(In)Sanity

Vol. 2 - CH. 4 - Part Three



Vol. 2 - CH. 4 - Part Three

0"Yuna…"     

"Ada banyak cara yang dapat kau lakukan untuk mengisi hati mu yang kosong dan hancur itu"     

"Semua tidak harus memerlukan kekerasan dan kesadisan mu hanya untuk mengisi hatimu yang kosong itu"     

"Kau tidak perlu membunuh untuk mengisi hatimu"     

"Kau tidak perlu menyiksa untuk mengisi hatimu"     

"Kau tidak perlu memprovokasi orang lain hanya untuk mengisi hatimu"     

"Kau tidak perlu menyakiti dirimu sendiri hanya untuk mengisi hatimu"     

"Kau tidak perlu melakukan semua hal itu hanya untuk mengisi hatimu itu"     

"Di dunia ini, ada banyak cara yang dapat kau lakukan untuk mengisi hatimu itu"     

"Kekerasan dan kesadisan bukanlah jawaban yang tepat untuk masalahmu"     

"Dulu.. Aku juga pernah seperti mu"     

"Dulu.. Aku juga lebih memilih kekerasan ketimbang apapun. Tapi... Aku harus melakukan itu untuk dan demi diriku sendiri. Untuk bertahan hidup. Di 'Tempat terkejam di dunia' dimana di tempat itu hanya yang paling kuat dan yang paling buruk lah yang dapat bertahan hidup"     

"Membunuh atau dibunuh. Aku harus membunuh agar aku tidak dibunuh. Aku harus mencuri untuk dapat makan. Aku harus bekerja untuk para Mafia, Gang, Yakuza, Bajak laut, dan bahkan pemerintah hanya untuk mencari uang untuk makan dan bertahan hidup"     

"Aku melakukan semua hal itu demi bertahan hidup. Bukan karena aku mau. Tapi karena aku harus!"     

"Berbeda dengan mu, Yuna. Kau melakukan semua tindakan itu hanya karena kau 'Mau' dan bukan karena kau ingin 'Berusaha untuk mengisi kembali hatimu yang kosong itu'"     

"Mungkin kau tidak pernah menyadarinya, tapi semua perbuatan mu selama ini itu sama sekali 'TIDAK' mengisi hatimu yang kosong itu"     

"Kau melakukan itu karena kau mau"     

"Selama ini, kau selalu mengira kalau itu berhasil mengisi hatimu yang kosong. Tapi pada nyatanya, itu sama sekali tidak melakukan apa-apa terhadap hatimu. Melainkan – Kau kecanduan"     

"Mungkin kau tidak menyadarinya dari awal dan sejak kau membunuh 'Mereka', orang pertama yang kau bunuh, tapi kau sudah menjadi candu sejak saat itu, Yuna"     

"Aku tahu, kalau 'Mereka' lah yang menyebabkan masalah dan gangguan jiwa mu ini. 'Mereka' lah yang membuat hatimu kosong dan hancur. Tapi... Kau melakukan perbuatan yang sangat 'Salah', Yuna"     

"Kau baru menyadari kalau perbuatan mu itu salah saat polisi ikut campur dalam masalah yang kau perbuat. Kau panik. Kau tidak tahu harus berbuat apa. Wajar, karena kau masih sangat kecil, tapi perbuatan mu sama sekali bukan perbuatan yang anak kecil biasa lakukan"     

"Akhirnya, disaat-saat kepanikan mu itu, kau mulai berdelusi. Kau mulai berpikir kritis tapi tanpa kesadaranmu sama sekali. Kau sama sekali tidak berpikir dengan lurus dan jernih walaupun kau mulai berpikir dengan keras. Pada akhirnya, kau tidak dapat memikirkan apapun dan akhirnya menarik kesimpulan yang salah. Kau terbawa suasana itu dan menemukan kenikmatan dari membunuh dan menyiksa"     

"Pikiran mu sudah mulai rusak sejak saat itu, Yuna"     

"Berkat itu, kau mulai mengira kalau membunuh dan menyiksa seseorang adalah salah satu cara dan jawaban yang tepat untuk mengisi hatimu yang dari dulu kosong itu"     

"Kau lama-kelamaan meyakinkan dirimu sendiri kalau menyiksa seseorang dan membunuh mereka setelahnya adalah satu-satunya cara untuk mengisi hatimu yang kosong"     

"Kau meyakinkan kepada dirimu sendiri kalau tidak ada cara lain selain itu"     

"Kau meyakinkan kepada dirimu sendiri kalau 'Itu semua bukan apa-apa dan bukan masalah besar'"     

"Kau meyakinkan dirimu sendiri kalau itu baik untuk dirimu sendiri"     

"Kau melakukan itu, meyakinkan dirimu sendiri, membodohi dirimu sendiri, berdelusi, dan menyiksa dirimu sendiri dengan pikiran seperti itu hanya untuk 'Mengisi hatimu yang kosong'"     

"Dimana semua itu adalah – Salah!"     

