JURAGAN ARJUNA

BAB 212



BAB 212

0Aku tersenyum mendengar Romo mengatakan itu, setelah hatiku sudah sangat tenang karena petuah-petuah darinya. Akhirnya aku pun menghabiskan waktu kami benar-benar berdua seperti Romo—dan—anak. Aku bermanja-manja dengannya, bahkan aku nyaris seperti anak kecil. Tanpa peduli malu, karena usiaku sudah sebesar ini. Tanpa peduli memikirkan apa pun lagi. Yang kupedulikan hanyalah aku ingin menebus masa kecilku tanpa Romo, itu saja. Ndhak lebih.     

Dan pada akhirnya, senja seolah memperingatiku dan Romo. Jika kini waktuku dengannya telah usia. Jika di sini aku harus bangun dari mimpiku, agar aku ndhak terus-terusan bermimpi. Meski rasanya aku enggan bangun, aku enggan untuk melepaskan kebersamaan yang indah ini.     

"Romo...," kataku pada akhirnya, yang kini aku sedang tidur di pangkuannya. Romo dengan penuh kasih sayang mengelus rambutku. "Apakah ini adalah kebersamaan kita yang terakhir kali? Apakah kita bisa bersama seperti ini lagi, Romo?"     

Romo Adrian diam, dia ndhak mengatakan apa pun selain terus mengelus rambutku. Jujur, melihat pandangannya yang sangat sayu itu benar-benar menguras kewarasanku.     

"Romo, aku tahu sejatinya ini bukanlah perkara nyata. Bersama dengan Romo seperti ini ndhak ubahnya seperti fatamorgana. Aku tahu, jika sejatinya Romo telah tiada. Namun bagiku, aku benar-benar ndhak peduli. Saat ini Romo adalah ruh, atau bagian dari ruh yang selalu bersama dengan raga Romo dulu, atau pun apa pun itu. Asal wujudmu adalah romoku, asal ingatanmu adalah romoku, asal senyumanmu adalah romoku, asal perlakuanmu denganku adalah romoku. Terlebih... asal hatimu adalah hati romoku. Maka, aku ndhak akan pernah peduli jika kenyataannya romo ndhak berada di sisiku dalam bentuk nyata," kuhelakan napasku yang terasa sesak. Romo tampak tersenyum dengan sangat ramah.     

"Karena hatiku untukmu itu sebabnya aku bisa melampaui batasku," kata Romo kemudian.     

Aku sebenarnya ndhak begitu paham dengan apa yang dimaksudkan. Tapi, aku ndhak berniat untuk bertanya lebih jauh. Dia bagaimanapun bukanlah manusia, mengatakan hal-hal seperti itu tentunya lebih wajar dari pada harus mengatakannya dengan sangat gamblang.     

"Romo, boleh aku tanya satu hal lagi kepadamu?" tanyaku lagi kepadanya, dengan sangat hati-hati.     

Romo memandang ke arahku, kemudian dia mengangguk. Pandangannya kini beralih pada senja yang menjingga. Sehingga warnanya tampak memendar memeluk bentangan hijau perkebunan teh di Kemuning.     

"Romo, apa Romo ndhak rindu dengan Biung?" tanyaku pada akhirnya.     

Mendengar pertanyaanku itu, Romo seolah mematung. Matanya langsung melebar dan nyaris ndhak berkedip sama sekali. Rahangnya tampak mengeras, dengan napas tersengal. Apakah... apakah aku telah mengembalikan lukanya? Luka atas perpisahannya dengan perempuan yang sangat dia cinta?     

"Rindu... sangat rindu. Aku rindu dengannya sampai aku ndhak tahu harus berbuat apa. Aku rindu dengannya sampai aku berharap bisa hidup seribu tahun lamanya. Tapi...," katanya kini terputus, Romo lantas memandangku dengan pandangan nanarnya itu. "Tapi Romo tahu, kini biungmu berada di tangan yang tepat. Biungmu dijaga oleh orang yang tepat. Jadi, serindu apa pun Romo akan Romo tahan. Karen Romo tahu jika Biungmu sudah sangat bahagia sekarang. Yang penting Romo tahu, jika di hatinya masih ada nama Romo. Yang penting Romo tahu jika kedudukan Romo di singga sana hatinya ndhak tergantikan oleh siapa pun. Maka, Romo sudah merasa bahagia dan puas karenanya."     

