Misteri Gedung Kantor

Bab 24



Bab 24

0"Ini kan orang yang lu cari, Jef?" Ucap seorang pria berseragam polisi lengkap dengan senapan di sisi celananya. Pria berbadan tegap, dan bersuara tegas itu tengah memegang kedua tangan pria incaran kami. Pak Jefri hanya membalas dengan sebuah anggukan sederhana untuk mengiyakan pertanyaan dari teman polisinya tersebut.     

"Ada apa ini? Kenapa saya dibawa kesini sambil di borgol? Katanya ketemu teman lama mantan istri saya!" Ucap pria yang kami tau namanya Immanuel Ridwan. Mungkin agar lebih nyaman, aku akan memanggilnya di sini sebagai Pak Nuel, nama Iman tidak cocok untuk pria yang bersekutu dengan iblis hanya demi harta duniawi.     

"Pak Immanuel Ridwan bukan?" Pak Jefri berdiri dari kursinya, sedikit isyarat anggukan kepala kepada rekan polisinya, dan tangan Pak Nuel dilepas begitu saja untuk menyambut uluran tangan Pak Jefri.     

"Siapa kamu?" Pak Nuel menyahut, tampaknya dia benar-benar waspada, Pak Jefri yang ingin bersalaman saja tidak disambut olehnya.     

"Mungkin bapak tidak tau saya, saya teman lamanya Risma. Mantan istri bapak yang bunuh diri di gedung kantor ini." Balas Pak Jefri penuh ketenangan. Aku hanya menyimak pembicaraan dua orang dewasa ini sambil menyeruput minumanku, dan Fadil berdiri di belakangku.     

"Risma? Oh iya, mantan istri yang itu rupanya. Ada apa? Dia kan sudah lama sekali meninggalnya." Aku melihat gaya Pak Nuel yang seperti tidak merasa kehilangan.     

"Ya, Bu Risma selalu ganggu kita, arwahnya lebih tepatnya, dan karena banyaknya kejadian, kita berhasil cari tau kalau Bu Risma pernah menjadi istri bapak." Ucap Pak Jefri.     

"Iya itu benar, terus apa urusannya sama saya? Saya lagi sibuk loh ini." Jawab ketus Pak Nuel.     

"Yaa... Kami kepikiran, gimana kalau Bu Risma selalu ganggu kita karena ada kaitannya sama masa lalu? Karena dari artikel yang teman saya ini pernah baca," Pak Jefri menunjuk ke arahku. "Salah satu penyebab arwah terus mengganggu, karena ada masalah di kehidupan dia yang belum selesai. Jadi, mungkin..."     

"Nggak ada masalah Risma dengan saya. Kami keluarga harmonis." Jawab Pak Nuel memotong pembicaraan Pak Jefri yang belum selesai sambil memalingkan wajah.     

"Dil, lu ngerasa aneh gak sih?" Tanyaku kepada Fadil.     

"Ngerasa apaan?" Tanyanya kembali. Kami berbicara cukup pelan agar tidak mengganggu Pak Jefri yang sedang berbicara dengan Pak Nuel.     

"Nggak tau, kaya berat aja rasanya, gak enak."Jawabku.     

"Ooh emang iya, makanya kan tadi gua suruh lu hati-hati. Ni mata gua udah ngeliat ni orang kacau banget." Fadil.     

"Lu liat apaan?" Tanyaku.     

"Banyak, salah satunya, hawa ni orang hitam pekat, gelap. Itu yang bikin lu gak nyaman. Sisanya, ya bayangin aja ni Ellena sampe nahan marah gini." Jawab Fadil.     

"Ngeri juga." Balasku singkat.     

"Kalau bapak memang ngotot tidak ada masalah sama sekali dengan Bu Risma. Saya pengen bapak ikut dengan saya." Ucap Pak Jefri.     

Dia berdiri dari bangkunya, aku langsung mengerti kami harus ke mana, dan rekan polisi yang mempunyai tag nama 'Robi Haikal' tersebut langsung kembali mengambil tangan Pak Nuel yang masih terikat borgol.     

Pak Jefri memimpin jalan kami, diikuti Robi sang polisi dan tawanan kami, lalu aku dan Fadil di paling belakang. Kami berjalan menuju ruangan tempat dimana kalung putih milik Bu Risma berada, tersimpan dengan rapi di laci meja resepsionis yang sudah usang.     

"Dil, gua penasaran, bisa bukain gua gak?" Tanyaku ke Fadil.     

"Udah gila lu ya?" Balasnya dengan sedikit terkejut.     

"Yee, lu kan bisa liat, gua kaga. Gua penasaran, sebenernya itu orang ada apanya sih?" Tanyaku kembali.     

"Ya, lu tau kan masa lalunya. Masih perlu gua kasih tau juga apa?" Sahutnya lagi.     

"Nggak sih, Cuma kepo aja kan gua." Kataku.     

"Nggak lah, gua gak mau bukain mata lu." Jawab Fadil yang akhirnya menolak permintaanku.     

"Emang seserem itu?" Tanyaku lagi, aku benar-benar penasaran.     

"Lu gak bisa liat aja udah berasa gak nyaman. Ya jelas serem." Balas Fadil.     

Tidak terasa kami berbincang, kini kami semua sudah berdiri di depan ruangan yang dituju, Pak Wawan rupanya sudah berjaga di depan pintu, dan langsung berkata ke Pak Jefri kalau tidak ada seorang pun yang mendekati ruangan tersebut, dan tidak ada hal apa pun yang mengganggu.     