"Tapi, kau juga tidak bisa menyiksa dan membunuh orang begitu saja tanpa sebuah alasan yang pasti yang cukup membuatmu yakin untuk melakukan tindakan mu jadi kau melakukan berbagai macam cara agar kau dapat melakukan tindakan mu tersebut"     

"Kau mencari target. Kau berharap ada yang datang untuk menyakiti mu agar kau dapat membalas dan menarget mereka. Alasan yang kuat yang dapat kau terima adalah – 'Jika mereka mengganggu dan manyakiti mu'"     

"Kau hanya ingin menyiksa seseorang yang mengganggu dan menyakiti mu atau juga seseorang yang kebetulan lewat dan menjadi saksi dari perbuatan mu"     

"Apa yang kau pikirkan?"     

"Apa kau mengira semua itu sebagai – Balas dendam?"     

"Aku tahu kalau itu pasti jawaban yang akan kau berikan – Balas dendam"     

"Tapi.. Bagimu itu bukanlah balas dendam. Melainkan – 'Untuk mengisi hatimu yang kosong'. Karena kau berpikir seperti itu"     

"Kau berusaha memprovokasi target mu yang kau 'Benci' agar mereka mau mengganggumu dan menyakiti mu lalu kau dapat melancarkan aksi mu dengan menangkap mereka dan membawa mereka ke ruang bawah tanah rahasia mu kemudian kau dapat menyiksa mereka disana lalu membunuhnya belakangan setelah kau sudah mulai bosan dengan mereka"     

"Apa itu cukup?"     

"Tidak"     

"Apa itu berhasil mengisi hatimu yang kosong?"     

"Tidak. Buktinya kau tetap kembali menjadi bosan setelah melakukan semua tindakan mu itu, bukan"     

"Tapi kau justru melakukan itu kembali, terus-menerus, walaupun kau tahu kalau semua itu percuma dan hanya akan membuatmu kembali bosan pada akhirnya"     

"Tapi.. Kau tidak peduli dan tidak menyadari itu. Karena kau sudah dibohongi oleh kepercayaan mu sendiri sejak dari dulu"     

"Kau tahu. Tapi kau tidak peduli. Asal kau mengira kalau semua hal itu adalah benar dan dapat 'Mengisi hatimu yang kosong'"     

"Aku mengkasihani mu, Yuna"     

"Mungkin nasib kita sedikit berbeda. Mungkin kehidupan kita sedikit berbeda. Tapi perbuatan dan tindakan kita tidak jauh berbeda.. Dulu"     

"Kita membunuh"     

"Kita menyiksa"     

"Kita memprovokasi"     

"Kita melakukan banyak hal keji"     

"Itu semua untuk diri kita sendiri"     

"Tapi... Ada satu hal yang sangat berbeda dari kita berdua"     

"Yaitu adalah –"     

"-..Aku berhasil menemukan caraku sendiri untuk dapat keluar dari lubang tanpa harapan itu"     

"Aku berhasil mewujudkan impian ku"     

"Aku berhasil meninggalkan kehidupan ku yang lampau yang sangat menyedihkan itu dan memulai hidup baru yang lebih baik"     

"Dulu aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan hidupku itu. Namun, setelah berjuang dengan keras dan tanpa henti juga tidak pernah menyerah – Aku berhasil 'Bebas'"     

"Aku menemukan jawaban kalau – Kekerasan bukanlah jawaban dari segalanya"     

"Aku berjalan terus dan mengubah sudut pandangku dan pikiranku. Aku yang dulu keji dan tidak dapat mengontrol emosiku, kini berhasil mengontrol emosiku. Aku yang dulu tidak memiliki impian dan mimpi, kini memiliki impian dan mimpi. Bahkan aku sudah berhasil mewujudkan impian dan mimpiku itu"     

"Dan kau tahu apa yang terjadi, Yuna?"     

"Kehidupan ku... Menjadi lebih baik dan bermakna"     

"Kehidupanku menjadi ada artinya"     

"Kini, aku memiliki tujuan dan tugas yang lain-"     

"-..Yaitu, mendidik kalian. Murid-murid ku. Di sekolah ini. Di SMA Nishigami"     

"Dulu, aku berpikir kalau aku tidak dapat memiliki kehidupan yang berarti seperti sekarang ini. Tapi.. Aku berusaha untuk yakin terhadap diriku sendiri dan terus berusaha dimana pada akhirnya aku berhasil"     

"Dan sekarang, aku juga berusaha untuk yakin akan satu hal"     

"Yaitu kau – Yuna"     

"Aku yakin kalau kau dapat terlepas dari siksaan mu selama ini"     

"Aku yakin kalau kau dapat berhenti menyiksa dan membunuh orang lain"     

"Aku yakin kalau kau dapat meninggalkan itu semua"     

"Aku yakin kalau kau dapat berubah"     

"Dan yang paling utama itu, aku sangat yakin kalau kau dapat-"     

"-...Mengisi hatimu yang kosong itu, Yuna"     

"Aku yakin itu"     

"Untuk saat ini, kau mungkin belum yakin. Tapi, aku yakin kalau kau nanti akan yakin terhadap dirimu sendiri, Yuna"     

"Aku yakin kalau kau pasti akan menemukan jawaban yang tepat dan benar dari masalah mu itu"     

"Aku yakin kalau kau pasti akan menemukan jawaban yang tepat dan benar untuk mengisi hatimu yang kosong itu"     

"Di dunia ini ada banyak cara. Tapi.. Hanya ada satu cara dan jawaban yang paling benar dari semua itu"     

"Dari berbagai macam pertanyaan, hanya akan ada satu jawaban yang 'Benar' untuk menjawab pertanyaan itu"     

"Dari berbagai macam masalah, hanya ada satu jawaban yang 'Paling benar' untuk menyelesaikan masalah itu"     

"Mungkin memang ada banyak jawaban yang kau pikir 'Benar'. Tapi, apa benar kalau jawaban yang kau pilih itu yang 'Paling benar' dari semuanya?"     

