Misteri Gedung Kantor

Bab 9



Bab 9

Jam kerja sudah usai, Pak Jefri seperti biasa mengucapkan terima kasih atas kerja keras para karyawannya, dan berlalu meninggalkan ruangan terlebih dulu. Sementara aku dan rekan kerja yang lain masih membereskan beberapa perlengkapan kerja kami, sambil sesekali bercanda, dan pada akhirnya kami turun menuju lantai dasar secara bersama-sama.     

Sesampainya di lantai dasar, aku berkata kepada rekanku bahwa aku perlu ke kantin terlebih dulu dengan alasan ingin membeli minuman sebentar agar tidak mengantuk di jalan pulang, dan meminta rekan kerjaku terutama Rivaldi untuk tidak menunggu. Tentu saja itu semua hanya lah alasan agar tujuanku untuk menelusuri ruangan yang menyeramkan bersama Pak Jefri tidak diketahui oleh para rekan kerja.     

Aku berjalan menuju kantin, dan melihat Pak Jefri sedang berbincang oleh seorang security. Aku menghampiri mereka, dan Pak Jefri lantas memperkenalkan aku dengan sosok Pak Wawan. Seorang security senior yang sudah sangat akrab dengan Pak Jefri, dan menurutnya, Pak Wawan adalah security yang paling berani.     

Pak Jefri menjelaskan rencana untuk penelusuran kami. Kami akan memulai masuk ke dalam ruangan tersebut setelah melaksanakan ibadah sambil menunggu persiapan keamanan di dalam sana selesai diatur oleh para security, juga sambil menunggu sosok pemuka agama yang diyakini mampu menolong jika terjadi hal yang tidak diinginkan. Kami terus berbincang sampai akhirnya adzan maghrib berkumandang.     

Pak Jefri lantas mengajak kami untuk ke rumah ibadah terdekat untuk melaksanakan ibadah, dan menghampiri pemuka agama untuk nanti bersama-sama kembali ke gedung kantor. Selesai beribadah, aku melihat Pak Jefri sedang berdiskusi dengan pemuka agama yang dimaksud.     

"Kamu yang kemarin masuk ke ruangan itu ya?" Pak Wawan tiba-tiba menghampiri.     

"Eh, iya pak." Balasku spontan.     

"Yakin masih mau masuk ke sana?" Tanyanya kembali, sambil matanya melihat ke arah Pak Jefri.     

"Ya, nggak apa-apa sih, pak." Jawabku.     

Dia berdiri usai mendengar jawabanku, melihatku sesaat, dan berjalan menghampiri Pak Jefri. Tidak lama kemudian, tiga orang dewasa tersebut berjalan ke arahku, dan Pak Jefri memberikan isyarat untuk kami semua kembali ke gedung kantor, dan segera bersiap untuk melakukan investigasi.     

Kini, aku, Pak Jefri dan Pak Wawan sudah berdiri di depan bekas ruangan depan gedung kantor yang menyeramkan ini. Sementara Pemuka Agama tadi ditempatkan di ruang security, mengawasi lewat kamera yang menurut Pak Wawan sudah terpasang di dalam sana. Kami bertiga masuk ke bekas ruang resepsionis itu, tampak tidak banyak yang berubah kecuali adanya kamera di beberapa sudut sesuai dengan apa yang tadi Pak Wawan katakan, sedangkan debu dan abu yang ada masih belum dibersihkan dan tidak tampak berubah. Kami memulai penelusuran kami di ruang depan, sambil mencari dan melihat sekeliling kami. Namun, tidak ada apa pun yang bisa kami temukan.     

Kami melanjutkan penelusuran kami kearah meja resepsionis, sambil berjalan menuju meja resepsionis aku juga menjelaskan kalau pada saat itu aku menemukan potongan tulang kecil diantara debu yang ada. Setelah melewati besi yang terjatuh diagonal di tengah ruangan dan sedikit menghalangi jalan kami menuju meja resepsionis, kini tiba lah kami bertiga di meja resepsionis. Berdasarkan ingatanku, aku menyingkirkan debu yang ada, dan mencari serpihan benda putih yang aku yakini merupakan bagian dari tulang manusia. Tidak butuh waktu lama, aku berhasil menemukannya, lalu mengangkat serpihan tulang tersebut dan menunjukkannya pada Pak Jefri dan Pak Wawan. Mereka tampak terkejut, dan sedikit tidak percaya pada temuanku.     

