JURAGAN ARJUNA

BAB 215



BAB 215

0"Biar bagaimanapun, aku mengandung anakmu. Itu adalah sebuah fakta, Arjuna. Jadi, berhentilah bertingkah jika apa yang terjadi ini karena semua kesalahanku. Sebab, adanya sebuah hubungan terjadi itu antara dua orang. Bukan hanya karena seorang,"     

Aku tersenyum mendengar hal itu, Manis yang tangannya sedang kugenggam pun seolah ingin melepaskan genggamanku, tapi aku ndhak akan melakukan sesuai keinginannya. Siapa peduli, aku harus bersikap sedikit egois kali ini.     

"Lepaskan tanganku," katanya, dengan nada yang terdengar sangat ketus itu.     

"Ndhak mau, kamu istriku. Aku ndhak mau melepaskanmu," jawabku mantab.     

Manis langsung memiringkan wajahnya, kemudian menyuruh Ningrum untuk masuk ke dalam kamar terlebih dahulu.     

"Ayo kita masuk ke dalam kamar," ajakku kemudian, tapi kedua kakinya benar-benar berhenti dan ndhak bergerak seincipun.     

"Aku mau tidur dengan Rianti," jawabnya yang masih dengan nada dinginnya itu.     

Dan benar saja mendengar ucapan dingin dari Manis membuat Widuri terbahak. Seolah, pertikaianku dengan istriku adalah hal yang sangat menyenangkan untuknya.     

"Benar-benar istri yang tidak berguna sama sekali. Tidak mau melayani suaminya. Pantaslah kalau suaminya jajan di luar. Padahal aku bisa melayaninya kapan pun dia mau, dan sebanyak apa pun yang dia inginkan. Sementara kamu?"     

"Memuaskan laki-laki dengan cara main dukun saja kok bangga, ck! Benar-benar anak dukun kamu,"     

Widuri langsung terdiam mendengar ucapanku itu, rahangnya benar-benar tampak mengeras. Aku yakin dia mau marah, tapi dia terus berusaha untuk menahannya. Aku hanya penasaran, mau sampai kapan dia bertahan di sini. Jujur, bukannya aku ndhak mau bertanggung jawab atasnya, terlebih dia telah mengandung anakku. Seandainya saja aku melakukan itu atas dasar suka sama suka atau khilafnya seorang laki-laki karena nafsunya mungkin aku akan berbaik hati. Tapi sungguh, ilmu guna-guna dan lain sebagainya bena-benar membuatku murka. Sebab, dia ndhak hanya membuatku tergila-gila kepadanya sampai melakukan hal di luar batas, akan tetapi dia juga yang membuatku telah melupakan dan bahkan membenci istriku sendiri. Dan aku benar-benar ndhak bisa memaafkan hal seperti itu.     

"Sudah kubilang aku mau tidur di kamar Rianti!" marah Manis karena aku mencoba untuk menariknya lagi. Ndhak maukah untuk sekarang dia bersikap manis di depan perempuan itu? Ndhak maukah sekarang dia pura-pura ndhak ada masalah denganku? Agar seendhaknya ndhak memberi kesempatan sekecil apa pun bagi perempuan sialan itu untuk terus membuat pertikaian di antara kami. Jika dia mau marah silakan, sebab aku tahu aku salah di sini. Tapi, ndhak bisakah dia marah di dalam kamar saja?     

"Ayo masuk kamar."     

"Ndhak," kerasa kepalanya.     

"Masuk dengan kakimu sendiri atau aku yang harus menggendongmu, Manis,"     

Mendengar ucapanku itu, Manis memandangku dengan tatapan garangnya. Tapi, dia ndhak mengatakan apa-apa selain menatapku dengan tatapan bencinya itu.     

Lagi, aku mencoba untuk mengajaknya kembali ke kamar. Tapi lagi-lagi, sepasang kakui kecil itu enggan untuk beranjak dari tempatnya. Dan dengan sekali gerakan, aku langsung membopong tubuhnya untuk kubawa ke kamar. Ndhak peduli jika wajahku ini ditampar, dan cubiti olehnya, ndhak peduli jika kepala dan rambutku terus dijambak, dan dipukuli olehnya. Sebab aku cinta, seberapa banyak dia menyakitiku pun aku rela.     

"Sudah kubilang aku ndhak mau disentuh oleh kamu, aku ndhak mau bicara sama kamu, dan aku ndhak mau dekat-dekat dengan kamu. Apa kamu ndhak paham tentang ucapanku itu? Apa kamu ndhak paham jika aku benar-benar sangat jijik dengan kamu, Arjuna!" marahnya, setelah kami sudah berada di kamar.     

