JURAGAN ARJUNA

BAB 211



BAB 211

0Malam ini dan untuk hari ke empat puluhku puasa mutih, aku memutuskan untuk menyendiri di sebuah kamar yang kebetulan masih kosong. Aku ingin menghabiskan seluruh hariku di sini untuk sekadar memikirkan apa yang sebenarnya terjadi, memikirkan semua kesalahanku, dan bagaimana aku harus memperbaiki hubungan pernikahanku dengan Manis.     

Aku ndhak bisa untuk memaksa jika semua hal itu akan membaik, dan selesai dalam satu waktu. Semuanya harus bertahap, semuanya harus kuselesaikan satu persatu. Jika aku terus memaksakan diri, yang ada bukan hanya kewarasanku yang akan benar-benar hilang, maka nasib rumah tanggaku benar-benar akan berakhir sekarang.     

Kupejamkan mataku rapat-rapat, sembari aku mengambil posisi duduk. Kukonsentrasikan pikiranku dengan sungguh-sungguh, aku ingin benar-benar mencapai ketenangan batin, aku ingin benar-benar merasakan apa itu yang namanya ikhlas. Ikhlas dalam menerima semua cobaan yang diberikan Gusti Pangeran, dan ikhlas karena aku memang benar-benar telah melakukan salah. Aku harus bisa menerima ini dulu, aku harus menerima titik awal pertama permasalahanku dulu, sebelum aku bisa menghadapi semuanya.     

Dan tiba-tiba dari semua warna gelap yang kulihat, di ujung pandangan ada titik putih, yang semakin lama cahayanya semakin terpancar dengan begitu nyata. Tampak silau dan membuat mataku bahkan ndhak mampu untuk memandang silaunya itu. Dan kemudian, semua kembali seperti beberapa waktu yang lalu. Tiba-tiba aku berada di tengah-tengah perkebunan di Kemuning, duduk di atas batu besar. Dan di depanku ada sosok yang sedang berdiri, seperti biasa, sosok itu mengikat kedua tangannya di belakang punggung.     

"Romo, Romo Adrian? Kita bertemu lagi?" tanyaku kepadanya. Sungguh, bertemu dengannya adalah perkara yang sangat kuimpikan selama ini. Bertemu dengannya adalah cita-cita yang selalu ingin kuwujudkan selama aku kecil dulu. Sebab bagiku, bisa merasakan kasih sayang dan bisa bersama dengan Romo kandung adalah perkara yang benar-benar kudambakan. Aku, juga ingin seperti kawan-kawanku. Aku, juga iri kepada mereka. Tatkala mereka bisa bercengkerama dengan bahagia bersama orangtua kandungnya, dan bisa digendong oleh Romo kandungnya. Hari-hari tampak begitu indah, tatkala bisa bersama dengan orangtua kandungnya. Romo... akankah Romo tahu tentang perihnya aku waktu dulu?     

"Aku ingin menebus masa kecilmu dulu, yang ndhak bisa kita lewatkan bersama. Meski ndhak nyata, tapi aku harap kamu bisa menyukainya."     

Mendengar hal itu, aku benar-benar sangat bahagia. Bahkan, air mataku ndhak terasa langsung menetes begitu saja di kedua pipi. Aku mengangguk kuat-kuat, kemudian kupeluk tubuh Romo Adrian.     

Iya, aku tahu ini ndhak nyata. Iya, aku tahu kalau Romo Adrian telah tiada. Iya, aku tahu kalau sejatinya ini hanyalah perkara khayalan semata. Tapi, aku ndhak peduli. Aku ndhak mau peduli. Yang kuinginkan hanyalah bersama dengan Romo, yang kuinginkan hanyalah menghabiskan waktuku bersama dengan Romo. Waktu yang dulu ndhak pernah sama sekali aku merasakannya. Meski itu sehari, ya... meski itu hanya untuk sehari lamanya.     

Aku ingin merasakan memeluk romoku sendiri seperti anak-anak yang lain, aku ingin bermain dengan romoku sendiri seperti anak-anak yang lain, aku juga ingin tidur di pangkuannya, bermanja-manja dengannya, dan melakukan apa pun itu yang bisa menebus masa kecilku tanpanya. Ya, apa pun itu.     

"Jadi, sekarang apa yang kamu inginkan dari Romo?" senyum Romo Adrian tampak sumringah, tatkala mengatakan hal itu. Dia berjongkok di depanku, seolah-olah dia bukanlah seorang Juragan Besar. Ya, dia benar-benar seperti Romo, romoku.     

