JURAGAN ARJUNA

BAB 209



BAB 209

0"Juragan, Ndoro!" Bulik Sari masuk ke dalam kamarku dengan wajah pucat pasi dan panik luar biasa. Napasnya terengah, kemudian memandangku dan memandang Manis bergantian. "Juragan, Ndoro," katanya lagi, tapi kini dengan nada yang lebih lirih, yang lebih pelan. Tapi tampak begitu bergetar. Sebenarnya, dia ingin mengatakan apa? Ataukah dia sungkan karena ada Ningrum di sini? Apa jangan-jangan, apa yang hendak ia katakan berhubungan dengan perempuan iblis itu?     

"Ada apa, Bulik? Adakah sesuatu yang telah terjadi? Kenapa Bulik tampak terkejut seperti ini?" selidik Manis, yang berhasil membuat Bulik Sari tampak semakin gusar.     

"Itu Ndoro, itu... perempuan itu... perempuan itu ndhak sadarkan diri lagi, dan tubuhnya benar-benar lemah. Sepertinya, kita harus panggil dokter segera, Ndoro. Aku takut kalau-kalau perempuan itu mati di sini bagaimana, toh." Ucapnya pada akhirnya.     

Kutelan ludahku yang mengering, kemudian kupandang Manis yang tampaknya kaget. Untuk kemudian, dia memandang ke arah putrinya dengan senyuman kaku itu. Sungguh, aku sama sekali ndhak bisa menebak bagaimana hati Manis sekarang. Aku sama sekali ndhak bisa menebak, bagaimana perasaan Manis sekarang. Sebab yang kutahu hanyalah Manis hancur, dan itu karenaku.     

"Ndhuk...," kata Manis pada Ningrum. "Kamu selesaikanlah makananmu, setelah ini kamu pergi menemui Bulik Amah. Pilihkan beberapa rok yang pantas, sekalian untuk Bulik Sari juga. Biung hendak memeriksa tamu Romo dulu, ya,"     

Mendengar Manis mengatakan hal itu kenapa sangat sakit sekali, toh. Tamu Romo, seolah julukan itu benar-benar mengejekku sepanjang waktu. Aku hanya diam, enggan kemana-mana, lebih baik aku menemani putriku untuk makan makanannya. Toh kurasa Manis lebih pantas untuk berada di sana. Sebab kurang satu tahun dia sudah lulus kuliah kedokteran. Dan tugasnya adalah mengurusi hal-hal yang seperti ini, toh.     

"Kenapa kamu ndhak keluar? Dia seperti ini karenamu. Dan jangan harap aku akan memeriksa kawanmu itu. Aku ndhak mau," kata Manis, sembari melirik ke arahku. Kemudian memandang putrinya dengan senyuman itu. Ucapannya benar-bear bernada lembut, namun benar-benar menohok sampai ke ulu hatiku. Aku benar-benar ndhak menyangka, bagaimana ceritanya Manis bisa berkata sekasar itu kepadaku. Ya, aku, suaminya.     

Tapi aku pun sendiri sadar, aku adalah suami macam apa. Aku ndhak mengatakan apa-apa, selain berdiri, kemudian melangkah menuju ke arah Manis. Dan akhirnya, kami menuju kamar milik Widuri.     

Suwoto, Ucup, dan Paklik Junet, beserta Biung sudah ada di sana. Mereka semua benar-benar begitu panik saat ini. sebab ndhak biasanya, perempuan itu jadi seperti ini kalau ndhak sakit parah. Terlebih selama aku mengenalnya, aku sama sekali ndhak pernah melihat dia jatuh sakit. Dia cukup lebih dari sehat dan memiliki tenaga yang sangat kuat.     

"Sobirin telah memanggil seorang dokter, kabarnya ada dokter bagus di dekat sini," kata Suwoto memberitahuku.     

Aku diam, ndhak menanggapi ucapannya sama sekali. Sebab aku merasa jika perempuan ini bukanlah siapa-siapaku.     

"Apa perempuan ini ndhak terkena penyakit kelamin?" ujar Romo Nathan, yang hanya berdiri di ambang pintu, seolah enggan untuk masuk ke dalam kamar. "Arjuna suka berganti-ganti pasangan. Bisa saja burungnya yang gatal itu telah terinveksi suatu virus yang berbahaya. Sehingga perempuan sundal ini tertular darinya. Itu sebabnya, perempuan ini sekarang sakit-sakitan," sindir Romo Nathan kepadaku.     