"Kita tidak tahu tentunya karena itu adalah salah satu jawaban yang dikira 'Benar'"     

"Satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah melihat hasilnya, tentunya. Baru setelah itu kita dapat menentukan apakah jawaban yang dikira 'Benar' itu adalah yang 'Paling benar' dari semua jawaban yang ada"     

"Jika hasil akhirnya tidak seperti perkiraan, maka jawabannya adalah – 'Tidak'. 'Salah'"     

"Lalu, apa yang harus kita lakukan selanjutnya? Yaitu, mencari jawaban yang 'Paling benar' itu"     

"Kedengarannya sulit, karena kau harus mencoba terus-menerus walau harus jatuh dan gagal berkali-kali. Tapi itu adalah satu-satunya cara agar kau dapat menemukan jawaban yang 'Paling benar' itu, Yuna"     

"Saat ini, jawaban yang kau pilih untuk masalah mu itu adalah – 'Salah'"     

"Tapi, sekali lagi, aku yakin kalau kau dapat menemukan jawaban yang 'Paling benar' itu, Yuna"     

"Aku yakin, dari semua jawaban yang melimpah ini, kau dapat menemukan satu jawaban yang 'Paling benar' yang dapat membantumu menyelesaikan masalahmu itu"     

"Jika kau tidak berhasil menemukannya sendiri, maka orang lain dapat membantu mu menemukannya. Atau malahan jawaban itu akan datang sendiri kepadamu. Atau malahan – Seseorang itulah 'Jawabannya'"     

"Atau mungkin saja, Yuna.. Jawaban yang kau cari selama ini.. Sudah berada tepat di depan matamu. 'Saat ini!'"     

"Jawaban yang kau cari itu, mungkin saja sudah berada di hadapan mu 'Saat ini'"     

"Jawaban yang kau cari itu, mungkin saja bukanlah sebuah tindakan yang harus kau lakukan"     

"Jawaban yang kau cari itu, mungkin saja bukan suatu benda ataupun tujuan dan mimpi"     

"Jawaban itu mungkin dapat mengisi hati mu"     

"Jawaban apa itu?"     

"-...Yaitu adalah..."     

"Seseorang yang kau sangat cintai"     

"'Dia' mungkin... Dapat mengisi hati mu itu, Yuna"     

"Seseorang yang saat ini..."     

"Berada tepat persis..."     

"Dihadapan mu!"     

....................     

Apa yang dia lakukan disini?     

Kenapa Dokter Agase membiarkannya masuk?     

Aku sama sekali tidak menduga kalau akan ada yang datang menjenguk ku. Malahan aku tidak menduga dia akan datang.     

Malahan..     

Aku sama sekali tidak ingin dia datang!     

Kenapa dia datang?     

Apa yang kuperbuat kepadanya sampai dia datang kesini?     

Apa maunya?     

Apa dia masih kesal denganku?     

T-Tunggu...     

Tidak. Sepertinya tidak.     

Kalau dia masih kesal denganku.. Lalu..     

Kenapa dia menunduk dan meminta maaf kepadaku?!     

A-Apa yang sebenarnya terjadi?!     

T-Tidak...     

Tapi...     

Apa yang terjadi kepadanya?!     

Apa yang salah dengan Zuka?!     

Ini sama sekali bukan Zuka yang biasanya.     

Dia tidak mungkin dengan mudahnya menundukan kepalanya dan meminta maaf begitu saja kepada orang lain.     

Zuka itu seorang wanita yang kuat baik mental dan fisik. Tidak mungkin dia menundukan kepalanya dengan mudah kepadaku dan meminta maaf begitu saja kepadaku.     

Tidak.     

Pasti ada yang salah.     

Ada apa ini?     

"A-Apa maksdunya ini... Zuka?"     

Zuka sama sekali tidak membalas pertanyaanku. Dia masih tetap menundukan kepalanya. Ini membuatku sangat bingung. Semakin bingung.     

"Z-Zuka???"     

Zuka sama sekali tidak membalas.     

"E-Etoo.. E-Ehh...???"     

Zuka sama sekali tidak bereaksi. Dia tetap menundukan kepalanya kepadaku dengan tajam sampai aku sama sekali tidak dapat melihat wajahnya dari bawah sini.     

Dan juga..     

Ada hal aneh yang lainnya disini..     

Aku..     

Sama sekali tidak takut. Aku tidak ketakutan.     

Malahan aku merasa kalau aku...     

Ingin dia datang.     

Apa?     

Bukannya sebelumnya aku bilang kalau, "Aku sama sekali tidak ingin dia datang!" tapi kenapa perasaanku sekarang mengatakan yang sebaliknya?     

Bukan hanya Zuka yang aneh disini.     

Tapi...     

Aku juga!     

Aneh!     

Ini aneh!     

Tidak!     

Ini tidak biasanya juga!     

