Misteri Gedung Kantor

Bab 23



Bab 23

0"Langsung mau dibawa ke sini pak?" Tanyaku memastikan.     

"Yah, kalo bisa secepatnya, kenapa nggak? Emang kamu mau diteror sama Hantu Bu Risma terus?" Pak Jefri lagi-lagi langsung meng-skak mat diriku.     

"Kalo gitu, kira-kira jam berapa orangnya bakal sampe sini?" Aku masih merasa penasaran, dan jujur aku tidak mau sampai ketinggalan untuk melihat sosok mantan suaminya Bu Risma saat ini.     

"Oh iya juga, saya coba tanya dulu ke temen saya yang polisi itu ya. Kamu lanjut kerja aja sana!" Pak Jefri akhirnya menyuruhku melanjutkan kembali pekerjaanku yang tertunda untuk kesekian kalinya sejak setelah makan siang tadi.     

"Ya udah deh, Pak." Balasku sambil berlalu meninggalkan Pak Jefri yang masih berdiri diam dengan ponsel di tangannya dan mata yang terpaku. Dia bahkan tidak menyahut kali ini, Pak Bos satu ini sulit ditebak.     

Tersisa waktu sedikit lagi sampai jam kerja usai, dan kami harus segera turun ke bawah agar tidak melihat sosok menyeramkan yang akan muncul di lantai kantor ini. Aku melihat sekilas rekan-rekanku di meja kerja mereka masing-masing. Mata mereka benar-benar terpaku dengan komputer dan dokumen di depan mereka.     

Aku pun ikut untuk mulai memfokuskan diri dengan pekerjaanku di sisa waktu yang ada. Dengan tingkat keseriusan bekerja seperti ini, tidak ada dari kami yang takut untuk kelewatan jam pulang kerja, karena kantor kami sudah menyediakan alarm yang akan berbunyi saat menyentuh jam 5 sore. Itu dilakukan untuk antisipasi agar tidak ada yang menjadi korban teror dari hantu menyeramkan di kantor ini.     

Tidak lama kemudian, Pak Jefri masuk sambil berbicara cukup kencang di telepon, sehingga membuat fokus kami seketika terpecah. Terdengar dari omongannya yang terakhir terdengar sebelum dia memasuki ruangannya, sebuah kalimat yang terdengar cukup jelas.     

"Bisa malem ini ya?" Katanya menyahut dari omongan temannya di telepon.     

Rekanku yang lain tampak kebingungan, dan sepertinya hanya aku saja yang mengerti maksud perkataan tersebut. Segera setelah Pak Jefri masuk ke dalam ruangan, suara Pak Rusdi langsung terdengar.     

"Yok fokus kerja lagi, sedikit lagi jam pulang." Katanya dari arah mejanya, dan saat kulihat, dia sedikit mengangkat kepalanya agar bisa terlihat oleh rekan lain dari meja masing-masing.     

Aku melihat jam tanganku, terlihat sudah menunjukkan pukul 16.25, tersisa beberapa menit lagi, dan dokumen kerjaku masih banyak. Ah menyebalkan, tampaknya aku harus bekerja lebih keras lagi esok untuk menyelesaikan dokumen yang masih bertumpuk ini. Pusing rasanya melihat tumpukan kertas kertas di meja kerjaku.     

Semangatku untuk menyelesaikan pekerjaanku hari ini rasanya hilang saat melihat kertas dokumen ini. Sudah lah, aku coba sebisanya saja. Kalau tersisa sedikit, ya bagus, kalau masih banyak yah sudah lah.     

*Tring! Ah sial, aku lupa untuk mensunyikan ponselku, siapa juga yang mengirimkan pesan di jam kerja begini sih? Aku merasa tidak enak jadi menghancurkan fokus rekanku yang lain.     

Aku melihat ponselku, melalui lockscreen, terlihat nama Pak Jefri dan sebuah pesan yang masih tertutup karena aku mengunci ponsel dan aplikasinya dengan sandi untuk privasi tentunya. Aku membuka kunci ponselku, dan membuka sandi dari aplikasi untuk kirim pesan tersebut.     

"Din, malem ini, kita stay di kantin dulu ya sampe orangnya dateng." Begitulah bunyi pesan yang dikirimkan Pak Jefri, singkat tapi... Jam istirahat berhargaku.     

"Sampe jam berapa pak?" Balasku.     