Aku hanya diam, ndhak berani menjawab apa pun. Sebab bagaimanapun, masalah ini adalah benar kesalahanku. Aku ndhak mungkin untuk menyalahkan orang lain, termasuk ucapan pedas dari Romo Nathan.     

Ndhak berapa lama, seorang dokter pun datang. Ia memeriksa Widuri dengan sangat teliti. Bahkan, dia memeriksa denyut jantungnya sampai kedua kali. Untuk kemudian, dia tersenyum simpul. Bangkit dari duduknya setelah memastikan jika Widuri sudah terlelap dengan tenang.     

"Dokter, sebenarnya apa yang terjadi? Apa benar jika perempuan itu sakit maagh parah?" tanya Ucup yang agaknya penasaran.     

Tapi, dokter itu menggeleng. Membuatku semakin penasaran dibuatnya. Jika perempuan itu ndhak memiliki sakit lambung, lantas apa yang terjadi kepadanya? Bagaimana bisa dia terus-terusan muntah dan ndhak mau makan?     

"Ini bukan perkara penyakit apa pun, juga bukan karena penyakit lambung," jawab dokter itu dengan mimik wajah teduhnya."Akan tetapi, ini adalah sebuah anugerah, sebuah berkat, dan rejeki,"     

"Kalau bicara itu mbok ya yang jelas, toh, Pak Dokter. Kami di sini ndhak paham ini, lho," seloroh Paklik Junet, yang sepertinya sudah benar-benar ndhak sabar dengan apa penyebab dari perempuan jalang itu terus-terusan pingsan.     

"Omong-omong, siapa di sini yang merupakan suami dari pasien?" tanya sang dokter itu lagi.     

Kami semua diam, sebab kami benar-benar ndhak tahu harus menjawab apa pertanyaan oleh dokter itu. Terlebih, apa gerangan penyakit dari perempuan ndhak tahu diri itu sampai sang dokter mencari-cari keberadaan dari suaminya?     

"Suaminya gila, Pak Dokter. Setelah menikah dia kabur entah ke mana," jawab Romo Nathan sekenanya. Aku hanya tersenyum getir, entah kenapa aku merasa jika ucapan dari Romo sebenarnya adalah menyindirku. Tapi aku diam saja. Mungkin hati Romo akan puas jika setiap hari dia terus mengolok-olokku dengan seperti ini. "Ini bukanlah suatu penyakit, akan tetapi perempuan ini telah mengandung. Dia sedang hamil, Pak,"     

Bagaikan terdengar petir di siang bolong, kami semua kaget mendengar pernyataan dari dokter itu. Widuri hamil? Widuri... hamil?     

Aku menggeleng, aku benar-benar ndhak mau, aku ndhak rela jika Widuri hamil. Dan itu adalah anakku?     

Setelah sang dokter memberikan resep, dia pun pamit pergi. Kemudian, Manis langsung berlari keluar dari kamar itu. Aku langsung berlari mengejarnya, sebab aku tahu pasti jika hatinya benar-benar hancur sekarang. Suaminya, telah memberikan benih kepada perempuan lain? Ini benar-benar perkara yang paling menyedihkan di dunia.     

"Manis! Manis! Tunggu aku, Manis! Tunggu!" aku langsung berlari mengejarnya yang tampak mengusap wajahnya dengan kasar, kemudian dia masuk ke dalam ruang kerjaku. Menutup puntunya dari dalam. Kucoba untuk ketuk pintu itu berkali-kali, tapi ndhak ada jawaban. Dan hal itu benar-benar membuatku frustasi karenanya. Manis, aku mohon... jangan seperti ini.     

"Manis, Sayang... aku mohon, bukalah pintunya untukku? Aku ingin menjelaskan semuanya kepadamu, Sayang. Aku mohon, aku mohon bukalah pintu ini. Aku tahu aku salah, tapi kumohon kepadamu, jangan hukum aku dengan seperti ini, Manis. Aku mohon...."     

Berkali-kali, berkali-kali aku mengatakan hal itu kepada Manis. Tapi, pintu itu tetap saja tertutup rapat. Aku benar-benar frustasi dibuatnya. Aku benar-benar ndhak tahu harus berbuat apa. Dalam hitupku, ini adalah kali pertama aku merasa jika hidupku adalah sia-sia. Dalam hidupku ini adalah kali pertama aku hancur karena ulahku sendiri. Aku benar-benar ndhak tahu, apa yang bisa kulakukan untuk memperbaiki semuanya. Aku benar-benar ndhak tahu, apa yang harus kulakukan untuk memperbaiki rumah tanggaku sendiri. Gusti, tolong aku... tolong hambamu yang kotor ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.