Misteri Gedung Kantor

Bab 8



Bab 8

0Setelah peristiwa mengerikan yang menimpa diriku di bekas ruangan resepsionis tersebut, aku mengalami sakit selama dua hari, untung saja saat itu hari sabtu dan minggu, sehingga pekerjaanku tidak terganggu. Selama sakit itu juga aku selalu bermimpi buruk, wajah mengerikan hantu Bu Risma yang tidak bisa ku lupakan selalu menghantuiku hampir setiap saat.     
0

Saat hari senin, kesehatanku sudah membaik. Aku bersyukur karena aku bisa berangkat kerja hari itu. Aku mengeluarkan motorku, memasang earphone di telinga, lalu menyetel musik saat dalam perjalanan menuju kantor. Musik yang mengalun di telinga melalui earphone mampu membuatku lupa sejenak dari wajah hantu Bu Risma dan juga... Pak Jefri.     

Sesampainya aku di gedung kantor, security yang tengah berjaga saat itu melihatku dengan sinis, kebetulan juga Security itu lah yang aku ajak berbincang pada Jumat Malam setelah aku tersadar, dan dia pula yang menyarankan aku untuk cepat pulang setelah menceritakan tentang adanya kursi dengan kertas yang ditempel di bagian belakangnya. Sepertinya ia masih merasa kesal karena aku yang melanggar aturan, dan mungkin juga masih berfikir aku berbohong tentang ruangan yang berisi kursi.     

Aku lanjut berjalan menuju lift gedung, dan menekan tombol lantai 47. Berusaha menghiraukan pandangan sinis dari beberapa security yang mengetahui kejadian pada jumat malam itu. Sesampainya aku di dalam, rekan kerjaku hampir semuanya sudah tiba, mereka sedang asik berbincang satu sama lain. Aku melihat ruangan Pak Jefri yang masih kosong, sedikit menghela nafas lega, karena aku bisa sedikit mempersiapkan diriku untuk menceritakan kejadian sebenarnya di dalam ruangan menyeramkan itu.     

Baru saja aku menghela nafas, sebuah ucapan selamat pagi terdengar dari depan ruangan kantor. Sosok bos kami, Pak Jefri sudah tiba, berjalan dengan senyuman di wajahnya. Menyambut dan memberikan semangat kepada semua rekan kerja, ia mengarahkan matanya ke arahku, dan langsung memberikan isyarat agar aku masuk ke ruangannya. Dengan sedikit berat, dan rasa takut dimarahi atasan, aku masuk ke dalam ruangannya.     

"Duduk, saya mau dengar langsung kejadian jumat malam itu." Aku menurut saja terhadap perintahnya.     

Aku terdiam sejenak, masih berusaha memikirkan bagaimana aku bisa menceritakan kejadian tersebut.     

"Kenapa? Udah cerita aja." Kata Pak Jefri yang mendapati ekspresi wajahku yang kebingungan.     

Aku pun memutuskan untuk jujur walau rasanya takut dan berat sekali, aku hanya bisa berharap semoga setelah ini Pak Jefri tidak marah padaku. Sementara Pak Jefri mendengarkan dengan seksama dan penuh perhatian, tidak tampak raut wajah kemarahan di wajahnya, justru ekspresi wajah penasaran dan penuh rasa ketertarikan yang terlihat di wajahnya.     

"Jadi begitu ceritanya, mungkin memang penutupan ruangan itu bukan semata-mata akibat kejadian kebakaran, melainkan ada hal lain lagi di dalamnya, salah satunya mungkin hantu Bu Risma yang kamu temui." Balas Pak Jefri setelah aku selesai bercerita.     

"Mungkin begitu, pak. Tapi, saya masih penasaran satu hal." Kataku. Sedikit lega juga diriku karena dia tidak marah.     

"Apa itu?" Tanya Pak Jefri.     

"Kursi yang saya lihat di ruangan yang ada di dalam sana, saya bahkan gak tau itu ruangan apa, dan kursi itu ada di dalam sana, dan juga ada kertas putih yang ditempel di bagian belakangnya, dan juga ada tulisannya." Kataku. Pak Jefri mencondongkan tubuhnya tanda bahwa ia tertarik dan penasaran dengan benda yang aku temukan.     

"Apa tulisan yang ada di kertas itu?" Tanya Pak Jefri.     

"eeh itu, hurufnya beberapa sudah tidak terlalu terlihat sih, tapi waktu saya bisa baca tulisannya, di kertas itu tertulis 'Kamu selanjutnya!' begitu, pak." Kataku.     

"Dan di ruangan itu pula kamu melihat arwah Bu Risma yang lagi nangis?" Tanya Pak Jefri.     

"Iya, disana juga. Tapi, menurut keterangan security, saya kesurupan di depan, setelah saya berusaha lari."     