"Kalo sampe jam 9 belum dateng, kamu boleh pulang." Balasnya lagi.     

Sial, lama juga aku harus menunggu. Semoga baterai ponselku cukup, sialnya aku lupa membawa power bank untuk mengisi daya ponselku.     

"Tenang, nanti makan malem saya traktir." Pak Jefri kembali mengirimku pesan. Sogokan yang sempurna, baik lah aku ikut.     

"Oke deh, pak." Balasku singkat.     

"Yang lain nggak, Pak?" Tanyaku.     

"Nggak usah." Balasnya singkat, dan status online darinya di aplikasi langsung menghilang menandakan dia sudah menutup kembali ponselnya.     

Aku menghela nafas, bosku memang sedikit menyebalkan dan sulit ditebak, tapi terkadang dia bisa menjadi bos terbaik yang pernah aku tau. Rasanya seperti berada di dunia fiksi mengingat ada seorang pemimpin sehumble Pak Jefri.     

Alarm pulang berbunyi cukup keras memenuhi seisi ruangan, suara helaan nafas rekanku terdengar menyahut bunyi alarm. Aku melihat tugas kerjaku yang masih banyak, menghela nafas lemas dan menyandarkan diri ke kursi kerjaku.     

"Masih banyak... ." Ucapku lemas pada udara.     

"Ayo semua, waktunya turun! Kebijakan baru, biar nggak ada korban lagi. Tapi, tenang aja, sebentar lagi teror hantu di sini bakal hilang." Pak Jefri tiba-tiba sudah berdiri di depan ruangannya dengan wajah yang bersemangat.     

Di saat bersamaan, Bu Lilis masuk ke dalam ruangan sambil berjalan perlahan, dan langsung disambut Bu Dewi. Dua wanita karir yang sangat kompak satu sama lain.     

"Lilis udah mendingan ya?" Tanya Pak Jefri.     

"Ya, masih begini pak. Tapi, saya paksain aja dari pada saya sendiri di sini nantinya." Jawab Bu Lilis, dan kami sedikit tertawa.     

"Ya udah, ayo cepet beres beres. Saya duluan ya." Ucap Pak Jefri. "Terima kasih kerja kerasnya hari ini."     

Rivaldi tampak sudah selesai membereskan barangnya, dan dia melihatku yang sepertinya sedikit lemas dari matanya.     

"Lu kenapa lemes banget?" Tanyanya.     

"Tuh liat, kerjaan gua banyak banget. Mau lembur, tapi gua takut." Kataku sambil menunjuk kertas-kertas yang bertumpuk di meja kerjaku.     

"Ya jangan lah. Gila kali lembur sendirian." Sahutnya.     

"Ya makanya. Ya udah bentar, gua beres beres dulu. Turun bareng." Balasku.     

Aku mulai merapihkan dokumen kerjaku, mematikan komputer, dan menata kembali mejaku. Memasukkan beberapa barang ke dalam tas, dan aku sudah siap untuk turun kembali ke lantai bawah, dan langsung menuju kantin.     

"Lu mau langsung pulang?" Tanya Rivaldi saat kami berada di lift bersama rekan lain.     

"Ah nggak, gua mau ke kantin dulu." Jawabku terus terang.     

"Ngapain? Disuruh Pak Jefri?" Tanyanya. Seketika perhatian rekan kerja yang juga satu lift dengan kami berdua langsung menuju arahku.     

"Eee... Iya, ini ngapa pada nengok tiba-tiba dah?" Tanyaku merasa sedikit nyaman.     

"Boleh kita ikut?" Bang Andre menyahut tiba-tiba.     

"Coba tanya Pak Jefri aja kalo itu, kan Pak Jefri yang ngajak." Balasku.     

"Oke lah." Balas Bang Andre. Pintu lift terbuka, kami sudah tiba di lantai dasar, dan berjalan keluar lift satu persatu.     

Aku melihat mereka langsung menuju pintu keluar, aku lega karena rekanku akhirnya tidak jadi untuk ikut diriku ke kantin. Aku merasa tidak enak ke Pak Jefri kalau tiba-tiba kami semua hadir di kantin, padahal Pak Jefri menyuruhku untuk kami berdua saja.     