"Aku ingin memeluk Romo lagi, aku ingin kita bermain gundu (kelereng), dan ngetapel burung juga buah-buahan milik warga, aku ingin tidur di pangkuan Romo, aku ingin bercerita banyak hal dengan Romo. Bahkan jika bisa... jika bisa... aku ingin duduk di bahu Romo sembari kembali pulang ke rumah. Tapi, itu ndhak mungkin terjadi. Aku sudah besar, Romo ndhak akan sanggup melakukannya. Cukup boncengkan aku dengan onthel, Romo. Itu sudah lebih dari cukup untukku."     

Romo kembali tersenyum, kemudian dia memeluk tubuhku dengan penuh kasih sayangnya. Aku memejamkan mataku, sekadar merasakan sensasi pelukan dari Romo. Beginikah hangatnya dekapan seorang Romo? Beginikan rasanya hati begitu sangat damai tatkala dipeluk oleh Romo? Beginikah menyenangkannya tatkala dipeluk oleh Romo? Maka, aku benar-benar ndhak salah, jika aku merasa iri dengan kawan-kawanku waktu itu.     

"Kamu tahu, Le, yang menginginkan semua yang kamu inginkan itu. Bukan kamu sendiri, akan tetapi Romo juga. Betapa Romo selalu bermimpi untuk bisa menemani biungmu tatkala dia sedang melahirkanmu. Betapa Romo selalu bermimpi untuk menimangmu sampai kamu tumbuh dewasa. Betapa Romo bisa menghabiskan waktu sembari melihatmu tumbuh menjadi seorang pemuda dewasa yang gagah seperti ini. Romo benar-benar memimpikan itu."     

Lagi, kupeluk semakin erat tubuh romoku, tangisku pun terpecah mendengar perkataannya itu. Benar-benar seperti anak kecil, yang meraung-raung, mengadu kepada romonya jika hatinya sedang ndhak baik-baik saja.     

"Saat ini aku sedang hancur, Romo. Aku sedang hancur. Bahkan aku sendiri ndhak tahu harus berbuat apa untuk menghadapi semuanya. Aku ndhak punya jalan keluar sama sekali untuk semua masalahku ini. Seolah-olah, aku berada di jalan buntu. Dan ndhak bisa menemukan titik celah pun untuk keluar dari sana."     

Romo Adrian tampak menghela napas panjang, kemudian dia mengelus punggungku dengan lembut. Layaknya seorang Romo yang sedang memikirkan permasalahan putranya.     

"Kamu dan Manis itu jodoh, ndhak akan ada yang bisa memisahkan kalian. Terlebih, bayi yang dikandung oleh perempuan itu. Sabar adalah kuncinya, sebab sebentar lagi kamu akan mendapatkan hadiah yang lebih indah yang ndhak pernah kamu sangka-sangka. Jadi, pesan Romo... selalu bersikap baiklah kepada istrimu, minta maaf jika itu perlu. Sebab yang diinginkan dari perempuan adalah, sebuah pengakuan cinta berulang dari pasangan yang mereka cinta, dan niat tulus serta serius yang menjadi dasarannya. Dan lebih dalam dari itu adalah, perempuan itu selalu inginnya dipuja, terlebih tatkala sedang marah. Jadi, berada di bawah dalam keadaan benar atau salah, adalah perkara yang wajib kamu lakukan untuk menentramkan hatinya. Peluklah meski dia menolak, peluk semakin erat. Maka kamu akan tahu, bagaimana tembok kemarahan yang ia bangun kuat-kuat akan hancur dalam hitungan detik. Berganti dengan air mata yang melambangkan semua kegundahan hatinya. Dan jika semua amarah serta air mata itu telah keluar seutuhnya, maka maaf pasti akan datang menyertainya."     

"Benarkah itu, Romo?" tanyaku kepada Romo Adrian.     

Dia masih tersenyum, seolah senyum adalah ciri khas yang melekat pada dirinya. Aku yakin, tatkala Romo Adrian masih hidup dulu, pasti dia tipikal orang yang murah senyum, dan sangat arif. Tampak benar dari wajahnya ini.     

"Jelas, romomu ini sangat ahli dalam urusan cinta. Jadi, kamu ndhak perlu meragukannya sama sekali," katanya percaya diri. Kadang-kadang kalau seperti ini Romo Nathan juga. Aku jadi ndhak bisa membayangkan, bagaimana jadinya jika kedua orang itu bersama-sama.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.