"Romo, kenapa ada cinta segila itu? Jika di dunia nyata aku melihat cinta segila itu dari Romo Nathan, di sini aku melihatnya padamu. Jelaskan kepadaku, Romo... kenapa ada cinta segila itu? Dan bagaimana cara mendapatkannya?"     

"Itu bukan cinta gila, toh, Arjuna. Akan tetapi, itu adalah kekuatan cinta. Yang mampu menembus dua alam, dan mampu menggetarkan bumi semesta dan seisinya. Dan cinta seperti itu, bukan untuk didapatkan, Arjuna. Tapi diusahakan."     

"Maksud Romo?"     

"Jika kamu ingin mencintai seseorang dengan alasan mendapatkan imbalan cintanya, maka itu bukan cinta namanya. Tapi, hubungan timbal-balik. Jika kamu merasa rugi telah banyak berkorban untuk orang kamu yang cinta itu juga bukan cinta. Tapi, hubungan dengan mengharapkan timbalan. Cinta sejati itu, cinta yang hanya memberi, cinta yang hanya berkorban dan berjuang habis-habisan untuk orang yang kita cinta. Tapi perlu mengharapkan apa-apa. Tanpa peduli dia akan menerima atau tanpa peduli apakah pasangan kita akan melakukannya hal yang sama apa endhak. Yang jelas, habis-habisan dulu kamu, berjuang, dan berkorban dulu kamu, sebisamu, semampumu, dan sesuai dengan batas kesanggupanmu. Maka, itulah yang dinamakan cinta, Arjuna. Dan jika orang yang kamu cintai mampu merasakan apa yang telah kamu perjuangkan, maka ndhak hanya dia, bahkan alam semesta pun akan tunduk atas rasa cintamu itu. Dan semua orang yang mengetahui kisah kalian, akan benar-benar mengenangnya, sampai sulit untuk dilupakan."     

Aku kembali memeluk Romo Adrian, sungguh... sungguh. Apa yang telah dikatakan oleh Romo Adrian semuanya adalah sebuah kebenaran. Kita harus habis-habisan dulu, kita harus berjuang mati-matian dulu. Sebab cinta tanpa imbalan, karena cinta bukan perasaan tentang balas budi atau semacamnya. Tapi cinta adalah perasaan tentang keikhlasan, di mana dua orang insan bersatu dengan sadar dan tanpa paksaan, untuk kemudian timbal balik dari cinta itu adalah sesuatu yang menjadi hadiah dari Gusti Pangeran.     

"Romo, padahal baru satu hari, tapi Romo benar-benar telah memberikanku pelajaran hidup yang sangat luar biasa seperti ini. Aku benar-benar telah menemukan jawaban dari hatiku yang resah sedari tadi. Sebuah jawaban yang membuatku mantab untuk terus melangkah ke depan dan memperjuangkan pernikahanku dengan Manis apa pun yang akan terjadi. Dan Romo," aku memandang ke arah Romo, kemudian aku mengambil posisi duduk. "Tolong restui putramu ini, untuk bisa menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi. Agar setiap tindak lakuku ndhak pernah menyakiti orang lagi. Tolong selalu ingatkan aku untuk bisa membentengi tubuhku, dari hal-hal jahat yang bisa beruba serangan fisik, atau pun serangan halus lainnya. Sejatinya, Romo... ndhak ada panutan yang benar-benar membuatku mantab dan yakin selain petuah-petuah dari Romo. Sebab sejatinya, Guru yang paling disegani oleh seorang anak laki-laki adalah, Romo kandungnya sendiri."     

"Namun demikian kamu pun ndhak boleh mengabaikan Romo Nathanmu, toh. Sebab bagaimanapun, Romo Nathanmu itu adalah sosok Romo yang benar-benar hebat. Sosok Romo yang bahkan mampu menggantikan tugas-tugas Romo dengan sangat sempurna. Dan dia adalah sosok Romo kandung yang bahkan sampai detik ini pun, ndhak pernah sekalipun menganggapmu sebagai orang lain. Dia selalu menganggapmu sebagai anak kandungnya sendiri, dia selalu menganggapmu keturunan dari benihnya sendiri. Bukan keturunan dari benih kangmasnya. Aku harap, kamu selalu baik, dan patuh kepadanya, ya. Sebab bagaimanapun, dalam urusan nalar, dan melihat mana yang baik, dan mana yang benar, Romo Nathanmu adalah satu-satunya orang yang paling pandai dalam masalah itu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.