Biasanya, setiap kali aku bertemu dengan Zuka, aku selalu ketakutan. Tapi aku selalu menahan rasa takutku. Aku selalu berusaha terlihat kuat dan menahan semua rasa takutku dihadapannya agar dapat melawan tekanannya yang kuat dan memprovokasinya kalau aku sama sekali tidak takut dengannya. Dan hasilnya selalu kekalahanku dengan fisik. Dia selalu menyakitiku pada akhirnya berkat provokasiku yang berlebih. Itu memang salahku yang berusaha untuk bermain-main dengan emosi Zuka.     

Tapi sekarang...     

Aku merasa..     

Lega!     

Aku merasa kalau aku sangat ingin bertemu dengannya.     

Aku merasa kalau dia dapat membantuku dengan situasiku saat ini.     

Aku seperti ini memang berkatnya dan ini semua memang perbuatan dia. Kecuali mata kiriku. Itu perbuatanku sendiri.     

Tapi...     

Walaupun dia yang menyakitiku dan yang membuatku menjadi seperti ini sekarang ini. Aku merasa.. Kalau aku sangat ingin dia untuk datang menjenguk ku.     

Bukan karena aku ingin memprovokasinya.     

Bukan karena aku ingin menghinanya.     

Bukan karena aku ingin bermain-main dengan emosinya.     

Tapi karena aku...     

Ingin dia datang menjenguk ku!     

Aku ingin dia..     

Melihatku!     

Aku ingin dia..     

Berada tepat disampingku selagi aku seperti ini!     

Aku merasa kalau dia adalah...     

Segalanya untuk ku!     

Aku merasa kalau dia adalah jawaban yang ku butuhkan untuk masalahku saat ini.     

Aku merasa...     

Kalau-     

"Aku minta maaf"     

"E-Eh?!"     

Selagi aku berpikir dan berbicara di dalam hatiku, Zuka sekali lagi mengucapkan permintaan maafnya kepadaku.     

"A-Apa maksudnya.. Ini..?"     

"Aku minta maaf"     

Lagi, Zuka mengucapkan permintaan maafnya sekali lagi yang ketiga kalinya kepadaku.     

Aku...     

Sama sekali tidak paham     

Tidak.     

Lebih tepatnya, aku paham kenapa dia meminta maaf kepadaku.     

Dia mungkin meminta maaf kepadaku atas perbuatan dia kepadaku sampai aku seperti ini waktu itu. Ini mungkin juga sangat tidak cocok dengan sifat Zuka, meminta maaf kepada seseorang yang ia sakiti. Tidak biasanya. Dia bahkan tidak pernah meminta maaf kepada siapapun terutama kepada orang-orang yang pernah dia sakiti.     

Tapi..     

Kenapa dia meminta maaf kepadaku? Dari sekian banyak orang yang sudah pernah ia sakiti, kenapa aku?     

Bahkan ada seorang murid laki-laki yang harus masuk ke rumah sakit berkat apa yang Zuka perbuat kepadanya dan Zuka sama sekali tidak meminta maaf kepadanya. Aku sama sekali tidak terlalu paham dan mengerti mengenai kejadian itu secara pasti. Tapi untuk seorang Zuka yang Sadis dan kasar untuk meminta maaf kepada korban bullynya.. Itu sangat aneh.     

Terutama aku. Yang lebih buruk dan yang paling buruk dari semuanya. Kenapa dia meminta maaf kepadaku dari semuanya? Luka ku ini bahkan tidak seberapa ketimbang dia yang dilarikan ke rumah sakit waktu itu. Kecuali mata kiriku tentunya. Yang ini justru lebih serius.     

Lalu kenapa?     

Dan juga...     

Ada satu hal yang tidak bisa kuterima.     

Aku mungkin mulai memahami sedikit situasi ini dengan pikiranku sendiri dan dengan penilaianku sendiri. Tapi.. Ada satu hal yang paling penting yang tidak dapat ku terima begitu saja. Dan jujur...-     

Ini membuatku sedikit kesal dan kecewa.     

Apa hal yang penting itu?     

Adalah satu-     

"Heeeeh.. Jadi begitu, ya"     

Aku yang sebelumnya sangat kebingungan, kini menjadi sedikit lebih tenang dan aku rasa aku mulai berani mengungkapkan perasaan kecewaku dihadapan Zuka.     

Setelah aku mengatakan itu, aku dapat melihat pundak Zuka yang menjadi sedikit lebih ringan dari sebelumnya. Mungkin dia merasa atau mengira kalau aku sudah menerima permintaan maafnya begitu saja.     

Tapi-     

Aku kemudian melanjutkan perkataanku yang sebelumnya.     

"Hmmm.. Aku memahami sedikit apa maksudmu, Zuka"     

Pundak Zuka terlihat lebih enteng dari sebelumnya     

"Tapi...-"     

Seketika, pundak Zuka jadi terlihat mulai memberat lagi, walau sedikit, tapi itu cukup untuk mengejutkannya.     

"Apa.. Hanya ini?"     

Pertanyaan itu ku tanyakan dengan sangat tajam kepada Zuka dengan nada yang dicampur dengan rasa sedikit kecewa dan meminta lebih.     

Perkataan sekaligus pertanyaanku itu kelihatannya menusuk hati Zuka. Pundak dan tubuh Zuka terlihat kaku begitu saja dan sampai saat ini dia masih diposisi yang sama dan mempertahankan postur tubuh minta maafnya yang menunduk sangat dalam dan tajam.     

"Zuka.. Aku tahu apa tujuanmu meminta maaf. Lebih tepatnya, aku paham. Tapi.. Apa hanya ini?"     

