Misteri Gedung Kantor

Bab 14



Bab 14

0Aku kebingungan kenapa bisa Hantu Bu Risma muncul di tempat ini? Bukan kah Hantu Bu Risma hanya muncul di Gedung Kantor saja? Saat aku sedang memikirkan penyebabnya, sosok hantu itu tiba-tiba saja sudah mengetuk pintu kamarku dengan salah satu tangannya yang sangat kurus dan berkulit pucat.     

Masih dengan kepalanya yang patah ke arah kiri, senyum tipis yang memberikan kesan mengerikan juga kini menghiasi wajahnya. Tangannya sudah berhenti mengetuk pintu, namun kini ia melambaikan tangannya dengan pelan.     

Aku berusaha mencari ponselku yang sebelumnya aku letakkan kembali di meja samping ranjangku, dengan maksud ingin menghubungi Fadil dan berharap ia mampu memberiku arahan untuk melawan Hantu Bu Risma. Namun, ponselku sudah menghilang dari tempat aku menaruhnya. Aku mengutuk dan bertanya-tanya keheranan, kenapa harus sekarang? Apakah mitos barang hilang disaat keadaan genting memang benar adanya?     

Kembali aku melihat ke arah Bu Risma, tangannya sudah berhenti melambai, senyum yang sebelumnya tampak menghiasi wajahnya kini juga berganti dengan ekspresi datar. Perlahan sosoknya semakin mendekat ke arah pintu, aku merasa kalau hantu tersebut tidak akan bisa membuka pintu, dan masuk kamar tempatku berada.     

Namun, aku lupa kalau hantu mampu menembus objek padat, sekali pun itu sebuah pintu atau tembok, begitu pula yang dilakukan oleh Hantu Bu Risma. Ia melayang perlahan menembus pintu dan meninggalkan jejak cairan hitam di pintu. Begitu pula dengan lantai tempat ia melayang di atasnya.     

Semakin ia mendekat, tubuhku semakin kaku. Sosoknya yang mengerikan masih saja mampu membuat jantungku berdebar begitu kencang. Kini hantu Bu Risma sudah berada tepat di depan wajahku. Ia tersenyum begitu lebar, sampai aku merasa kalau mulutnya yang tersenyum itu bisa membuat kepalanya sendiri terbelah.     

Bau busuknya begitu menyengat ditambah cairan hitam di bawahnya yang justru tambah melebar dan mulai merambat ke kaki ranjangku. Hantu Bu Risma mendekatkan tubuhnya ke arahku, dengan lehernya yang patah itu, ia terlihat berusaha meluruskan lehernya. Bunyi tulang lehernya yang ia paksakan itu terdengar sangat nyaring.     

Hantu Bu Risma menjulurkan tangannya ke arah leherku, sepertinya dia kembali berusaha mencekikku. Ingin aku menghindar, namun tubuhku rasanya seperti menempel di ranjang, Hantu Bu Risma semakin mendekat ke arah leherku, aku memejamkan mata.     

Tangannya yang kurus dan dingin sudah terasa di leherku. Aku hanya bisa berdoa agar ia segera menjauh dan sesaat kemudian aku bisa merasakan udara dingin mengalir di tengkukku, disusul dengan sebuah suara samar yang berkata.     

"Tolong saya... ." dengan nada lirih yang memprihatinkan.     

Aku membuka mata dengan terkejut, aku dapati hampir seluruh rekan kerjaku sudah berkumpul mengelilingiku. Mereka melihatku dengan tatapan heran, aku sadar kini keringat dingin membasahi kening dan telapak tanganku.     

"Udin, kamu gak apa-apa?" Bu Dewi memulai pembicaraan.     

Aku bingung harus menjawab apa, kejadian apa yang barusan aku alami? Jika itu mimpi, itu adalah mimpi paling nyata yang pernah aku alami sejauh ini. Lagipula, apa maksud Hantu Bu Risma muncul dan meminta tolong?     

Kepalaku terasa berputar memikirkan tentang kejadian yang baru saja aku alami.     

"Udin... ?" Pak Rusdi kembali memanggilku yang tanpa sadar jadi melamun.     

"Eh... Ah iya, maaf. Gak apa-apa kok." Balasku gugup.     

"Kejadian waktu itu masih berbekas ya?" Tanya Bang Andre.     

"kayanya begitu, bang." Jawabku masih sedikit kebingungan. "Omong-omong, pak. Saya gak sadar berapa lama?"     

"Yang barusan atau yang kamu sama Pak Jefri?" Pak Rusdi balik bertanya.     

"Dari sejak kejadian saya dengan Pak Jefri." Kataku     

"Seingat saya, sekitar satu minggu." Balasnya.     

"Terus, Pak Jefri gimana?" Tanyaku penasaran, bagaimana pun aku masih merasa bersalah karena memberi tahunya mengenai ruangan tersebut.     

"Beliau masih belum stabil kondisinya. Sekarang masih istirahat di rumahnya, kabarnya dia minta buat dirawat di rumahnya sendiri." Jelas Pak Jefri.     