"Wah, menarik. Terima kasih sudah bercerita. Saya jadi mau masuk ke sana. Ngomong-ngomong, kamu tetap saya kasih hukuman karena masuk ke dalam ruangan itu tanpa izin." Katanya. Aku panik, dan sedikit kaget karena ternyata Pak Jefri masih akan memberikan hukuman untukku.     

"Hukuman apa, pak?" Tanyaku.     

"Kamu harus masuk lagi ke dalam sana dengan saya juga, dan kamu yang bakal kasih tau jalannya." Balas Pak Jefri. Kembali aku dibuat terkejut, aku masih cukup shock dan masih takut untuk bertemu hantu Bu Risma lagi.     

"Gak bisa hukuman lain aja, pak?" Tanyaku, berusaha negosiasi, aku ingin menghindar dari hantu Bu Risma sebisa mungkin.     

"Yah, ada, kamu tidak boleh masuk kerja selama beberapa hari, dan gaji kamu juga saya potong. Pilih mana?" Pak Jefri benar-benar memberiku pilihan sulit. Aku membutuhkan gaji utuh, tapi aku juga takut untuk bertemu hantu Bu Risma. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya aku memutuskan untuk menemani Pak Jefri masuk ke ruangan menyeramkan itu.     

"Tapi, gimana caranya kita bisa kesana? Saya pasti udah diawasin sama semua security yang berjaga, karena kemarin saya masuk tanpa izin." Kataku.     

"Biar saya yang atur, kamu lupa kalau saya punya jabatan disini?" Balas Pak Jefri penuh nada kesombongan.     

Akhirnya aku pun setuju, dan dia berkata akan mengaturnya dengan aman untuk kunjungan kami ke bekas ruangan resepsionis itu lagi. Dia berkata kalau kami akan masuk kesana pada jam pulang kerja nanti. Aku pun disuruhnya untuk kembali fokus bekerja sampai tiba nanti jam pulang kantor, ia memintaku menemuinya di kantin kantor.     

"Ngomongin apa din?" Tanya Rivaldi setelah aku keluar dari ruangan Pak Jefri.     

"Ah, nggak. Ngobrol sedikit aja." Balasku. Wajah Rivaldi tampak tidak puas dengan jawabanku.     

Tidak lama kemudian, Pak Jefri keluar dari ruangannya, membawa sebuah buku catatan. Langkahnya terlihat bersemangat.     

Sekitar dua jam kemudian, Pak Jefri kembali ke ruang kerjanya dengan buku catatannya dan sebuah kertas yang sedikit menonjol keluar dari bukunya. Ia kembali memanggilku ke dalam ruangannya. Aku masuk dan melihat dia tengah duduk santai dengan wajah yang sangat puas.     

"Siap nanti malam?" Tanya Pak Jefri.     

"Saya masih ragu sih, pak. Tapi, kita udah bisa masuk kesana?" Aku bertanya kembali.     

"Sudah saya bilang, saya yang urus. Nih baca surat izinnya." Pak Jefri memberiku secarik kertas, yang ternyata merupakan surat izin masuk ke ruangan tersebut yang entah bagaimana dia bisa dapat, atau mungkin dia membuat surat izin palsu? Ah sudahlah, yang terpenting satu masalah sudah terselesaikan.     

"Saya sempat penasaran dan mau menuntaskan kasus Bu Risma ini, tapi, saya juga mulai merasa malas buat cari tahu lagi. Tapi, karena cerita dari kamu, saya jadi tertarik lagi. Menurut saya, hantu Bu Risma masih bergentayangan karena ada urusan yang belum diselesaikan. Lagian, motif bunuh diri Bu Risma masih belum jelas." Kata Pak Jefri menjelaskan. "Ditambah ruang kantor ini sudah menyeramkan di malam hari karena adanya hantu Bu Risma, kalau kita bisa menenangkan beliau, kita bisa bekerja lembur dengan tenang." Lanjutnya.     

Sikapnya yang mau menuntaskan kasus bunuh diri mantan rekan kerjanya membuatku merasa paham kenapa dia ditunjuk sebagai leader. Aku pun akhirnya menjawab dengan yakin akan menemani beliau ke dalam ruangan itu lagi, walaupun bayang-bayang wajah Bu Risma masih terasa nyata.     

Aku berniat untuk mengajak Rivaldi, karena seingatku dia juga tertarik dengan hal seperti ini, tapi Pak Jefri mengatakan hal itu tidak perlu, karena akan membahayakan lebih banyak orang, cukup lah aku, Pak Jefri dan seorang security senior saja yang akan mengambil resiko investigasi menyeramkan yang berbahaya ini. Alasannya yang cukup masuk akal menurutku, setelah aku fikir-fikir lagi, aku juga tidak mau membahayakan teman. Aku menyetujuinya, dan kembali ke meja kerja melanjutkan pekerjaanku, dan berpura-pura tidak ada rencana apa pun antara aku dan Pak Jefri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.