JURAGAN ARJUNA

BAB 203



BAB 203

0 "Manis!"     

Mataku terbelalak sempurna, napasku mendadak terasa sesak. Dada, dan tenggorakanku terasa seperti terbakar. Sementara perutku seperti diaduk-aduk seolah isinya ingin kembali keluar.     

Kepalaku benar-benar terasa sakit, pandanganku samar, dan semua rasa bercampur aduk pada tubuhku. Apakah aku akan mati? Apakah aku terkena teluh dari seseorang?     

Kulihat dari pandanganku yang mulai jelas, aku dikelilingi oleh keluargaku. Ada Romo, Biung, Manis, Paklik Sobirin, Paklik Junet, Suwoto, juga Ucup. Mereka memandangku dengan pandangan panik mereka, seolah-olah mereka bisa menebak jika rasa aneh di tubuhku ini akan aku alami.     

"Huek!"     

Aku segera bangkit dari tidur, kemudian memuntahkan semuanya yang ada. Ndhak hanya ember, bahkan Suwoto membawakan bak yang ukurannya cukup besar. Dan ndhak berhenti di situ saja, yang aku muntahkan bukan air atau makanan. Melainkan lumpur. Lumpur yang bahkan seolah-olah ndhak mau berhenti keluar dari mulutku, lumpur yang aromanya benar-benar sangat busuk. Gusti, aku ini kenapa? Kok bisa sampai aku mengeluarkan lumpur sebanyak ini? Aku merasa ndhak melalukan apa pun di lumpur, lebih-lebih bagaimana seorang manusia bisa hidup kalau dalam tubuhnya ada lumpur sebanyak ini.     

"Bagaimana sudah enakan?" tanya Biung, masih mengelus punggungku sembari menepuknya dengan pelan.     

Aku kembali dibaringkan oleh Romo, kemudian kupejamkan mataku erat-erat sebelum aku kembali membuka matanya lagi. Tubuhku, benar-benar terasa lemas. Meski panas yang kurasa sudah ndhak separah sebelumnya, tapi rasanya masih ada. Rasa itu tampak beum mau hilang sepenuhnya.     

"Apa yang terjadi kepadaku, Biung, Romo? Kenapa aku sampai bisa memuntahkan lumpur sebanyak itu? Ini adalah perkara yang mustahil," lirihku, yang nyaris suaraku ndhak terdengar oleh siapa pun yang ada di sana.     

Kemudian, alisku terangkat sebelah tatkala aku melihat ada sebuah gelang melingkar di tangan kiriku. Ini, gelang apa? Aku baru tahu ada gelang ini.     

"Ini adalah gelang milik Biung, pemberian dari Romo Adrianmu...," jelas Biung, setelah menangkapku tampak mengangkat tangan dan memerhatikan gelang itu. "Semalam Biung bermimpi, jika romomu datang menemui Biung, dan menyuruh Biung untuk memberikan gelang ini kepadamu."     

Mendengar itu, aku langsung menangis sesugukan. Entah kenapa air mataku benar-benar mudah sekali untuk keluar sekarang. Romo... andai aku bisa memeluk Romo. Aku ingin memeluk Romo sekali saja, ya sekali saja.     

"Aku juga mimpi yang sama, Biung. Romo mengajakku mandi di suatu tempat bersama dengan Eyang Marji. Kemudian Romo menyuruhku untuk meminta gelang ini."     

Biung agaknya kaget mendengar ucapanku, kemudian dia tersenyum, meski ujung matanya tampak mengeluarkan butiran kristal. Untuk kemudian, Romo Nathan menepuk bahuku, sampai aku menoleh ke arahnya.     

"Kamu tahu, sedari dulu gelang itu ndhak pernah lepas dari Kangmas Adrian. Pernah aku meminta, tapi ndhak dikasih olehnya. Karena orang sepertiku, ndhak akan membutuhkan benda semacam ini. Ini katanya dulu, sudah diisi oleh orang kepercayaannya, ndhak akan ada barang satu pun yang bisa menandingi kesaktiannya. Bahkan, Kangmas Adrian sampai puasa mutih, sampai melalukan ritual-ritual untuk menjadikannya sempurna. Kupikir, itu hanyalah guyonannya. Tapi setelah melihat kejadian Larasati, dan kejadianmu seperti ini, sepertinya hal itu benar adanya. Terlebih, Suwoto juga berpengaruh besar atas kemajuan baik yang kamu alami ini," jelas Romo Nathan yang tampak panjang lebar.     

