JURAGAN ARJUNA

BAB 201



BAB 201

0Setelah selesai mandi, kubuka pintu kamar mandi dengan sangat pelan. Sebab, aku ndhak mau kalau Manis sampai tahu kalau aku sudah selesai mandi. Tapi, apa yang kulihat benar-benar di luar dugaan. Aku melihat, Manis ndhak pakai apa-apa, tampak sibuk memilah-milah pakaian yang hendak ia kenakan. Dia... benar-benar ndhak pakai apa pun. Tubuhnya yang dulu berisi kini tampak benar-benar kurus. Hanya tampak dada dan bokongnya saja yang masih besar seperti sedia kalah. Hatiku benar-benar terenyuh karena hal itu, terlebih itu karenaku. Dan kenapa aku ingin sekali memeluknya? Gusti, ada apa toh dengan aku ini? Aku hanya mencintai Widuri saat ini, dan Manis hanyalah bagian dari masa laluku yang hendak kuusir pergi.     

Aku melangkah keluar kamar mandi, Manis agaknya terkejut luar biasa. Setengah melompat dia pun menjerit histeris.     

"K... Kangmas!" teriaknya.     

"Eh, tenang... tenang!"     

Brak!     

"Manis!"     

Aku kaget, saat Manis mundur ke belakang hendak menutupi tubuh polosnya itu, tapi yang ada, dia malah menabrak lemari kaca, membuat lemari itu pecah karena tertabrak tubuhnya dengan keras. Dan kemudian, tubuh Manis terjatuh begitu saja di lantai.     

Aku langsung berlari menuju ke arah Manis, dia tampak meringis kesakitan. Dapat kulihat dengan jelas banyak serpihan kaca yang ada di sekitar sana. Kemudian kulihat ada darah merembes dari bagian tubuhnya entah yang mana.     

"Kamu terluka?" tanyaku khawatir. Hendak menarik tubuhnya untuk kugendong keluar dari sana. Tapi, belum sempat aku menyentuh tubuhnya tangannya menepisku dengan kasar. Matanya yang nanar memandangku dengan penuh kebencian. Hingga akhirnya, matanya itu meneteskan butiran bening sampai ke pipi. Apa dia kesakitan?     

"Bisakah aku untuk egois kali ini saja, Kangmas? Sebab aku benar-benar ndhak sudi disentuh olehmu," air matanya kembali menetes dengan derasnya.     

"Tapi, kamu terluka, Manis. Aku hanya hendak membantumu untuk berdiri."     

"Kenapa kamu peduli dengan lukaku yang ndhak seberapa ini, Kangmas?" tanyanya. Aku diam ndhak bisa menjawabnya. Iya, benar. Kenapa aku peduli? Bukankah seharusnya aku mengabaikannya saja? "Apa karena luka ini tampak, itu sebabnya kamu khawatir, Kangmas?"     

Aku kembali terkejut, saat Manis berdiri. Bahkan dia seolah sengaja, melukai dirinya sendiri dengan serpihan-serpihan kaca itu.     

"Bahkan, luka yang kamu beri kepadaku jauh ribuan kali lipat lebih sakit dari luka-luka ini!" katanya. Kulihat kedua telapak kakinya sudah berdarah-darah, dan itu benar-benar membuat napasku terasa sangat sesak.     

"Manis—"     

"Sudah kubilang jangan sentuh aku!" teriaknya kemudian, air matanya bahkan semakin deras mengalir di kedua pipi. "Aku jijik disentuh olehmu! Aku jijik disentuh oleh laki-laki yang bahkan pernah menjamah dan mengangkangi perempuan lain! Aku benar-benar jijik sama kamu, Arjuna!"     

Manis menangis meraung-raung, kini sambil memeluk dirinya sendiri. Melihat hal itu aku hanya bisa diam, sambil menyentuh pipi dan mataku. Kenapa aku... menangis?     

Aku bahkan rasanya ndhak tahu apa yang terjadi kepadaku. Hatiku sakit tatkala melihat Manis seperti ini. Mataku pun ikut menangis karenanya. Gusti, aku benar-benar ndhak tahu apa yang terjadi sekarang.     

