JURAGAN ARJUNA

BAB 214



BAB 214

0Aku pun menyetujui ucapan dari Paklik Sobirin. Tapi tentu, setelah Suwoto ada di sini. Aku harus membahas perkara penting dengannya, sebelum aku menyelesaikan perkara penting lainnya. Sungguh, masalah di keluargaku memang seolah ndhak ada habisnya, dia kian banyak dan kian bertumpuk-tumpuk saja.     

"Juragan...," sapa Suwoto, tatkala aku sedang melamun mengenai masalah yang ndhak tentu. Kupandang wajahnya, kemudian kusuruh dia untuk duduk bersamaku. "Ada apa Juragan mencari saya? Apakah ada perkara penting yang hendak Juragan bicarakan dengan saya?"     

"Kamu ingat, Suwoto? Hal apa yang hendak kamu laporkan kepadaku tepat di hari aku ndhak sadarkan diri dan kamu bawa ke rumah sakit waktu itu? Bukankah, kamu belum membahasnya sama sekali denganku? Sudah berapa bulan hal itu terlewatkan. Dan aku benar-benar merasa bersalah jika telah mengabaikan masalah Rianti hanya karena masalah yang terlalu pelik karena ulahku sendiri," aku menghela napas oanjang, kemudian kutepuk punggung Suwoto beberapa kali. "Ayo, katakan kepadaku. Apa yang telah kamu dapatkan dari pencarianmu beberapa bulan yang lalu."     

Lama, Suwoto untuk menjawab pertanyaanku. Sepertinya, dia benar-benar sudah lupa sama sekali dengan hal penting yang diperoleh waktu dulu. Gusti, Gusti... aku harus memulai dari enol lagi untuk mencari keberadaan adikku, sudah berapa lama? Lama sekali. Dan aku ndhak mau waktu yang semakin cepat berlalu ini akan semakin bertambah, dan membuat masalah berlarut-larut hingga akhirnya terlupakan begitu saja. Sebab bagaimanapun, cita-citaku adalah bisa berkumpul bersama dengan keluargaku, dan kami menghabiskan masa tua bersama-sama. Sesederhana itu, apakah mimpiku itu terlalu tinggi?     

"Jadi apa yang menjadi kecurigakan kita selama ini benar adanya, Juragan. Rupanya, Bima telah mengutus beberapa orang kepercayaannya untuk menghapus semua jejak keberadaannya bersama dengan Ndoro Rianti. Tapi hal itu, benar-benar bukan keinginan dari Bima. Melainkan, keinginan dari Ndoro Rianti. Menurut orang kepercayaan saya, hubungan mereka bukanlah jenis hubungan yang semestinya. Hubungan janggal yang sangat rumit. Untuk detilnya, orang kepercayaan saya pun ndhak tahu. Tapi yang jelas, mereka selama ini tinggalnya ndhak menetap, Juragan. Setelah dari Purwokerto, kemudian Semarang, Bandung, Bogor, dan ketika Juragan berpapasan dengan Bima, itu adalah di mana mereka sedang berada di Jakarta."     

Aku terdiam mendengar penuturan dari Suwoto. Berpindah-pindah? Apa tujuan mereka sampai mereka ndhak menetap seperti itu? Apakah mereka punya cita-cita untuk tinggal menjelajah nusantara? Atau memang mereka ini sebenarnya hanya berniat liburan mengelilingi Indonesia? Sungguh, aku benar-benar ndhak paham dengan apa yang ada di otak keduanya. Terlebih, bagaimana bisa Riantilah yang meminta untuk menghapus jejak mereka? Sehingga kami ndhak tahu di mana mereka berada. Apa yang sebenarnya Rianti rencanakan? Apakah dia berpikir untuk memberi kejutan kepada kami? Jadi tatkala pulang, dia sudah membawa banyak anak?     

Anak? Bahkan aku ndhak percaya jika saat ini Rianti dan Bima telah jatuh hati. Toh faktanya, selama ini aku melihat dengan sangat jelas kebencian dari keduanya. Gusti, apa toh ini yang terjadi kepada adikku? Apa yang sebenarnya ada di otak udangnya itu.     

"Kepalaku benar-benar pening, Suwoto, setiap kali aku mengingat tingkah ndhak jelas dari Rianti. Ini sudah hampir empat tahun dia menghilang ndhak ada kabar. Apa yang sebenarnya dia pikirkan? Ndhak bisakah dia membuat tenang orangtuanya? Ndhak rindukah perempuan menyebalkan itu kepada orangtuanya? Benar-benar menyebalkan,"     

Suwoto pun tersenyum mendengar amarahku. Kemudian dia memandang ke arahku dengan tatapan anehnya itu.     

"Dosa apa orangtua kalian, kenapa bisa memiliki anak-anak yang jauh dari kata normal."     

