JURAGAN ARJUNA

BAB 202



BAB 202

0"Memangnya siapa yang mau mengurusi urusanmu? Kamu mau apa juga aku ndhak peduli. Hanya saja, kamu terluka di depan mataku. Bagaimana bisa aku ndhak peduli? Sebagai seorang laki-laki, benar-benar ndhak patut untuk membiarkan begitu saja perempuan yang terluka seperti ini untuk menangani lukanya sendiri."     

"Lantas, seorang laki-laki sepertimu sangat lebih dari patut kelon (bercinta) dengan perempuan lain di saat dia masih memiliki istri sah? Apa menurutmu itu patut? Pikir, dari kedua luka ini yang mana yang paling sakit, hah?!"     

Aku langsung menggeleng kepalaku, kemudian berjalan ke arah ranjang. Percuma bicara dengan dia, ndhak akan pernah ada jalan keluarnya. Lebih baik aku tidur saja.     

"Lebih baik aku tidur, dari pada mengurusi perempuan ndhak waras sepertimu. Lagi, pula, ya... asal kamu tahu, Widuri adalah cintaku. Jika kamu terluka tatkala melihat kami melakukan itu, maka kamu ndhak perlu melapor kepadaku. Kamu tahu, Widuri itu benar-benar perempuan yang sangat spesial. Dia selalu bisa membangkitkan gairahku. Dadanya sangat besar dan padat. Terlebih miliknya sangat wangi, dan legit," Gusti, apa yang kukatakan ini? Kenapa aku bisa berkata seperti kepadanya?     

Mendengar itu, Manis ndhak menjawabi ucapanku lagi. Selain diam, kemudian aku langsung tidur. Tapi, mataku benar-benar ndhak bisa terpejam barang sesaat.     

Kudengar, Manis terisak. Entah kenapa dia menangis lagi sekarang. Aku benar-benar ndhak tahu.     

"Gusti, sejatinya kamu telah tahu kalau aku mencintainya sedari dulu. Mengalah, dan hanya diam, karena aku tahu kami ndhak sepadan. Melihatnya bercumbu dengan perempuan lain dulu mampu kutahan. Tapi, untuk sekarang, Gusti... untuk sekarang, aku benar-benar ndhak mampu untuk menerima semua ini. Jika benar dia engkau takdirkan untukku, maka bantulah aku untuk menyembuhkannya, Gusti. Namun jika dia engkau ndhak takdirkan untukku, maka... berpisah adalah keputusan yang tepat untuk mengakhiri semuanya. Sebab, Gusti, meski hatiku telah ia sakiti berkali-kali, cinta ini benar-benar masih saja mengharapkan dia untuk kembali."     

Rahangku mengeras mendengarkan doa-doa dari Manis itu. kemudian aku mencoba untuk memejamkan mataku, sembari ndhak peduli dengan dia dalam hal apa pun itu. Ya, benar-benar ndhak mau peduli.     

Dan tiba-tiba, belum juga aku benar-benar terlelap. Tampak ada sebuah cahaya sangat terang dari ujung pandanganku yang semuanya gelap itu. Lalu, aku seolah dibawa oleh suatu tempat, dan ternyata itu adalah kediamanku yang ada di Kemuning.     

Aku duduk di sana sendiri. Namun setelahnya, ada seluet yang tampak berdiri di depanku, tentu dengan abdinya yang setia itu. Yang tampak sedang menundukkan kepalanya dalam-dalam sembari mengikat tangannya di depan.     

"Romo Adrian?" ucapku, aku pun berdiri, kemudian mendekat ke arahnya. Mataku terasa panas, sebab romoku kembali mengunjungiku lagi.     

Tapi, ada yang beda dari romoku, benar-benar berbeda. Tatapannya itu ndhak semenenangkan biasanya, dan ndhak ada senyum pun yang tampak dari bibirnya. Romo tampak sedang marah, dan aku sendiri ndhak tahu, dia marah karena apa?     

"Romo—"     

"Ndhak pernah terbesit dalam hidupku untuk membuat perempuan yang kucintai menangis. Tapi nyatanya, keturunanku telah melakukannya dengan sangat nyata."     

"Maksud, Romo?" tanyaku bingung. Tapi, Romo kembali diam, kemudian rahangnya tampak mengeras.     

"Mandilah di telaga itu bersama abdiku, nanti kamu pasti akan tahu di mana letak kesalahanmu. Asal kamu tahu, Arjuna... kamu hidup untuk menggantikan Romo menjaga biungmu. Bukan hanya menjaga tubuhnya dari rasa sakit. Akan tetapi hatinya juga. Jadi, jangan pernah sakiti dia hanya karena keteledoranmu yang ndhak ada gunanya itu."     

"Baik, Romo."     

"Saat kamu bangun, mintalah gelang yang kuberikan kepada biungmu. Kemudian pakailah. Gelang itu akan menjagamu dari orang-orang yang hendak jahat. Dan kamu akan tahu, mana yang nyata dan palsu atas nama cintamu itu."     