Tepat ketika aku sedang menunjukkannya, dan Pak Jefri sedang mengamatinya dengan Pak Wawan, untuk sesaat aku merasakan adanya hembusan nafas di telinga kiriku, seperti ada yang meniup pelan. Angin yang ditiup juga terasa sangat dingin, aku langsung menggosokkan tanganku ke telinga kiri.     

"Kamu kenapa, din?" Kata Pak Jefri yang sadar dengan pergerakan tubuhku.     

"Ah, gak apa-apa pak, Cuma rasanya tadi kaya ada yang tiup telinga saya." Balasku. Pak Jefri langsung menyipitkan mata setelah aku mengatakan itu. "Oh iya pak, saya juga waktu itu nemu barang lain disini." Lanjutku.     

"Apa itu?" Tanya Pak Jefri. Aku membuka laci meja resepsionis, dan tampak lah kalung besi yang sudah kotor tergeletak di dalamnya.     

"Kalau saya tidak salah ingat, saya pernah lihat kalung ini." Kata Pak Wawan tiba-tiba. Aku menatapnya bingung, sementara Pak Jefri masih sibuk melihat kalung itu dengan mata yang disipitkan. Ia benar-benar tampak serius, dan terlihat sedang mengingat-ingat sesuatu tentang kalung itu.     

"Bapak tahu?" Tanyaku penasaran.     

"Kalau ingatan saya benar, kayanya kalung ini milik seseorang yang pernah bekerja disini, tapi saya lupa namanya siapa." Balasnya sambil menggosok-gosok dagunya yang sudah sedikit berjanggut putih.     

"Ini punya Bu Risma." Kata Pak Jefri tiba-tiba. Aku sontak melompat mundur, terkejut dengan fakta yang barusan aku dengar. "Ada barang yang hilang dari Almarhumah Bu Risma, tapi waktu itu tidak ada yang ingat apa barangnya. Tapi, sekarang saya ingat. Bu Risma sangat suka kalung ini. Saya akan menyimpannya." Lanjut Pak Jefri yang langsung mengantongi kalung itu di jasnya.     

Kami segera melanjutkan penelusuran kami ke salah satu pojok ruangan, tempat aku melihat tikus yang tiba-tiba muncul. Aku berkata, tikus itu tiba-tiba saja muncul di pojok ruangan dan saat aku mendekat, tikus itu berlari ke suatu tempat. Pak Jefri dan Pak Wawan mendengarkan penjelasanku, dan lagi-lagi sebuah hembusan nafas yang dingin mengenai telingaku, kali ini giliran telinga kananku.     

"Kenapa, din? Ada yang tiup kuping kamu lagi?" Tanya Pak Jefri yang sadar aku sedang menggosok telinga kananku.     

"Ah, iya pak." Kataku.     

Pak Jefri hanya menggelengkan kepalanya, sementara Pak Wawan mulai sedikit menunjukkan ekspresi wajah ketakutan. Aku ditanya Pak Jefri mengenai ruangan yang terdapat kursi di dalamnya, ia ingin aku memberi tahu letak ruangan itu, mungkin memang tidak ada apapun di bagian depan sini, tapi Pak Jefri yakin akan ada sesuatu di dalam ruangan misterius itu.     

Aku berjalan menyingkirkan debu melewati rute yang aku ingat saat mengikuti seekor tikus kemarin, saat sampai di belokan yang mengarah ke lorong dan tempat dimana ruangan itu berada, aku berhenti untuk meminta Pak Jefri berjalan di depan karena ruangan itu sudah terlihat pintunya dari ujung lorong. Saat aku berhenti dan menengok ke arah Pak Jefri dan Pak Wawan, aku melihat sosok itu lagi, sosok Bu Risma sedang tersenyum mengintip dari balik bahu Pak Wawan, dan tidak lama kemudian sosok Bu Risma menghilang lagi. Aku terkejut dan untuk sesaat tubuhku seolah kaku tidak bisa digerakkan, aku khawatir pada Pak Wawan kali ini.     

