit dijelaskan dengan kata-kata bagaimana bisa seperti itu, yang jelas cukup bantu aku cari suamiku setelah itu aku janji gak akan muncul lagi di kantor ini." Jelas Hantu Bu Risma yang sedang merasuki Bu Lilis.     

"Sebelum itu, aku mau dengar penyebab kamu seperti ini, dan kenapa kamu sering ganggu yang lagi kerja lembur?" Pak Jefri langsung mulai bertanya     

"Bukan aku yang ganggu kalian, tapi iblis yang memakai tubuhku yang mengganggu. Rohku selama ini ada di ruang bawah, gak bisa keluar sampai akhirnya anak dibelakangmu itu nekat masuk ke sana." Bu Risma menggerakkan tangan Bu Lilis dan menunjuk ke arahku, spontan aku langsung melompat mundur.     

"Bisa kasih tau kita, sebenarnya masalahnya kaya gimana? sampai kamu bunuh diri dan... ya jadi kaya sekarang." Pak Jefri tampil lebih berani, dia mulai mencondongkan badannya, dia selalu begini saat ia mulai tertarik akan sesuatu.     

"Ya, bisa. Tapi, ada konsekuensinya." Bu Lilis bangkit dari kursi, berjalan mengitari meja, dan berhenti tepat di tengah-tengah antara aku dan Pak Jefri     

"Apa konsekuensinya?" Tanya Pak Jefri     

Bu Lilis tidak menjawab, sekilas aku menangkap senyum di wajahnya, sebuah senyum yang pastinya bukan senyum keramahan atau kesenangan. Melainkan sebuah senyum dengan maksud tersembunyi. Dengan cepat, tangan Bu Lilis langsung digerakkan dan berada tepat di dahiku dan Pak Jefri, yang seketika membuat pandanganku kabur.     

Sebelum semuanya benar-benar menjadi gelap, aku sempat mendengar suara Fadil melalui ponsel yang diletakkan di meja Pak Jefri. Terdengar samar, dan yang aku tangkap hanyalah suaranya memanggil namaku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.