JURAGAN ARJUNA

BAB 84



BAB 84

0"Sudah satu semester Manis menjalani masa kuliah, dan selama itu Biung, dan Romo benar-benar penasaran dengan hubungan kalian. Kami pikir, dulu, sebelum Manis kembali ke Jakarta kamu akan meminangnya. Namun nyatanya, kamu diam saja. Seolah ndhak ada apa-apa. Arjuna, kamu tahu, bagi seorang perempuan ndhak diberi kepastian adalah perkara yang paling menyakitkan."     

"Bukankah sebelum Manis kembali ke Jakarta Arjuna beberapa kali meminta perkara ini untuk Romo, dan Biung? Arjuna meminta untuk dipinangkan dengan Manis dengan ikatan yang jelas, dan pasti. Yaitu ikatan perkawinan. Tapi, Biung, dan Romo malah menolak mentah-mentah. Dengan dalih jika gunjingan warga Kampung membuat kondisi batin Manis mungkin agaknya terguncang. Jadi, aku ndhak berani memaksa lagi. Aku hanya bisa menunggu. Menunggu kapan waktu yang tepat itu datang, menunggu kapan Manis benar-benar siap untuk kupinang."     

"Lantas, enam bulan bukankah sudah terlalu lama untuk menunggu, Arjuna? Biung dulu bilang begitu, karena hanya meredakan dari omongan warga Kampung saja. Dan itu ndhak lebih dari sekadar satu, atau dua bulan. Tapi kamu sepertinya kebablasan. Nanti Manis digondol orang baru tahu rasa, lho, kamu," sindir Biung kemudian.     

Lagi aku terdiam mendengar ucapan Biung seperti itu. Memang benar adanya seperti itu, meski sampai detik ini Manis tampak ndhak keberatan dengan diamku. Hanya saja sejatinya, ada alasan lain kenapa aku diam. Kenapa aku mencoba menahan meski hati ini ingin segera bersama dengan Manis. Ini bukan hanya tentangku, tentang keegoisanku, tanpa memikirkan orang-orang di sekelilingku. Aku ndhak mau salah langkah, aku ndhak mau membuat semua orang terkena dampak buruk, hanya karenaku.     

"Aku hanya membutuhkan waktu, agar semua yang ada di sini menjadi kembali seperti semula, Biung...," jawabku pada akhirnya. Biung tampak mengerutkan keningnya, aku tahu jika dia tampaknya masih belum paham. "Akhir-akhir ini, terlebih setelah peristiwa meninggalnya Minto, hal-hal yang menimpa Manis, pun dengan keluarga kita, bukanlah perkara yang baik dan benar. Bahkan, banyak warga kampung yang menjadikan ini bahan gunjingan, martabat Biung sebagai seorang Ndoro Putri, dan Romo sebagai Juragan Besar berkali-kali telah tercoreng karena ulahku. Terlebih, dengan status Manis. Dia menjadi janda dengan cara yang sangat luar biasa. Tentu, semuanya menjadi bumbu paling dahsyat bagi warga kampung untuk mengucilkan, meremuk-redamkan hati Manis sampai ndhak bersisa. Ini bukan tentang aku, karena sejatinya aku ndhak pernah memedulikan perkara itu,"     

"Bukankah itu yang Biung katakan kepadamu waktu itu? Lantas sekarang setelah sekian lama, kenapa kamu baru memikirkannya? Kenapa kamu baru mempermasalahkannya, toh, Arjuna."     

"Tunggulah penjelasanku sampai selesai dulu, Biung," kubilang kepada Biung. Aku pun melangkah, mendekat ke arah dipan yang ada di bawah pohon mangga, kemudian duduk. "Tapi aku juga ndhak boleh egois, Biung, dengan mekasa Manis segera berada di sisiku, meminangnya dengan bangganya, itu sama saja aku telah menghancurkan martabatnya sebagai perempuan lagi, dan lagi. Oleh sebab itu, meski hatiku meronta, hasratku terus menolak, tapi aku masih diam, menunggu waktu menghapus kenangan buruk yang telah tercipta, dan menghilangkan gunjingan warga kepada Manis, agar seendhaknya, kehormatannya bisa kembali lagi. Sebagai perempuan ayu yang berpendidikan yang mampu berdiri kokoh meski ia sendirian. Membutuhkan waktu cukup lama, memang. Namun menurutku itu perkara yang ndhak masalah. Jikalau aku terburu, takutnya borok yang baru saja kering itu akan mengeluarkan nanahnya lagi. Dan yang ada, lukanya ndhak akan sembuh malah semakin mendalam. Itu, kan, ndhak bagus, Biung."     

Mendengar jawaban panjang lebarku itu, Biung lantas ndhak menanggapi ucapanku. Dia sibuk merangkai bunga-bunga melatinya yang baru saja ia petik lagi. selain bunga-bunga yang ia selipkan di antara sanggulnya tadi, hingga memanjang pada seutas benang. Kemudian diikat jadi satu, dan dililitkan disanggulnya. Tampak semakin anggun, dengan aroma wangi yang semerbak menusuk hidung. Ciri khas dari perempuan kampung tatkala melihat bunga melati, selalu dirangkai dan dibuat hiasan kepala. Jadi sanggulnya kini penuh dengan bunga melati. Aku jadi sedikit ngeri, jikalau Biung berjalan di malam hari. Pasti penduduk kampung takut, karena wangi Biung dari melatinya yang begitu kentara. Pasti dipikir, jika Biung adalah salah satu dari lelembut Gunung Lawu, atau Candi-Candi di sekitar sini yang sedang jalan-jalan.     