Aku bertanya sekali lagi. Dan Zuka masih sama seperti sebelumnya. Aku rasa dia kurang memahami maksudku. Atau mungkin dia merasa terhina? Mungkin aku harus memberitahunya.     

Aku memang senang kalau dia datang menjengukku. Walaupun itu sangat aneh untuk ku. Tapi.. Aku kecewa karena dia kurang dalam "Meminta maafnya".     

"Zuka.. Bukan seperti ini caranya jika kau ingin meminta maaf" Ucapku kepadanya.     

"Eh???" Seketika, Zuka menjadi bingung.     

"A-Apa maksudmu?-"     

Akhirnya Zuka menaikan tubuh dan kepalanya untuk melihat kearahku.     

Dia sedikit terkejut melihat ekspresi wajah yang kupasang.     

Aku tidak menatapnya tajam. Aku tidak meledeknya dengan raut wajahku. Aku juga tidak menertawainya. Melainkan aku.. Memasang wajah sedikit cemberut yang menggambarkan ketidakpuasanku dan kekecewaanku kepadanya.     

"Y-Yuna..???" Tanyanya dengan bingung setelah melihat raut wajahku.     

"Apa hanya begini caramu meminta maaf?" Tanyaku sekali lagi memastikan.     

"I-Itu..." Zuka kelihatan sangat bingung.     

"Apa tidak pernah ada yang mengajarimu cara meminta maaf sebelumnya?"     

"E-Ehh.. I-Ituuu..."     

"TIDAK!" Aku berteriak kepadanya begitu saja.     

"EH?!"     

"Bukan begitu caranya kau meminta maaf!"     

"E-Ehhh?? A-Apa?"     

"Kau tidak bisa datang begitu saja dan meminta maaf begitu saja kepada seseorang dan mengucapkannya berkali-kali sampai dia menerima permintaan maaf mu! Itu salah dan tidak benar! Lebih tepatnya – KURANG!"     

"K-Kurang???"     

"Kalau kau ingin meminta maaf, maka meminta maaflah dengan benar dan dari dalam hatimu sepenuhnya dengan cara mengatakan kepada orang itu kamu meminta maaf karena apa, akan masalah apa, dan setidaknya bertanya apa yang bisa atau dapat kau lakukan agar mereka mau memaafi mu! Kau paham?!"     

"E-Eeeehhh... E-Etooo.. Ummm?? Y-Ya.. Aku rasa... Mungkin(?)"     

"Bagus kalau kau sudah sedikit paham!"     

"Y-Ya...(?)"     

Tanpa kusadari.. Apa aku baru saja mengomeli Zuka?     

"EH!?" Aku langsung menyadari akan hal itu.     

Aku.. Baru saja mengomeli Zuka dan mengajarinya cara meminta maaf kepadanya tanpa kusadari.     

Apa?!     

Kenapa aku melakukan itu?     

Aku dan Zuka bahkan tidak memiliki hubungan yang baik. Lalu kenapa aku malah mengomelinya seperti kita seorang teman dan kenapa aku malah mengajarinya cara meminta maaf. Ditambah lagi...-     

Kenapa aku cemberut dihadapannya?!     

Kenapa aku memasang raut wajah cemberut yang terlihat sedikit kecewa ini?     

Kenapa aku malah bersifat dan bertingkah ramah dihadapannya?     

Kenapa aku malah...     

Merasa tenang dan nyaman didekatnya?     

Seolah-olah kami berdua ini..     

Seperti seorang teman yang sudah sangat dekat.     

Tidak.     

Tidak, tidak, tidak!     

Kenapa jadi seperti ini?!     

Ada apa ini?!     

Perasaan apa ini yang menggangguku dari tadi?!     

Perlahan demi perlahan.. Aku merasakan kalau ada sesuatu yang masuk kedalam diriku. Kedalam dadaku. Seperti ada sesuatu yang...-     

Mengisiku!     

Dan sekarang, setelah menyadari akan hal ini, aku berusaha untuk melihat kearah Zuka yang kini sudah berdiri dengan tegak. Aku takut kalau dia akan marah dan tidak senang atas omelanku yang 'sok ramah dan seolah-olah kita sudah saling kenal' kepadanya.     

Aku menengokan kepalaku kearahnya. Yang dapatku lihat dari wajahnya adalah...     

Kebingungan.     

Tentu saja dia bingung. Maksudku, aku baru saja mengomelinya. Dia pasti tidak terima. Apa dia tidak terima?     

Kalau memang begitu..     

Maka ini gawat.     

Aku mulai merasa takut. Takut kalau Zuka sama sekali tidak senang akan kelakuanku sebelumnya. Aku harus segera melakukan sesuatu. Apa aku harus meminta maaf juga? Mungkin itu satu-satunya cara agar dia tidak marah kepadaku.     

"A-A-Aku... I-Itu bukan maksudku.. M-Maksud ku.. I-Itu... A-Aku tidak bermaksud mengomeli dan mengajarimu.. A-Aku hanya... I-Itu hanya cara meminta maaf yang Dokter Agase ajarkan kepadaku.. I-Itu...-"     

Gawat!     

Aku sama sekali tidak tahu harus berkata apa!     

Aku terlalu takut dan panik!     

Nada dan suaraku bergemetar!     

Aku ketakutan!     

