JURAGAN ARJUNA

BAB 208



BAB 208

0"Duh Gusti, ndhak usah seperti itu, toh. Saya malu ini, lho," katanya. Dan berhasil hal itu membuat kami kembali tertawa dibuatnya.     

Kulihat Manis yang tampak mengusap ujung matanya sembari tertawa. Melihat tawanya yang selepas itu benar-benar membuatku bahagia. Gusti, jaga kebahagiaan istriku. Jangan pernah dia tersakiti lagi oleh siapa pun di dunia ini, termasuk aku. Dan jika sampai aku menyakitinya lagi dengan atau tanpa kesadaranku seperti kemarin, aku rela, Gusti... aku rela menebusnya dengan nyawaku sendiri.     

"Duh Gusti, Paklik Sobirin ini benar-benar. Perutku rasanya benar-benar sakit karena Paklik ini."     

"Iya, Ndoro... saya tahu, saya ini sangat lugu nan lucu. Jadi, mboknya tertawanya ndhak perlu seperti itu. Saya benar-benar akan sangat malu ini, lho," katanya lagi.     

Aku langsung menempeleng kepalanya, sembari memicingkan mata. Dasar sialan benar orangtua satu ini. Bagaimana bisa dia malah merayu istriku. Awas saja, pasti akan kubuat dia menderita. Akan kupotong gajinya, dan akan kusuruh orang-orang di Kemuning untuk mencuri kerbau-kerbaunya. Ya, lihat saja nanti.     

"Halah, malu... malu... sejak kapan, toh, kamu itu memiliki rasa malu. Bukankah urat malumu itu sudah putus sedari dulu?" sindirku. Paklik Sobirin langsung menggerutu, tapi dia ndhak berani membantah ucapanku itu.     

"Oh, ya sudah... ayo masuk, Ndhuk," ajak Manis kepada Ningrum. Keduanya tampak masuk, membuat Paklik Sobirin hendak masuk juga. "Paklik, tolong suruh Bulik Amah untuk menyiapkan mandinya Ningrum, serta bawakan dia makan siang, ya,"     

"Siap, Ndoro Manis!"     

"Siap... siap,"     

Aku langsung menyusul Manis, dan Ningrum. Kemudian, mengambil tas yang dibawa Ningrum untuk ditata di dalam lemari. Isinya ndhak banyak, tapi itu malah lebih bagus. Aku bisa membelikan banyak pakaian baru di sini. Sekalian, bisa jalan-jalan bertiga, layaknya sebuah keluarga utuh pada umumnya.     

"Romo, Biung... rumahnya benar-benar bagus, toh. Ini seperti rumah yang ada di kampung, hanya saja lebih modern lagi. Aku yakin, nanti setelah aku lulus sekolah menengah atas dan menetap di sini, aku akan sangat kerasan. Terlebih, di sini ramai. Aku pasti bisa jalan-jalan ke mana pun yang kumau.     

"Kamu libur berapa hari, Ndhuk?" tanya Manis lagi, kini dia sudah memijat tubuh putrinya itu dengan sangat sayang.     

"Kira-kira dua minggu, Biung. Namun demikian aku ingin sebulan berada di sini," jawab Ningrum semangat. "Aku ingin bisa bersama dengan kalian lebih lama, menghabiskan waktu bersama kalian. Lagi pula, dua minggu awal sekolah, kan, masih belum ada banyak pelajaran, Biung. Jadi, dari pada aku menghabiskan waktuku dengan percuma, bukankah lebih baik aku menghabiskan waktuku itu bersama dengan orangtuaku di sini? Siapa tahu...," katanya terhenti. "Siapa tahu Biung sudi mengajakku untuk keliling Universitas. Dan siapa tahu, aku tertarik untuk bisa melanjutkan kuliah di Universitas itu nantinya."     

"Jadi, tujuanmu ke sini hanya sekadar ingin berada di Universitas? Apa jangan-jangan, niatmu jauh-jauh dari Jawa Tengah ke sini hanya untuk itu? Lantas, rindu Romo dan Biung hanyalah alasanmu semata?"     

"Duh, Romo ini! Pandai benar untuk memutar-mutar ucapan, sehingga aku ndhak memiliki jawaban atas apa yang Romo katakan. Biung...," rengek Ningrum pada akhirnya. "Bantu aku, Biung. Romo benar-benar jahat sekali kepadaku, toh."     

Aku lirik Manis, aku sendiri pun ndhak tahu, apa dia akan benar-benar membela putrinya itu dariku? Atau dia malah akan diam membisu karena rasa sakit hatinya itu.     