"Sudahlah, lupakan. Ada tiga kawan baik dari Bima yang akan menceritakan semuanya kepadaku," ucapku percaya diri. Suwoto menggeleng-geleng kepalanya.     

"Saya masih ragu, Juragan. Sebab bagaimanapun, sayalah satu-satunya abdi Juragan yang paling mumpuni dalam segala hal," percaya dirinya.     

Aku hanya bisa mengulum senyum menanggapi ucapannya itu. Percaya dirinya benar-benar kelewat tinggi, kalau seperti ini aku malah semakin bisa melihat Suwoto itu seperti Paklik Sobirin, keduanya benar-benar sama.     

"Ya sudah, aku sangat percaya kepadamu. Tapi, kalau mau aku percaya lagi, maka cepatlah temukan dua orang itu. Maka aku akan mengabulkan apa pun yang kamu minta."     

"Siap, Juragan!" jawabnya semangat.     

Aku pun bangkit dari dudukku, kemudian melangkah keluar. Dengan sigap Suwoto membukakan pintu untukku. Dan di ryang makan sudah benar-benar sangat ramai, semua orang berkumpul jadi satu di sana. Bukan dengan mimik wajah yang bahagia dan penuh suka cita. Namun, mereka tampak tegang dengan emosi yang seperti ndhak bisa mereka pendam.     

"Ada apa ini, Suwoto? Apakah ada hal serius yang telah terjadi?" tanyaku pada Suwoto.     

"Semenjak kabar perempuan itu hamil, suasana di rumah setiap saat seperti ini, Juragan. Jadi sekarang, saya malah merasa sudah terbiasa melihatnya."     

"Sekarang berikan aku mangga masam, dan suapi aku!" suara Widuri samar-sama terdengar. Kusipitkan mataku, melihat sosoknya yang kini sudah duduk bak seorang ratu di singga sananya, dengan wajah yang menyebalkannya itu. Dan entah siapa yang disuruh-suruh dengan sekasar itu. Aku benar-benar cukup penasaran, bahkan jika itu Bulik Sari atau Bulik Amah pun permintaannya sudah benar-benar keterlaluan.     

Kuedarkan pandanganku mencari di mana gerangan orangtuaku. Rupanya, mereka ndhak ada di sana. Lantas, di mana mereka? Sebab jika orangtuaku tahu ini, pasti mereka ndhak akan tinggal diam.     

"Ndoro Larasati, dan Juragan Nathan sedang berkunjung ke rumah orangtua Bima, Juragan. Mereka berkata rindu kawannya, tapi saya merasa itu hanyalah alasan semata. Sebab yang saya rasa, mereka hendak memastikan di mana gerangan anak-anak itu berada,"     

Aku paham dengan apa yang dikatakan oleh Suwoto sekarang. Dan kurasa, itu adalah perkara yang sangat wajar. Romo, dan Biung kadang-kadang harus sedikit bertindak, toh lagi pula sampai saat ini, meski kami sendiri ragu sebenarnya hubungan yang dibangun oleh Bima, dan Rianti itu adalah hubungan seperti apa.     

Kuabaikan pikiranku yang kemana-mana, kemudian aku mendekat ke arah Widuri. Perempuan itu benar-benar harus disadarkan di mana posisinya, sebelum dia semakin melunjak di tempat ini.     

"Kenapa kamu melotot seperti itu? Aku adalah perempuan yang mengandung anak Arjuna. Sementara kamu?"     

Kurang ajar benar perempuan iblis satu itu, jadi yang sedari tadi yang dia suruh-suruh adalah istriku?!     

"Kamu boleh saja bangga dengan apa yang ada di dalam perutmu. Namun sayang, kamu hanyalah perempuan yang mendapatkan itu semua dari cara menipu."     

Jujur, aku sangat senang tatkala Manis mengatakan hal itu. Jika dia mengatakan itu, bukankah artinya jika dia ndhak membenciku? Aku masih memiliki harapan untuk memperbaiki rumah tangga ini, kan?     

"Kenapa kamu bangga telah hamil anakku? Aku bisa melakukan itu kepada perempuan mana pun. Yang terpenting itu adalah, siapa yang berada di dalam hatiku. Jadi, sebelum kamu merasa jika dirimu tinggi, segera bangunlah. Sebab mimpi ndhak akan selamanya indah."     

Aku langsung menari tangan Manis hendak kuajak pergi, namun langkahku terhenti. Kembali melirik ke arah Widuri, dan kearah Bulik Sari, dan Bulik Amah.     

"Bulik Sari, Bulik Amah, mulai dari sekarang jangan pernah pedulikan apa pun yang menjadi permintaannya. Sebab bagaimanapun, dia hanya tamu di sini. Dan jangan sampai seorang tamu, berlagak seperti seorang ratu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.