"Ruangan apa ini, Jef?" Tanya Robi yang tampak bingung melihat sebuah ruangan berpintu kaca yang dijaga oleh security.     

"Gua pernah cerita soal gua yang kerasukan lumayan parah, ya kan? Nah, ini tempatnya." Jawab Pak Jefri.     

"Sebentar, saya masih gak paham hubungan ini sama saya, Risma meninggal udah lama, karena bunuh diri kan? Terus, kenapa sekarang saya dibawa kesini?" Tanya Pak Nuel yang tampaknya masih belum mengetahui maksud kami.     

"Bapak bakal lihat sendiri." Jawab Pak Jefri. Pak Wawan membuka pintu ruangan. Mempersilakan kami masuk ke dalam.     

Ruangan yang menjadi awal mula pemecahan misteri, kami telah kembali berada di dalamnya. Pak Jefri meminta kami mengikutinya, melewati besi yang telah menewaskan seorang resepsionis wanita, menuju meja resepsionis, dan dia menyuruhku untuk mengambil kalung yang ada di laci.     

Aku menurutinya, membuka laci meja resepsionis, dan terlihat kalung putih tersebut. Kalung yang menjadi saksi bisu, dan pernah menjadi harapan Bu Risma untuk menyudahi segala kekejian hidup yang dia pernah lalui.     

"Bapak pernah lihat kalung ini?" Pak Jefri memegang kalung itu, dan menunjukkannya langsung di hadapan Pak Nuel.     

"Iya, itu kalung Risma. Kenapa bisa di sini? Kalian mencurinya?" Tanyanya sedikit teriak.     

"Bukan, tapi Bu Risma sendiri yang tinggalin kalung ini di sini, dengan harapan polisi bakal nemu ini dan jadikan dia tersangka buat kasus kebakaran di ruangan ini." Jelas Pak Jefri.     

"Sekarang, ikuti saya lagi." Pak Jefri berjalan melintasi koridor, menuju ruangan tersembunyi tempat kursi berada.     

Dia membuka pintu, dan mempersilakan Pak Nuel, masuk pertama diiringi Pak Robi. Hawa dingin mencekam seketika menyelimuti kami semua. Perasaan yang sama, saat Iblis yang menggunakan tubuh Bu Risma melakukan terornya yang paling menyeramkan sampai membuat Pak Jefri kehilangan kesadarannya.     

"Ini ruangan saat saya, teman saya, dan security di depan, bertemu dengan Hantu Bu Risma dan diteror sedemikian rupa. Tapi, di terornya tersebut, dia menyelipkan sedikit ucapan 'Tolong' kepada teman saya." Pak Jefri menunjukku yang berdiri di belakang.     

"Bro, lepas aja borgolnya. Gak apa-apa sekarang." Pinta Pak Jefri kepada rekan polisinya.     

Borgol Pak Nuel terlepas. Matanya terbuka lebar, menatap lurus ke arah kursi yang tengah berdiri diam di tengah ruangan.     

"Itu kursi apa, Jef?" Tanya Pak Robi.     

"Kita juga gak tau, tapi di kursi itu ada kertas yang ada bacaannya." Jawab Pak Jefri.     

Pak Nuel berjalan mendekati kursi secara perlahan, memutarinya, dan dari sorot matanya, aku tahu dia telah melihat kertas tersebut. Dia memegangi kertasnya, dan matanya terbuka semakin lebar. Ekspresi wajahnya yang sebelumnya seolah tidak peduli, berubah menjadi ketakutan.     

Dia menutup mulutnya dengan tangannya yang berbalut sarung tangan, bahkan dari kejauhan, tanganny terlihat sedikit gemetar.     

"Din, siap-siap!" Fadil membisikkan peringatan di telingaku.     

Debu dan segala macam kotoran di dalam sini tiba-tiba saja beterbangan, angin kencang seolah memenuhi ruangan. Pak Nuel semakin sulit terlihat karena debu yang seolah sengaja menutupinya. Pak Robi langsung mengambil senapan di sakunya, berwaspada dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.     

"Risma... Di mana kamu?" Pak Jefri sedikit berbisik.     

Tiba-tiba saja, debu tersebut berhenti beterbangan. Menampilkan Pak Nuel yang terduduk di kursi kayu tersebut, sesosok hitam sudah berdiri tepat di depannya. Dengan kepala yang patah ke kiri, aku langsung mengetahui sosoknya.     

"Ellena... Diam dulu." Fadil berbicara ke Ellena, dan tangannya sedikit bergerak seolah sedang menahan sesuatu.     

"Ellena kenapa?" Tanyaku.     

"Yang lu liat, mungkin itu hantu Bu Risma yang lu kenal. Tapi, yang kita berdua liat, itu bukan, dan nyawa Pak Nuel bisa dalam bahaya. Tapi, kita gak bisa asal maju." Jelas Fadil.     

Pak Robi mengangkat pistolnya, bersiap untuk menembak.     

"Saya gak ngerti hal kaya beginian, tapi kalo berbahaya, saya siap tembak!" Tegas Pak Robi.     

Kami melihat tangan dari Hantu Bu Risma terangkat, seolah sedang bersiap melakukan sesuatu. Saat itu lah, tiba-tiba saja Fadil bergerak maju sendirian... Atau mungkin dengan Ellena entah lah, aku tidak bisa melihatnya.     

"Kembali ke alammu! Dan biarkan Risma yang datang!" Teriak Fadil.     

Hantu itu menegakkan kepalanya, dan kepala Pak Nuel terputar 180 derajat, dan langsung menghadap ke arah Fadil yang sedang menerjang maju.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.