"Aku tahu ini bukan inginmu, aku pula tahu jika kamu sedang ndhak sadar karena telah melakukan itu. Tapi tetap saja, tubuhmu itu telak dijamah oleh perempuan lain. Kamu menaburkan benih calon keturunanmu kepada perempuan lain. Dan hatimu, kini telah diisi oleh perempuan lain. Aku benar-benar ndhak menyangka jika hari ini akan terjadi. Aku benar-benar ndhak menyangka, jika sabarku hanya sebatas ini. Aku benar-benar ndhak menyangka," Manis tampak mengusap pipinya dengan kasar, kemudian dia berjalan ke arahku dengan tatapan kebenciannya itu. "Sebenarnya malam ini, Romo dan Biung menyuruhku untuk melayanimu di atas ranjang. Ya... di atas ranjang itu!" katanya, sembari menunjuk ranjangnya. "Di atas ranjang yang dulu mungkin aku akan tersenyum sendiri tatkala melihatnya. Namun sekarang, jangankan melihatnya. Bahkan rasanya aku ingin membakar ranjang itu sekarang juga! Dan kamu tahu, aku ndhak akan mau... untuk kali ini aku ndhak mau melakukan apa pun yang disuruh oleh Romo, dan Biung. Aku ndhak mau! Aku ini perempuan, Arjuna... aku perempuan yang memiliki harga diri. Terlepas kamu dalam pengaruh guna-guna atau pelet pun hatiku pasti akan hancur! Melihatmu tidur dengan perempuan itu tadi siang, benar-benar mengoyak hatiku, merendahkanku. Terlebih tatkala perempuan itu mendesah kenikmatan dan terus memanggil namaku. Seperti... seperti... pakaianku dilucuti dengan cara yang sangat menjijikkan! Rasanya aku ingin menyerah, aku sudah ndhak mau melanjutkan pernikahan ini denganmu! Biarkan kamu bersamanya aku ndhak peduli! Tapi... tapi...," kata Manis kini kembali terhenti karena isakannya. "Tapi, kamu adalah suamiku. Sisi hatiku yang lain ingin menyelamatkan rumah tangga ini. Tapi, melihat cintamu yang hanya sedangkal ini benar-benar membuatku hancur. Bagaimana bisa, seorang yang selalu membanggakan cintanya sampai bisa jatuh di tangan perempuan lain dengan cara kotor. Bagaimana bisa? Sedangkal itu cintamu untukku, Arjuna? Sampai hatimu dengan sangat mudah goyah hanya karena tipual lelembut semata? Dan kamu bisa menghianatiku dengan cara yang benar-benar merusak jiwa dan raga. Aku... hancur, Arjuna. Aku benar-benar hancur karena ulahmu ini. Dan aku ndhak tahu, apakah aku bisa memaafkanmu atau endhak. Apakah aku bisa disentuh olehmu atau endhak. Sebab kurasa, setiap sentuhan yang kamu berikan, selalu saja mengingatkanku pada kejadian tadi siang. Kejadian saat kamu bersama dengan perempuanmu itu di atas ranjang seharian. Dan setiap detil ekspresi kenikmatan dan bahagiamu, apa yang kamu lakukan dengannya, terekam sangat jelas di memori otakku. Dan hal itu, ndhak akan pernah hilang sampai aku mati."     

Aku hanya menunduk, ndhak bisa mengatakan apa-apa lagi kecuali mengusap wajahku dengan kasar. Entah kenapa, mendengar ucapan dari Manis benar-benar membuatku merasa malu. Dan aku sendiri ndhak tahu, malu karena hal apa itu?     

"Tidurlah, aku juga sudah sangat lelah."     

Manis kemudian berjalan ke arah kursi, kemudian melihat luka-lukanya. Lagi, dia menangis. Sambil mencabuti serpihan kaca yang beberapa menancap ke bagian-bagian tubuhnya.     

Aku pun mendekat, memberanikan diri untuk ndhak peduli dengan sikap dinginnya. Kutarik telapak tangannya hendak kubantu mengobati lukanya, tapi dia langsung menarik tangannya dengan kasar.     

"Sudah kubilang jangan sentuh aku!" bentaknya. Dan aku bisa melihat dengan sangat nyata, di dalam matanya itu benar-benar sudah ndhak ada cinta untukku. Yang ada hanya amarah kebencian yang tampak berkobar dengan membara. Gusti, kenapa rasanya hatiku sakit sekali melihat tatapannya yang seperti itu kepadaku? Kenapa, Gusti?     

"Lukamu bisa infeksi, dan kamu ndhak akan bisa mengobati luka-lukamu itu sendiri. Ayo kita ke rumah sakit!" ajakku lagi. Seendhaknya, jika dia ndhak mau kuobati, dia bisa diobati oleh perawat atau dokter di sana.     

"Kenapa kamu peduli? Hatiku yang telah kamu buat mati saja kamu ndhak peduli, apalagi luka seperti ini. Aku mati pun, kamu juga ndhak akan peduli, toh! Sudah tidur saja kamu, ndhak usah urusi urusanku!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.