Aku benar-benar tidak bermaksud untuk mengomelinya dan mengajarinya akan suatu hal. Aku sama sekali tidak sadar kalau aku baru saja melakukan itu.     

Bagaimana ini?     

A-Apa dia tidak senang?-     

Ditengah-tengah kepanikanku sendiri, aku mencoba melirik kearah Zuka dan...-     

Aku terkejut kalau dia ternyata... Menerima omelan dan ajaranku itu.     

"Umu umu~ Begitu, ya. Jadi aku tidak boleh asal langsung meminta maaf begitu saja, ya.. Hmm.. Jadi aku harus mengatakan kepadamu terlebih dahulu kalau akau meminta maaf karena apa, akan masalah apa, dan aku harus apa agar kau dapat dan ingin memaafkan ku, ya. OK! Sepertinya aku mulai sedikit paham sekarang!~"     

KAU PAHAM!?     

Tunggu dulu!     

APA KAU TIDAK MARAH SAMA SEKALI!?     

ADA APA INI!?     

"Ok. Maaf sebelumnya. Boleh aku ulangi?"     

"Eh?"     

Dia ini... Kenapa?     

Kenapa malah meminta izin dariku hanya untuk meminta maaf ulang?     

"Kalau begitu. Ehem...-"     

Zuka mulai menundukan kepalanya dengan tajam sekali lagi dan mulai meminta maaf kepadaku sekali lagi. Dan kali ini dia melakukannya persis seperti saran atau ajaranku sebelumnya.     

"-..Aku minta maaf karena telah menyakiti dan menyiksa mu saat itu. Perbuatan dan tindakanku sangat tidak perlu dan sangat kasar. Itu semua berkat emosi tidak jelasku berkat melihat mu tersenyum disaat pengumuman kematian Himawari. Tolong maafkan perbuatanku. Aku akan melakukan apapun agar kau ingin memaafkan ku. Apa saja! Sekali lagi – Aku minta maaf, Yuna"     

"....."     

Suasana disekitar kita justru.. Menjadi sangat sunyi. Dan canggung.     

Tidak ku sangka kalau dia akan mengucapkan semuanya dalam satu paragraf permintaan maafnya. Atau mungkin kalimat? Lupakan itu.     

Dia mengucapkan semuanya. Mulai dari dia meminta maaf karena apa. Perbuatan dan tindakan apa yang dia lakukan terhadap ku. Dan juga alasan kenapa dia menyakitiku pada waktu itu. Diakhir dia juga mengucapkan apa yang biasanya orang lain katakan agar mereka dapat dimaafkan.     

Ini... Sudah lumayan sempurna.     

Un. Ya. Ini baru dapat kuterima. Yang kali ini justru sangat jelas kenapa dia meminta maaf.     

Tapi...     

Aku jadi sedikit merasa bersalah.     

"Melihatku tersenyum disaat pengumuman kematian Himawari, ya..."     

Pada saat itu, aku tersenyum karena memang sudah masalah mentalku untuk tersenyum disetiap saat dimanapun dan kapanpun apapun dan bagaimanapun situaasinya. Aku rasa aku tidak dapat melalakukan banyak hal akan hal ini. Aku sudah seperti ini sejak dari dulu. Tersenyum dan tertawa tidak jelas dimanapun dan kapanpun dikondisi dan situasi apapun. Mungkin sudah sejak aku lahir.     

Kematian Himawari.. Memang 100% perbuatanku dan memang akulah yang membunuhnya. Tapi.. Aku sama sekali tidak tersenyum berkat perbuatanku. Aku sama sekali tidak tersenyum karena senang telah membunuh Himawari. Aku memang menikmati waktu-waktuku dalam menyiksanya dan membunuhnya. Tapi aku tidak pernah menertawai semua orang yang sudah kubunuh. Karena jika aku membunuh mereka, maka itu karena aku sudah bosan dengan mereka. Dan kalau aku sudah bosan dengan mereka dan membunuh mereka karena bosan, maka tidak ada artinya untuk menertawai mereka. Karena mereka sudah sangat membosankan jadi tidak dapat membuatku tersenyum dan tertawa.     

Mengetahui kalau Zuka marah dan kesal kepadaku saat itu berkat pengumuman kematian Himawari ini.. Membuatku sedikit merasa.. Bersalah. Walau memang aku lah yang membunuh Himawari dan aku sama sekali tidak memiliki rasa bersalah dalam menyiksa dan membunuhnya waktu itu.     

Aku sekarang justru... Tidak tahu harus berkata apa untuk membalas Zuka.     

Tapi...     

Aku kembali merasa ada yang kurang.     

Aku...     

Masih mau lebih dari ini!     

Ini...     

MASIH KURANG!     

Apa...-     

"Apa.. Hanya itu?"     

".....?"     

"Apa.. Kau hanya ingin meminta maaf akan hal itu saja?"     

"!? Y-Yuna!?" Kelihatannya Zuka menyadarinya.     

"Apa.. Hanya karena 'Satu' masalah itu saja?"     

"...."     

Zuka membeku. Dia menjadi sangat kaku. Kelihatannya dia tahu apa maksudku.     

Yaitu - Kesalahan dia selama ini.     

