JURAGAN ARJUNA

BAB 207



BAB 207

0Hari ini adalah hari pertama aku melakukan ritual puasa mutih, dan semenjak kemarin pula aku dan Manis benar-benar seperti orang asing. Kami ada dalam satu kamar, tapi kami saling diam. Saling menjaga jarak, dan memilih untuk sibuk dengan pikiran kami masing-masing.     

Sama halnya seperti sekarang ini, tatkala aku sedang membaca buku di atas ranjang, Manis sibuk dengan dengan jahitannya. Bahkan selama dua hari ini, dia sudah menyelesaikan dua potong pakaian. Dia seolah hendak menyibukkan diri, untuk menghindariku. Bahkan saking ingin menyibukkan dirinya, dia bahkan seolah ndhak sudi untuk tidur di ranjang yang sama denganku. Jadi, dia memilih untuk tetap terjaga sambil mengurusi beberapa potong jahitannya.     

Kuhelakan napasku, sembari membuka—tutup buku yang kubawa. Rasanya, mulut ini terlalu kelu untuk sekadar bertanya, hai... bagaimana kabarmu, apakah kamu merindukanku, Manis? Akan tetapi aku benar-benar ndhak kuasa untuk melakukan hal itu.     

Bagaimana bisa aku bertanya seperti itu, di saat aku jelas-jelas tahu bagaimana kabarnya tanpaku. Aku adalah penyebab dukanya, dan aku adalah penyebab laranya. Jadi pahit, adalah kehidupan yang dia alami selama ini. Lantas, masih pantaskah jika aku bertanya kabar kepadanya? Terlebih, tatkala aku berkata jika aku rindu dengannya. Yang ada aku akan dilempar semua barang-barang yang ada di sini, atau bahkan dia akan membunuhku saat ini juga.     

Lagi, kuhelakan napasku yang terasa semakin sesak. Bahkan, di ruangan sebesar ini, aku merasa kekurangan oksigen untuk paru-paruku, sehingga dadaku terasa begitu sangat ngilu. Gusti, apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan untuk memperbaiki hubungan ini? Hubungan rumah tanggaku dengan istriku. Sebab sungguh, aku ndhak mau jika hubungan yang sudah susah-payah kubangun akan hancur hanya karena ketololanku, hanya karena kesalahan yang aku lakukan dengan tanganku sendiri. Aku ndhak mau kehilangan cintaku, aku ndhak mau kehilangan Manis. Ndhak... aku ndhak akan pernah mau sampai itu terjadi!     

Kulirik Manis yang kini tampak memakai kaca mata, sembari meneliti dengan sangat ditil bordiran yang baru saja dibuat. Kupandang lagi wajah istriku dengan seksama, dan hal itu berhasil membuat jantungku berdetak ndhak karuan dibuatnya. Jantungku, kembali berdegum dengan seperti ini, napasku menjadi ndhak beraturan, dan dadaku berdebar-debar. Ya, kurasa... aku telah jatuh hati lagi karenanya. Setiap aku melihatnya dengan cara seperti ini, setiap kali juga cinta ini selalu datang dengan cara yang ndhak wajar. Jatuh cinta lagi kepada perempuan yang telah kucintai, dan cinta itu selalu terasa berbeda setiap waktunya. Cinta yang semakin hari semakin mendalam, dan cinta yang semakin hari semakin enggan untuk kulepaskan. Namun kenapa? Namun kenapa, Gusti? Namun kenapa aku ndhak bisa melewati cobaanmu yang seperti ini? Cobaan yang benar-benar sangat rendah dari pada semua hal terendah di dunia ini. Sebuah cobaan yang bahkan membuatku merasa jijik kepada diriku sendiri. Gust, aku benar-benar telah berdosa. Berdosa dengan istriku, berdosa dengan Manisku.     

"Juragan, Juragan Arjuna... apakah Juragan ada di dalam?" suara itu terdengar samar di telingaku, kemudian ketukan pintu terdengar setelahnya.     

Paklik Sobirin? Ada apa? Tumben benar di hari seperti ini dia mencariku? Bukankan sudah kukatakan kepadanya, sebelum aku menyendiri di sepuluh hari terakhirku puasa mutih, aku ingin berada di kamarku dan ndhak mau diganggu oleh siapa pun? Toh masih ada Romo di sini, yang bisa menggantikanku untuk sementara.     

"Romo! Biung! Apa kalian ndhak rindu aku, toh!" suara nyaring itu pun terdengar.     