Aku diam memandang wajah manisnya yang tampak emosi itu, tapi kemudian, kutarik belakang kepalanya dan kulumat bibirnya. Manis terus meronta, berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan ciumanku, tapi aku ndhak peduli. Bahkan dia terus menggigit bibirku sampai berdarah pun aku ndhak peduli, sampai pada akhirnya, dia menendang burungku. Dan itu berhasil membuatku melepaskan ciumanku padanya.     

"Dasar laki-laki ndhak tahu diri, kamu! Aku ndhak mau dicium oleh bibir yang telah mencium banyak perempuan! Bibir kotormu itu benar-benar ndhak pantas menyentuh bibirku!" marahnya lagi.     

Untuk kemudian dia terdiam, melihat bibirku berdarah. Aku sama sekali ndhak tahu, kenapa dia diam. Apa dia merasa bersalah karena telah melukaiku? Ataukah dia merasa puas karena telah melukaiku?     

Yang jelas aku merasa... sakit, hatiku benar-benar sakit. Kuusap dengan kasar darah yang terus keluar dari bibirku dengan lenganku, mataku terasa panas melihat amarah dari Manisku kini. Aku masih teringat dengan ucapan Romo Adrian, jika aku harus lebih berani kepada Manis untuk menyelamatkan pernikahanku. Tapi aku benar-benar ndhak menyangka, jika sikap beraniku malah berdampak seperti ini dengannya.     

"Aku tahu aku salah, aku tahu aku telah menodai kesucian pernikahan kita. Aku tahu aku memang seorang suami yang benar-benar ndhak pantas untuk dijadikan panutan oleh siapa pun. Tapi, ndhak adakah satu saja kesempatan untukku memperbaiki semua ini, Manis? Aku mencintaimu, aku sangat sangat mencintaimu. Beritahu aku apa yang harus kulakukan agar kamu bisa memaafkanku, dan hubungan kita bisa kembali harmonis seperti dulu."     

"Jika kamu bisa mengulang waktu, dan menghilangkan kisah menyenangkanmu itu dengan Widuri, maka aku akan memaafkanmu," sindirnya kemudian.     

Dia hendak pergi, tapi buru-buru aku berjalan ke arah pintu. Menghalangi dia yang hendak membuka pintu kamar.     

"Aku mau keluar."     

"Aku ndhak akan membiarkan."     

"Aku ndhak mau sekamar denganmu."     

"Tapi aku ingin."     

"Aku jijik dan benar-benar benci denganmu."     

"Aku ndhak akan peduli."     

"Aku ndhak akan pernah bisa memaafkanmu."     

"Apakah jika aku mati kamu baru akan mau memaafkanku?"     

Manis langsung memandang wajahku dengan garang, air matanya telah menetes begitu saja di pipi. Untuk kemudian, dia memalingkan wajahnya, tapi kuambil lagi dagunya agar wajahnya memandang ke arahku.     

"Jika kematianmu bisa menyembuhkan luka hatiku, kenapa ndhak kamu coba?"     

Aku tersenyum getir mendengar ucapannya itu, seharusnya aku terima saja tatkala dia mengatakan hal itu. Akan tetapi, entah kenapa rasanya hatiku benar-benar hancur berkeping-keping karena ucapannya. Merelakan aku mati, apakah benar itu yang dia harapkan sebenarnya?     

Ndhak, Arjuna... kau ndhak boleh menyerah. Sebab sejatinya, seorang perempuan akan mampu mengatakan hal-hal menyakitkan hati tatkala dia emosi, itu bukan semata-mata karena dia benar-benar benci. Akan tetapi hanya untuk menutup hatinya yang terluka.     

Aku langsung memeluk tubuh Manis, meski sekuat tenaga dia mencoba untuk melepaskan pelukanku. Entah bagaimana aku bisa membuatnya memaafkanku, sebab kurasa semua seperti sia-sia belaka.     

"Sayang, aku mencintaimu. Aku benar-benar mencintaimu."     

"Cintamu itu semu, cintamu itu palsu."     

"Maafkan aku, aku ndhak mau jauh dari kamu."     

"Maka lakukan itu saja dengan Widuri."     

"Aku maunya sama kamu. Aku maunya menghabiskan waktuku sama kamu. Aku maunya memiliki anak sama kamu. Bukan dengan perempuan mana pun di dunia ini. Hanya kamu, Sayang... hanya kamu."     

"Mimpi!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.