"Kenapa udin?" Kata Pak Jefri.     

"Eh, ngga pak. Itu ruangannya disana." Aku mengarahkan senterku ke pintu ruangan itu, pintu yang terletak di sebelah kanan lorong itu masih dalam kondisi tertutup.     

Pak Jefri jalan mendahului kami, disusul Pak Wawan lalu aku di paling belakang. Sama seperti ruangan sebelumnya, tidak ada yang berubah di dalam sini, tapi bagiku sendiri, hawa yang berada di dalam sini jauh lebih kelam dibanding ruangan utama, dan juga aku merasa jauh lebih menyeramkan dibanding saat aku pertama kali kesini.     

"Sebentar, pak. Ruangan itu gak dipasang kamera, karena...." Kata Pak Wawan tiba-tiba.     

"Karena apa, pak?" Balas Pak Jefri.     

"Karena... waktu saya meminta security lain buat pasang kamera di dalam ruangan ini, saya gak lihat ada satu ruangan lagi di sini." Jawab Pak Wawan.     

"Maksudnya pak?" Tanya Pak Jefri dengan wajah bingung yang sama seperti diriku.     

"Iya, waktu saya masuk ke sini bareng security lain, dan memberi tahu letak kamera harus dipasang, saya gak lihat ada ruangan di sini. Padahal saya yang meminta sendiri untuk dipasang kamera di ujung sana." Jelas Pak Wawan.     

Pak Jefri tampak bingung, namun tidak lama kemudian, dia sudah membuat keputusan. Dia tetap membuka pintu ruangan tersebut, dibantu dengan senter di tangannya, dia masuk terlebih dahulu. Pak Wawan di depanku terlihat ragu untuk sesaat, dan akhirnya ia menyusul Pak Jefri, aku juga menyusul tak lama kemudian.     

Dibantu dengan cahaya dari senter, kami menerangi sekeliling ruangan, tidak ada yang berbeda dari ruangan ini. Masih penuh dengan debu dan juga abu sisa pembakaran. Kursi kayu yang aku lihat kemarin pun masih berdiri tegak di tengah ruangan menghadap ke arah pintu. Pak Jefri dan Pak Wawan masih sibuk melihat dinding ruangan, tampaknya mereka sedang mencari sesuatu.     

Aku berjalan memutar ke bagian belakang kursinya untuk memastikan kertas yang bertuliskan 'Kamu Selanjutnya!' itu masih ada, saat aku bisa melihat bagian belakang kursinya, aku bernafas lega, ternyata kertas itu masih tertempel disana. Hanya saja tampak lebih kumuh, yang menurutku wajar saja karena sudah lebih dari dua hari terlewatkan jika dihitung dari hari pertamaku menemukan kertasnya. Aku pun berniat memanggil Pak Jefri yang masih sibuk memperhatikan dinding dan lantai di sekitar pintu.     

"Pak..." Belum selesai aku memanggil nama Pak Jefri, tiba-tiba...     

*BAM!! Satu-satunya pintu di ruangan ini terbanting dengan keras, disusul dengan munculnya suara tangisan yang sudah tidak asing lagi bagiku. Suara itu tepat berasal dari belakangku. Aku melihat Pak Wawan yang langsung berusaha membuka pintu, namun entah kenapa, dia terlihat kesulitan. Pak Jefri mengarahkan senternya ke arahku, wajahnya seketika menegang, menunjukkan ekspresi ketakutan yang teramat sangat. Aku membalikkan badanku, berusaha memberanikan diri melihat sosok yang berada di belakangku. Hingga terlihat akhirnya, sosok yang tidak pernah bosan menunjukkan dirinya kepadaku. Hantu Bu Risma, sudah muncul di balik kegelapan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.