Aku dan Manis dengan serempak tanpa aba-aba sekalipun langsung berdiri, setengah berlari kami membuka pintu.     

Ningrum ada di sana, kemudian memeluk tubuhku, dan biungnya secara bersamaan. Gusti, aku rindu anakku. Selepas dia sekolah menengah atas, kami nyaris ndhak bertemu. Dia memutuskan untuk melanjutkan sekolah menengah atas di kota, dan kuliah baru ikut ke Jakarta. Gusti, aku rindu dengan anakku ini.     

"Duh Gusti, anak perempuanku sudah sebesar ini. Berapa lama aku ndhak melihatmu, Ndhuk? Bahkan untuk sekadar menjengukmu di kota pun aku ndhak bisa. Maafkan romomu ini, toh," kataku kepadanya. Ningrum tersenyum, kemudian dia menggelengkan kepalanya.     

"Maafkan Biung juga, ya, Ndhuk. Gara-gara Biung menempuh ilmu di Jakarta Biung jadi terlalu sibuk dengan tugas-tugas Biung, dan sampai Romo ndhak punya waktu mengunjungimu."     

Kulihat wajah Manis, kemudian aku tersenyum kepadanya. Inilah Manisku, jika dia ada masalah denganku, ndhak pernah sekalipun dia bercerita kepada semua orang. Kecuali jika orang itu tahu sendiri masalahnya. Dia lebih suka, berlagak seolah hubungan kami baik-baik saja. Seolah-olah kami ndhak ada masalah apa-apa, seberapa besar pun masalah yang kami hadapi. Terlebih, untuk masalah saat ini. Aku benar-benar takjub dengan Manis, dia mampu berbura-pura bahagia tatkala hatinya sangat terluka, dia mampu pura-pura ndhak terjadi apa-apa, padahal lukanya telah menganga. Dan semua itu adalah karenaku, aku yang telah menyakiti hatinya dengan sangat dalam, dan dalam lagi. Aku, adalah manusia yang sangat kejam.     

"Duh, ndhak apa-apa, Romo... Biung. Aku kan sudah besar, aku bukan anak kecil lagi. Terlebih, salahku sendirilah yang memilih bersekolah sangat jauh dari kalian. Padahal aku baru lulus kelas menengah pertama. Jadi, aku sama sekali ndhak pernah menyalahkan kalian untuk itu. Aku pun ingin belajar mandiri, Romo, Biung. Kalau kalian selalu datang untuk mengunjungiku, lantas kapan aku bisa belajar menjadi dewasa. Iya, toh?" katanya dengan sangat dewasa. Aku tersenyum mendengar penuturan putriku itu. Dia benar-benar luar biasa, di usianya yang masih belia dia benar-benar tampak dewasa sekarang. "Lagi pula, saat ini aku sudah libur akhir semester, aku rindu dengan kalian. Itu sebabnya, aku menghubungi Paklik Sobirin untuk menjemput dan mengantarku ke sini. Kalian tahu, Paklik benar-benar ndhak bisa memakai telepon!" dengusnya kemudian.     

Aku dan Manis saling pandang, kemudian kami tertawa bersama. Memangnya, apa yang Paklik Sobirin tahu dari teknologi yang semakin berkembang ini. Yang dia tahu hanya mengurusi kebun, bahkan tatkala aku ajak dia ke sini untuk pertama kali, ada telepon berbunyi, dia malah menjerit ketakutan setengah mati. Katanya, ada benda kotak yang terus berbunyi dengan sangat nyaring. Bahkan dia pikir, itu adalah meriam model terbaru buatan Belanda untuk menghancurkan nusantara. Dia benar-benar lucu sekali. Lucu sampai setiap kali aku mengingatnya selalu membuatku ingin tertawa.     

"Kata Eyang Kakung, tatkala telepon di sini berbunyi, dia mengangkat dengan posisi keliru. Jadi, apa yang kuucapkan benar-benar ndhak didengarnya sama sekali. Sementara dia bilang hallo, hallo, dengan sangat nyaring, Romo. Seperti aku ini tuli saja, dan bahkan aku mungkin benar-benar bisa tuli sungguhan. Romo... Biung, kepalaku benar-benar pusing memikirkan betapa uniknya Paklik Sobirin ini."     

Paklik Sobirin langsung menggaruk tengkuk sembari senyam-senyum ndhak jelas. Padahal, kami sedang meledeknya, tapi ekspresinya seolah-olah kami telah memujinya setinggi gunung himalaya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.