Sesampainya di kantin, Pak Jefri terlihat sudah duduk di salah satu bangku, sambil menatap ponselnya dan membawa sebuah dokumen tipis yang mungkin hanya berisi satu atau dua kertas saja. Entah apa maksudnya membawa kertas itu, aku akan coba tanya dulu.     

"Ah Udin, akhirnya dateng. Saya kira kamu lupa." Kata Pak Jefri sesaat setelah aku menarik salah satu bangku, dan duduk di hadapannya.     

"Kalo ada traktirannya saya gak lupa pak, hehe." Balasku ringan.     

"Ya udah pesen sana, sambil nunggu orangnya." Katanya.     

Aku segera memesan minuman ringan, dan cemilan pengisi perut. Meski aku tahu kalau Pak Jefri yang akan membayarnya, aku tetap hormat kepadanya dan tidak berniat untuk membeli makanan yang mahal.     

"Itu kertas apa, Pak?" Tanyaku sambil menunjuk dokumen yang ada di hadapan Pak Jefri.     

"Oh ini, sedikit info yang saya tau soal Bu Risma, biar nantinya pas orang itu dateng, langsung bisa diingetin, kalo dia lupa sih." Jawabnya. "Oh iya, sama surat izin masuk ke ruangan itu lagi."     

"Kita bakal masuk ke sana lagi?" Tanyaku sedikit tidak percaya, dan pesananku sudah tiba di meja.     

"Di ruangan itu ada kalungnya Bu Risma, dan Bu Risma sempat kekurung di sana kan. Jadi menurut saya sih, udah paling pas di sana." Balasnya.     

"Kira-kira kapan sampe itu orangnya?" Tanyaku.     

"Info yang saya dapet terakhir, jam 6 tadi udah dalam perjalanan ke sini. Mungkin paling lambat jam 8 malam." Balas Pak Jefri.     

"Saya panggil Fadil gak?" Tanyaku, hanya Fadil yang bisa terpikirkan olehku untuk membantu masalah ini.     

"Gak usah, udah saya panggil ko." Sahutnya. "Paling sebentar lagi sampe anaknya."     

"Permisi..." Sebuah suara laki-laki terdengar di belakangku, dan Fadil sudah menampakkan dirinya.     

"Baru aja diomongin. Duduk, Dil. Kalo mau pesan minum, pesan aja. Nanti saya bayar." Kata Pak Jefri.     

"Hehe iya pak, terima kasih. Kebetulan saya lagi di kosan temen saya deket sini, jadi bisa langsung dateng." Katanya menolak secara halus tawaran Pak Jefri.     

"Ellena ikut, Dil?" Kataku.     

"Ikut, nih disamping gua." Balasnya.     

"Ellena siapa?" Tanya Pak Jefri.     

"Loh, Bapak gak tau?" Tanyaku heran. Ku kira Fadil sudah meminta Ellena untuk memperkenalkan diri ke Pak Jefri juga.     

"Nggak, emang apaan?" Tanyanya.     

"Teman hantu saya, pak." Jawab Fadil padat, singkat dan jelas.     

Kami terus berbincang-bincang, sambil menunggu target kami datang dengan seorang polisi kenalan Pak Jefri. Fadil memperingatkan kami, kalau kilasan masa lalu yang dikasih lihat Bu Risma benar adanya, kami berdua tidak diperbolehkan masuk ke dalam ruangan itu, dan hanya suaminya Bu Risma saja.     

Menurutnya, Iblis yang menjadi lawan kita adalah kelas tinggi. Dia dan Ellena bahkan tidak yakin bisa membantu banyak kalau iblis itu menampakkan dirinya, padahal kata Fadil sendiri, Ellena adalah roh yang sudah berumur lebih dari seratus tahun dan punya kekuatan yang hebat.     

Aku tertegun mendengar peringatan dari Fadil, dan tanpa terasa, jam akhirnya menunjukkan pukul 8 malam, dan mulai terdengar suara bisik-bisik orang. Saat aku melihat ke arah sumber suara bisik-bisik yang cukup ramai, terlihat olehku, sosok yang kami tunggu.     

Dua orang polisi sedang mengawal seorang pria tua yang masih tegap berdiri dan berjalan cukup lancar. Rambut pria itu sudah beruban, kerutan di matanya juga terlihat, tapi dari cara berdirinya, dia tampak masih sehat-sehat saja.     

Fadil seketika berbisik di telingaku.     

"Hati-hati." Begitu lah katanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.