"Percaya atau endhak, Arjuna. Gelang itulah, yang menyelamatkan Biung dari kiriman santet yang dikirim oleh Suwoto atas perintah dari Eyang Kakungmu, yaitu Juragan Besar Hendarmoko."     

Aku kembali termenung mendengar penuturan dari orangtuaku, kemudian aku memandang takjub dengan gelang yang telah kupakai itu. Sejenak aku tersenyum getir, rupanya aku benar-benar sedang sakit. Dan sakitku apa pun, aku benar-benar ndhak tahu.     

"Juragan, sebenarnya hari lahir Juragan adalah hari nas atau hari sial Juragan. Terlebih tatkala Juragan pada saat itu sedang kosong, sedang melamun, dan ndhak fokus. Maka, yang buruk akan dengan sangat muda untuk masuk mempengaruhi, dan mengendalikan Juragan Arjuna...," kata Suwoto kepadaku, aku masih diam, memerhatikan ucapannya yang kini terdengar sangat serius itu. "Benar, memang Juragan ada yang menjaga. Benar juga memang jika sosok yang lain dari Juragan Adrian selalu menemui Juragan. Tapi, tanpa Juragan memiliki beteng pada diri Juragan sendiri, semuanya tampak sangat sia-sia. Widuri itu telah memasukkan banyak pelet, dan guna-guna kepada Juragan Arjuna, salah satu guna-guna yang langsung masuk dan Juragan gampang dikirimi lagi, dan lagi adalah, tatkala Juragan tidur dengannya untuk pertama kali itu. Keperawanannya digunakan untuk menjadikan senjata pamungkas agar Juragan bisa tunduk di bawah kakinya. Setelahnya, dia menggunakan ritual pemikat, dengan mandi-mandi dan lain sebagainya. Itu juga alasan kenapa Juragan ndhak bisa jauh darinya untuk waktu yang lama. Karena sejatinya dia tahu, jika hati Juragan masih sering berontak dan sering membantah apa yang telah dia lakukan kepada Juragan. khasiat peletnya akan jadi berkurang kalau Juragan berpisah dengannya untuk waktu yang lama. Dan satu-satunya untuk menambah lagi dan lagi adalah, dengan Juragan tidur dengannya berkali-kali seperti itu," Suwoto tampak menghela napas panjang kemudian dia memandang lagi ke arahku. "Itulah sebabnya saya masih menunggu, sebab ndhak mungkin bisa Juragan saya terobos masuk di saat Juragan sudah kehilangan akal sehat Juragan. Jadi, agar membuat Juragan ndhak curiga, saya sengaja menjebak Juragan ke dalam kamar Juragan sendiri. Sebelumnya, saya meminta Sobirin untuk menambah kamar mandi yang ada di dalam, yang airnya adalah air yang saya ambil dari tiga sendang paling angker di salah satu tempat di Banyuwangi, Juragan. Dengan Juragan mandi, maka ndhak akan ada satu kekuatan gaib pun yang bisa menjaga eksistensinya. Mereka pasti akan luntur dengan sangat sempurna."     

"Jadi, apa itu artinya Arjuna sudah sembuh total?" tanya Biung penasaran, aku pun penasaran, tapi aku masih tetap diam.     

"Belum, Ndoro. Seharusnya juga, ini ndhak akan semudah sekarang. Kita semua harus berterimakasih dengan Juragan Adrian yang membantu dengan caranya sendiri untuk putranya. Setelah ini, Juragan Arjuna harus ritual mandi kembang, yang airnya adalah air yang sama dengan tadi tapi sudah ditambah dengan doa-doa. Untuk kemudian, Juragan Arjuna akan saya beri tanda di titik-titik tubuhnya yang rawan terkena gangguan dari luar. Juga, yang terberat adalah, Juragan hendaknya puasa mutih selama empat puluh hari berturut-turut. Puasa mutih ini ditujukan agar Juragan memiliki benteng dari serangan-serangan semacam itu lagi, terlebih untuk mensucikan dirinya dari hal-hal buruk. Apalagi saya juga sangat yakin, jika saat ini kenangan-kenangan cumbuan dari Juragan Arjuna dan Widuri benar-benar menganggu hati Ndoro Manis. Seendhaknya dengan puasa mutih itu, jiwa dan raga Juragan Arjuna bisa kembali suci kembali, Ndoro."     

Mendengar penuturan itu, mataku lantas mencari keberadaan Manis. Yang rupanya saat ini, dia telah berangsut mundur sembari memandangku sekilas. Untuk kemudian, dia memeluk dirinya sendiri, tanpa mengatakan sepatah kata pun.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.