Aku, yang sebelumnya cemberut, lalu ketakutan, kini merasa jengkel dan sangat kecewa. Emosi ku pada saat ini.. Sedang dipermainkan. Oleh diriku sendiri. Aku.. Sama sekali tidak dapat mengontrol emosiku saat ini. Aku hanya dapat membiarkan emosiku mengalir begitu saja dan yang bisa aku lakukan saat ini hanyalah mengikuti emosiku yang sedang mengalir ini.     

Aku mengeraskan gigiku dan memasang raut dan ekspresi wajah yang sangat kecewa dan tidak terima.     

Tidak!     

Tidak!     

TIDAK!     

Bukan hanya karena satu masalah ini saja dia harus meminta maaf!     

TIDAK!     

Masih ada lebih banyak dari ini!     

Memang kebanyakan masalah itu aku yang perbuat dengan provokasiku. Tapi.. Sisanya.. Dia sendiri yang membully ku tanpa provokasi dariku. Dia sendiri yang melakukannya.     

TIDAK!     

Aku masih tidak dapat menerima satu permintaan maaf saja!     

Aku tidak terima ini!     

Aku mau lebih dari satu permintaan maaf! Dari Zuka!     

"Zuka!"     

"..."     

"Yang... Benar... Saja!"     

Aku memaksa tubuhku yang terbaring lemah dan lemas diatas kasur ini untuk bergerak. Aku mencoba sekuat tenagaku untuk mengangkatnya.     

Aku menggerakan tanganku dan memegang pundak Zuka. Zuka tahu kalau aku ingin berusaha untuk mengatakan sesuatu kepadanya. Dia mulai melihat kearahku dan dia dapat melihat raut wajahku yang kesal dan kecewa.     

Zuka hanya dapat terdiam saja. Dia terlihat seperti kecewa dengan dirinya sendiri.     

Setelah dia melihat lurus ke arah wajahku, aku melanjutkan perkataanku kepadanya.     

"Yang benar saja, Zuka! Apa hanya ini?! Apa hanya karena masalah itu kau meminta maaf kepadaku!? Apa hanya karena satu masalah itu saja?! Apa hanya karena itu saja!?"     

Zuka masih terdiam.     

Aku masih merasa sangat tidak senang dan sangat kecewa. Aku tidak dapat menerimanya begitu saja.     

"Kau tahu kalau tidak hanya satu masalah itu saja, bukan!?"     

Zuka masih terdiam.     

Dia yang tidak mau menjawab justru membuatku sangat kesal dan menambah rasa kecewaku.     

"Jangan main-main denganku, Zuka! Jangan menganggapku remeh! Jangan kira kelemehanku ini dapat kau manfaatkan begitu saja! Tubuhku mungkin lemah! Tapi mentalku tidak! (Mungkin). Apa kau kira satu masalah dan satu permintaan maaf akan satu masalah itu saja dapat membuatku memaafkan mu atas segala perbuatan yang telah kau perbuat kepadaku selama ini! Aku tahu kalau kau hanya ingin meminta maaf kepadaku akan masalah waktu itu. TAPI! Kau juga harus tahu dan ingat...-"     

"-...Masalah mu kepadaku itu... Lebih dari satu!"     

Mendengar itu, Zuka hanya dapat menutup matanya dalam sekejap merasa sangat bersalah dan kecewa terhadap dirinya sendiri.     

"Apa kau dapat menghitung seberapa banyak dan berapa kali kau menyakitiku?! Apa kau tahu sebarapa menyakitkannya itu setiap kali kau menyakitiku?!"     

"Kau mematahkan tangan dan jari-jariku berkali-kali hanya dengan sekali injakan mu ke tanganku! Kau membuatku memuntahkan seluruh isi perutku berkali-kali hanya dalam sekali pukulan ke perut ku! Kau membuatku harus mengenakan perban di wajahku berkat tamparanmu yang kuat! Bahkan hanya dengan satu tamparan itu saja sudah sangat cukup untuk melukaiku dan membuatku berdarah! Tubuhku ini.. Sangat lemah, Zuka!"     

"Dan juga.. Tubuhku ini sangat kecil! Kau dapat menerbangkanku seenak mu hanya dalam sekali lemparan dan hanya dengan satu tangan! Kau mendorongku dengan sangat kuat maka aku akan terpental sangat jauh! Bahkan kau dapat mematahkan seluruh tulangku, merusak seluruh organ dalamku, merusak tubuhku, atau membunuhku hanya dalam 5 serangan jika kau mau! Apa kau tahu seberapa menyakitkannya itu, Zuka!?"     

Zuka menundukan kepalanya merasa sangat bersalah.     

Aku.. Menjadi semakin kesal.     

"APA KAU TAHU PERASAAN ITU, ZUKA!?"     

"APA KAU TAHU SEBARAPA SAKITNYA HASIL SIKSAANMU KEPADAKU!?"     

"APA KAU PIKIR AKU AKAN DENGAN MUDAHNYA MEMAAFKAN SEMUA HAL ITU BEGITU SAJA, ZUKA!?"     

"KATAKAN KEPADAKU, ZUKA! KENAPA KAU MELAKUKAN SEMUA HAL ITU KEPADAKU!? APA PERBUATANKU KEPADAMU SAMPAI-SAMPAI KAU MELAKUKAN SEMUA HAL ITU KEPADAKU!?"     

Aku bertanya seperti itu kepada Zuka. Dan Zuka.. Sepertinya memiliki jawabannya.     

Dia mengangkat kepalanya, lalu memberitahu kepadaku.. Semuanya.     