"Kayanya emang semua salah saya," Aku menundukkan kepala, rasa penyesalan yang besar kini benar-benar memenuhi lubuk hatiku. "Kalau aja waktu itu saya gak cerita... ."     

"Nggak, Udin. Pak Jefri emang dari dulu penasaran sama ruangan itu, dia pernah ajak saya buat masuk ke sana karena dipikirnya masih ada hubungan dengan kasus Bu Risma. Tapi, saya tolak karena saya sendiri takut. Kebetulan Pak Jefri tahu kamu berani masuk ke sana, jadi dia minta kamu buat temenin dia." Pak Rusdi memotong omonganku.     

"Permisi, pakeet." Kita semua mengalihkan pandangan ke pintu untuk melihat asal suara. Rivaldi muncul dengan membawa plastik besar berisi cemilan dan Bu Dewi menyusul di belakang dengan plastik berisi buah-buahan. Rivaldi benar-benar merusak suasana sedih yang sebelumnya memenuhi ruangan.     

"Eh, Udin. Apa kabar?" Rivaldi langsung melanjutkan basa basinya.     

"Suasana lagi sedih malah ngelawak." Bu Lilis menyenggol bahu Rivaldi. Bu Dewi tertawa kecil melihatnya sambil menaruh plastik buah-buahan di meja samping ranjangku.     

"Biar gak tegang, bu. Kan kalo seneng, Udin juga nanti cepet sembuh." Balasnya.     

"Omong-omong Udin, tadi kenapa bangun tidur kaya kaget gitu?" Tanya Pak Wisnu.     

"Nggak apa-apa, Pak. Cuma mimpi buruk aja." Balasku.     

"Mimpi buruk gimana?" Tanya Bu Lilis.     

"Hantu Bu Risma datengin saya." Jawabku singkat.     

"Gitu doang?" Rivaldi ikut bertanya.     

"Diakhir, Bu Risma ngebisikin 'tolong saya.' Gitu sih." Balasku memberi tahu akhir mimpi buruk yang terasa nyata barusan.     

"Hantu Bu Risma minta tolong?" Bu Dewi melihatku keheranan.     

"Kayanya sih begitu." Balasku ragu.     

"Habis dia bikin kita ketakutan, malah minta tolong? Gua gak ikut deh." Celetuk Rivaldi.     

Pak Rusdi tampak sedang memikirkan tentang mimpi burukku yang baru saja aku ceritakan. Kasus Bu Risma tampaknya memang mengusik pikiran Pak Rusdi dan Pak Jefri.     

"Saya harus kasih tahu Pak Jefri kayanya." Katanya tiba-tiba dan langsung berjalan keluar kamar rawatku sambil memegangi ponselnya.     

"Kayanya Pak Jefri sama Pak Rusdi serius banget soal kasus Bu Risma." Kata Bang Andre melihat Pak Rusdi berjalan keluar.     

Menurutku wajar saja mereka benar-benar serius mau memecahkan masalah ini,bagaimana pun mereka mengaku kenal dekat dengan Bu Risma semasa hidupnya, terlebih Bu Risma dikenal sebagai orang baik yang tidak segan membantu dan membelikan makan siang kepada semua rekannya. Kematian Bu Risma pasti masih berbekas di ingatan mereka.     

"Ehem... Jadi, lu sebentar lagi udah bisa kerja kan?" Lagi-lagi Rivaldi langsung berbicara to the point.     

"Eh, ya... Doain aja biar cepet enakan lagi buat kerja." Balasku.     

"Ya... semoga aja." Suasana seketika menjadi canggung.     

"Eh itu, cemilannya dimakan." Bu Dewi langsung mengambil beberapa cemilan yang sudah dibeli dan menaruhnya di ujung ranjangku agar yang lain juga lebih mudab mengambil camilannya.     

"Iya, pak! Ini saya kasih ke Udin." Pak Rusdi membuka pintu dan berjalan tergesa-gesa dengan ponsel di telinganya dan suaranya terdengar lebih keras.     

Ia langsung memberikan ponselnya kepadaku. Aku melihat di layarnya, teleponnya masih tersambung dengan Pak Jefri.     

"Halo, pak? Gimana kabarnya?" Aku memulai dengan basa-basi.     

"UDIN!! KAMU DIDATENGIN BU RISMA DI MIMPI TERUS DIA MINTA TOLONG!?" Aku terkejut mendengar suara Pak Jefri yang kencang dan terdengar bersemangat sampai aku secara spontan sedikit menjauhkan ponsel Pak Rusdi dari telingaku.     

"I... Iya pak, kenapa ya?" Balasku masih kebingungan.     

"Saya juga dapet mimpi yang sama, dan semua orang fikir mimpi itu cuma karena trauma. Tapi, saya yakin pasti ada artinya kalau Hantu Bu Risma juga minta tolong ke kamu." Suaranya sudah lebih tenang kali ini.     

"Maksudnya gimana, pak?" Aku masih kebingungan.     

"Maksud saya, penelusuran kita malam itu gak sia-sia!" Balasnya penuh rasa semangat yang tergambar jelas melalui suaranya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.