Setelah mengatakan itu, Romo berjalan menjauh, menyiksakan abdinya yang masih diam di sini. Untuk kemudian, abdinya berjalan mendahuluiku, membuatku mau ndhak mau mengikutinya dengan patuh. Abdi itu bahkan ndhak bicara sepatah kata pun, dan itu cukup membuatku sedikit merinding. Apa aku ini sadar? Apa aku telah masuk ke alam lain? Atau apakah ini hanya mimpi semata? Aku benar-benar ndhak tahu, sebab yang kurasa ini benar-benar seperti nyata.     

Aku kembali termenung, tatkala melihat ada semak-semak cukup rimbun di belakang rumahku. Dan kemudian, ada sebuah danau kecil di sana. Bagaimana bisa ada danau? Sebab aku yakin, di belakang rumahku ndhak ada danau sama sekali melainkan kebun keluargaku.     

"Mbah," sapaku.     

Sosok abdi dari Romo itu memutar tubuhnya, kemudian wajahnya menghadap ke arahku. Dia sama seperti manusia pada umumnya, memakai surjan warna cokelat garis hitam seperti abdi pada umumnya. Kemudian, dia tampak tersenyum ke arahku. Apakah dia... Paklik Marji yang dimaksud oleh Paklik Sobirin? Yang katanya dulu dia beserta Eyang Buyutkulah yang mengasuhku tatkala aku bayi, untuk setelahnya dia meninggal saat aku masih sangat kecil. Jadi, aku ndhak bisa mengingatnya sama sekali. Bahkan aku ndhak pernah menemukan potretnya.     

"Eyang Marji?" tanyaku meralat ucapanku yang tadi. Senyum itu tampak tersungging, kemudian dia mengangguk pasti. Aku langsung tersenyum dibuatnya, Gusti, bahkan setelah keduanya ndhak ada tapi sosok yang lain masih bersama-sama di mana pun mereka berada. "Terimakasih telah menjaga romoku," kataku pada akhirnya. Dia kembali tersenyum.     

"Sebenarnya, sudah lama Juragan Adrian hendak menemuimu, Juragan Muda. Akan tetapi, beliau selalu ndhak bisa. Karena Juragan ndhak pernah sekalipun jauh dari perempuan itu. Dan malam ini adalah kesempatan yang baik, sebelum semuanya benar-benar berubah menjadi suatu hal yang ndhak baik. Mandilah, Juragan. Saya akan menunggu Juragan di sini. Jangan lupa, minumlah air yang ada di sumber itu."     

"Tapi, aku ndhak boleh makan dan minum dari siapa pun dari keluargaku, Eyang," kataku ragu-ragu. Eyang Marji kembali tersenyum, kemudian dia mengangguk lagi. Dia benar-benar sangat berwibawa sebagai seorang abdi dalem.     

"Sekarang terserah Juragan, tentunya Juragan tahu kita ini di mana. Kita ndhak sedang di alam manusia, dan ini juga perintah dari Romo Juragan Muda sendiri. Apa menurut Juragan, Juragan Adrian akan menyesatkan, dan menyakiti putranya sendiri? Darah dagingnya sendiri? Endhak, toh? Pasti yang diinginkan adalah kebaikan untuk Juragan Muda."     

Mendengar hal itu, aku pun mengangguk setuju. Masuk akal memang ucapan dari Eyang Marji ini. Romo Adrian adalah Romo kandungku, jadi ndhak mungkin dia akan melakukan sesuatu kepadaku.     

Aku lantas menuruti ucapan dari Eyang Marji, melepas pakaianku kemudian aku masuk ke dalam danau itu. Anehnya, air itu benar-benar hangat, padahal ini bukanlah kawasan dekat belerang atau mana pun. Dan semerbak wangi tercium dengan begitu nyata. Aku berjalan mendekat ke arah sumber mata air yang ditunjuk Eyang Marji, kemudian aku meminumnya. Aromanya yang wangi, serta rasanya yang nikmat, membuatku ingin meneguknya lagi-dan lagi. Namun setelah itu, dadaku terasa begitu sakit, tubuhku menggigil sangat hebat. Kupejamkan mataku erat-erat, aku bahkan melihat dari mataku yang terpejam, sosok perempuan tua dengan rambut yang sudah putih, awut-awutan, dengan wajah yang benar-benar tampak garang, keluar dari dalam tubuhku. Untuk kemudian, tubuhku tenggelam begitu saja ke dalam danau itu.     

Kedua kaki dan tanganku kaku, aku ndhak bisa bernapas di dalam air. Aku panik, mencoba meminta bantuan Eyang Marji tapi aku ndhak bisa melakukannya. Mataku terbelalak merasakan sakit yang luar biasa, untuk kemudian....     

"Manis!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.