"Aku...." Zuka mulai berbicara.     

Dia memberitahu alasan kenapa dia menyakitiku. Dia memberitahu perjanjian dia dengan kepala sekolah dan para guru. Dia berjanji ingin melindungiku dari para pembully yang lain. Dan dia berasalasan kalau dengan cara jika hanya dia yang menyakitiku terus-menerus, akan membuat para pembully yang lain tidak akan membully ku. Jujur.. Itu memang berhasil. Hampir tidak ada pembully yang biasanya membully ku yang datang untuk membully ku. Tapi.. Zuka yang membully ku itu.. Sangatlah menyakitkan dan sangat menyiksaku. Rasanya aku dapat mati kapan saja jika Zuka yang menyakitiku.     

Itu semua.. Adalah alasan kenapa dia menyakiti ku.     

Semua alasan ini...     

Sangat tidak masuk akal!     

Dan hanya membuatku semakin kesal!     

Seenaknya saja dia!     

"...Yang benar saja!"     

Aku menarik kerah bajunya dan mendekatkan wajah kita berdua dan memaksa mata kita berdua untuk saling bertemu dan menatap satu sama lain.     

"'Perjanjian?', 'Melindungiku?'. Melindungiku dari apa?! Dari para pembully?! Untuk apa kau melindungiku dari para pembully kalau pada akhirnya kau lah yang membully ku dan yang menyakiti ku!? Jangan bodoh, Zuka!"     

"Ini sama saja menjadi satu-satunya alasan dan caramu hanya untuk dapat menyakitiku setiap harinya!"     

"Apa yang kau pikirkan!?"     

Zuka berusaha untuk menutup matanya dan menundukan kepalanya, tapi.. Aku tidak membiarkan itu.     

Aku menarik kerahnya dengan kuat sekali lagi dan memaksanya untuk menatapku lagi.     

Aku kemudian berteriak kearahnya-     

"KENAPA KAU MELAKUKAN ITU!?"     

"APA KAU PIKIR JIKA KAU YANG MENYAKITIKU MAKA AKU AKAN BAIK-BAIK SAJA!? TENTU SAJA – TIDAK!"     

"DISAKITI OLEH MU ITU ADALAH YANG TERBURUK DARI SEMUANYA!"     

"KAU SANGAT KASAR DAN YANG PALING KASAR DARI SEMUANYA!"     

"SETIAP KALI KAU MENYAKITIKU, RASANYA AKU DAPAT TERBUNUH!"     

"APA BENAR ITU ADALAH CARAMU UNTUK MELINDUNGIKU!?"     

"BENAR-BENAR SANGAT TIDAK MASUK AKAL!"     

"Jika seperti ini.. Aku lebih memilih orang lain yang membully ku dan menyakiti ku ketimbang kamu yang menyakiti ku!"     

Disaat aku berkata seperti itu, Zuka langsung bereaksi tidak terima dan membantahnya.     

"TIDAK BOLEH!" Teriaknya kepadaku.     

"....."     

Aku langsung terdiam.     

Apa segitunya dia ingin menyakiti ku?     

"Hooo.. Apa sebegitu besarnya kau ingin menyakiti ku?"     

"TIDAK! BUKAN BEGITU!" Zuka berteriak sekali lagi membantah pernyataanku.     

"...Hooo... Begitu, ya..."     

Zuka kembali terdiam, tapi raut wajahnya terlihat sangat bersikeras.     

Sepertinya.. Aku mulai paham sekarang kenapa.     

Sepertinya.. Masih ada alasan lain kenapa dia ingin menyakiti ku.     

Sudah kuduga.     

Aku tahu...     

Aku tahu...     

Aku tahu kalau pasti masih ada satu alasan lain kenapa dia ingin menyakitiku selain alasan-alasan sebelumnya.     

Sekarang, aku hanya harus...     

Menguaknya!     

"Lalu... Apa alasan yang sebenarnya, Zuka?"     

Aku mulai melepaskan genggamanku yang menggenggam dan menarik kerahnya.     

Aku menatap matanya dengan satu mataku. Dia juga menatap balik tatapanku dengan kedua matanya. Dia melihat dan menatapku tajam. Sangat tajam.     

"Lalu apa, Zuka? Kenapa? Apa alasan yang sebenarnya?"     

Zuka masih belum menjawab.     

"Katakan kepadaku! Katakan kepadaku alasanmu yang sesungguhnya, Zuka!"     

Kami berdua masih saling menatap satu sama lain.     

Tidak lama kemudian, Zuka menarik nafasnya dalam.     

Dia kemudian... Mengatakan alasannya yang sebenarnya kepadaku.     

Lebih tepatnya dia...     

Menyatakan perasaannya yang sesungguhnya kepadaku.     

"Itu karena aku.. Menyukaimu.. Yuna"     

"...."     

"...."     

"...."     

"...."     

"...."     

"...."     

"EH?!"     

A-APA?!     

A-APA YANG BARU SAJA DIA KATAKAN?!"     

A-APA-APAAN ITU TADI?!     

KENAPA DIA MENGATAKAN ITU?!     

Apa maksudnya itu?     

Apa maksdunya itu barusan?     

"....A-Apa maksudnya itu... Zuka?"     

"Apa aku harus mengatakannya lagi?-"     

"-..Aku menyukaimu... Yuna"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.