"Rupanya putraku sudah besar...," katanya pada akhirnya. "Bisa berpikir sejauh itu, adalah hal yang sangat luar biasa, Arjuna."     

Aku tersenyum mendengar ucapan dari Biung, sudah besar? Benar, aku memang sudah besar. Bahkan kurasa besar bukanlah kata yang pas untukku saat ini. Tubuhku memang sudah besar, usiaku bahkan lebih dari cukup untuk membina rumah tangga. Tapi, pengalaman hidupku sangat kecil. Mungkin karena sedari kecil aku terlalu diperlakukan hati-hati dan istimewa oleh orangtuaku. Meski aku jauh dari orangtuaku.     

"Tapi, aku ndhak seluar biasa Romo Nathan yang mampu memendam perasaannya dalam diam, dan membiarkan kangmasnya menikahi perempuan yang ia cintai,"     

Mendengar hal itu Biung tampak kaget bukan main, matanya melebar, dengan berkaca-kaca. Apa aku salah ucap? Apakah ucapanku itu menyinggung hati Biung karena telah membawa-bawa dan membandingkan dengan Romo Adrian? Duh Gusti, kenapa dengan mulut ini? Bagaimana bisa dia dengan lancang mengatakan hal yang sudah menjadi perjanjianku dengan Romo Nathan adalah hal rahasia!     

"Biung, maaf—"     

"Biung ndhak pernah tahu ini, lho. Tahu dari mana, kamu?" katanya kemudian, dengan mimik wajah yang lebih luwes dari tadi. "Romo Nathan memendam perasaannya dalam diam pada Biung? Duh, benar-benar ndhak mungkin! Romomu itu, ya, adalah laki-laki yang bermulut paling pedas, dan menyebalkan sedari awal yang pernah Biung temui. Percayalah, Arjuna."     

"Dari Romo Nathan. Romo telah melihat Biung tatkala Biung masih kecil dulu, Biung yang sedang mencuri singkong di kebun tetangga, dan Romo Nathan yang membantu Biung," kujelaskan itu kepada Biung.     

Dan Biung tampak terdiam sejenak, seolah dia berusaha untuk mengingat-ingat memorinya yang sempat ia lalui terdahulu. Kemudian dia terdiam sejenak, sambil memejamkan matanya rapat-rapat. Senyuman itu tersungging dari kedua sudut bibirnya, untuk kemudian Biung tampak membuka mata. Matanya tampak nanar, Biung tampak menyeka butiran bening yang lolos dari ujung matanya. Apakah Biung mengingat kejadian itu? Apakah Biung benar-benar telah mengingatnya? Jadi, apakah memori yang diingat Biung adalah memori yang sangat mengesankan, dan berharga sampai Biung sangat terharu dibuatnya? Duh Gusti, kenapa aku begitu iri, melihat ikatan batin antara Biung, dan Romo Nathan. Aku ingin menjadi seperti mereka. Yang cintanya benar-benar kekal dan abadi sepanjang masa.     

"Entahlah, Biung ndhak ingat...," jawab Biung yang entah kenapa, hatiku terasa aneh mendengar hal itu. Entah kenapa aku merasa, hal yang begitu disimpan Romo Nathan dengan begitu indah, hal yang bagi Romo Nathan adalah hal terpenting. Tapi bagi Biung, hal itu bukanlah apa-apa, hal itu ndhak ada artinya. Atau bahkan, Biung hanya berpura-pura, untuk menutupi perasaan yang sebenarnya kepada Romo Nathan. Seperti apa yang dikatakan oleh Romo Nathan sebelumnya, jika Biung adalah perempuan yang paling ndhak peka di seluruh dunia. "Dengarkan Biung, Arjuna... setiap cinta itu memiliki masanya masing-masing, mereka memiliki tempat tersendiri tanpa harus dicampur adukkan dengan begitu rumit. Andai pun dulu, aku sadar jika pertemuan pertamaku dengan Romo Nathanmu pun, berkali-kali diubah, maka Biung akan tetap jatuh hati dengan Romo Adrianmu, bagaimanapun itu caranya, dengan caranya sendiri. Sebab dulu, bagi Biung, memiliki laki-laki yang bukan hanya menjadi pasangan hidup tapi bisa juga menjadi sosok Romo adalah hal terpenting di atas segalanya. Dan Romomu Adrian telah membuktikan itu kepada Biung, ndhak akan pernah Biung menyesal atau menyayangkan kenapa dulu Biung ndhak langsung saja dengan Romo Nathan agar semua kepedihan dulu ndhak terjadi. Sebab bagi Biung, sesulit apa pun, meski Biung tahu hal itu akan Biung lewati berkali-kali, meski Biung tahu akhirnya akan sehancur waktu itu, Biung tetap akan menjalaninya lagi, dan lagi. Kamu tahu kenapa?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.