"Sudah... sudah, romomu hanya akan bercanda, toh. Ndhak ada niat serius. Sekarang, kamu pasti lapar. Ayo, sekarang makan. Biung suapi, ya,"     

Bulik Amah tampak tersenyum, sembari membawa nampan yang berisi makanan. Menu khusus untuk Ningrum, makanan kesukaannya sengaja dihidangkan di sini.     

"Duh Gusti, Ndoro Ningrum sudah kembali, toh. Kabarnya, nanti kita diajak jalan-jalan oleh Juragan Nathan, lho, keliling monas. Duh Gusti, aku benar-benar sudah ndhak sabar untuk itu. Nanti Ndoro Ningrum keluar ya, bantu aku serta Sari untuk memilih rok yang pantas untuk aku bawa keliling monas nanti," kata Bulik Amah.     

Iya, aku lupa... Bulik Sari, dan Bulik Amah kan belum pernah aku ajak untuk tamasya. Lebih-lebih jalan-jalan ke monas. Mereka saja, baru kali ini berada di Jakarta. Dan sedari entah kapan dia di sini, dia sudah cukup sibuk dengan masalahku. Sepertinya, sedikit bersenang-senang adalah hal yang pantas untuk mereka sekarang.     

"Oh ya, Romo, apakah Romo dan Biung sedang ada tamu?" tanya Ningrum tiba-tiba.     

Aku dan Manis kembali saling pandang, karena ndhak paham dengan apa yang dibicarakan oleh Ningrum. Tamu, siapa? Kami merasa ndhak pernah ada tamu berkunjung. Siapa pun itu.     

"Tamu, siapa, toh, Ndhuk? Ndhak ada tamu di sini," jawab Manis pada akhirnya, aku mengangguk, menyetujui ucapan dari Manis.     

Ningrum tampaknya bingung, kemudian dia menunjuk ke arah utara. Tepat samping kamar kami, dan aku baru sadar itu kamar siapa.     

"Tadi, tatkala aku berjalan menuju kamar sini. Aku mendengar dengan keras suara teriakan perempuan. Tapi, Eyang Putri, Bulik Amah, dan Bulik Sari pun ada bersamaku. Jika itu bukan tamu Romo, dan Biung, lantas itu suara siapa? Apa suara dhemit?" tanyanya kemudian.     

Aku langsung terdiam, ndhak bisa berkata apa-apa lagi sekarang. Mana mungkin aku menjawab pertanyaan Ningrum ini. Ini adalah jenis pertanyaan yang benar-benar pelik jika harus dijabarkan.     

Iya, memang. Sampai detik ini Widuri belum juga dipulangkan. Sebab setelah kejadian pingsannya itu, kondisinya kian hari kian lemah. Itu kata dari Bulik Sari yang kebetulan ditunjuk Biung untuk mengurusi Widuri. Bahkan sampai detik ini dia ndhak mau makan, selama dia belum bertemu denganku. Tapi, sampai kapan pun juga aku ndhak ingin menemuinya. Enak saja! Kata Bulik Sari juga, Widuri sering muntah-muntah, orang-orang di sini ingin memanggil seorang dokter untuk diperiksa. Barangkali lambungnya bermasalah, tapi Widuri bersikeras ndhak mau diperiksa oleh siapa pun. Sebab menurutnya, dia baik-baik saja, dia ndhak butuh pengobatan apa pun. Yang dibutuhkan adalah aku untuk berada di sampingnya. Sungguh, sebuah permintaan yang mustahil. Bahkan sekarang, sekadar menyebut namanya saja membuatku benar-benar emosi. Jadi bagaimana bisa aku bertemu dengannya, terlebih menemaninya? Tentu saja semua itu hanya mimpi. Ya, mimpi di siang bolong!     

"Oh, dia itu adalah kawan dari romomu...," jawab Manis. Kulihat ada senyuman getir di sana. Sepertinya, luka itu kembali menganga setiap kali dia membahas perihal Widuri. Ya, aku ndhak menyalahkannya, itu adalah perkara yang alami. Bagaimana bisa seorang perempuan akan merasa bahagia membahas madunya? Tentu endhak... dan itu adalah perkara yang lumrah bagi Manis saat ini. "Saat ini dia ndhak memiliki hunian. Jadi sekarang dia untuk sementara ikut tinggal di sini bersama kita."     

"Kawan Romo? Tapi kenapa dia terus menyebut nama Romo, Biung? Seolah-olah, dia adalah kekasih yang telah ditinggal pergi pasangannya."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.