JURAGAN ARJUNA

BAB 200



BAB 200

0"Apa yang kamu rencanakan? Katakan kepadaku atau aku ndhak akan mempercayaimu seperti aku ndhak bisa mempercayai semua orang yang ada di sini...," tegurku kepada Suwoto. Suwoto lantas berhenti melangkah, kemudian dia memandangku dengan sangat sopan. "Kamu tahu, toh, kamu itu abdiku. Abdi pribadiku. Dan kamu bukan abdi dari orangtuaku, apalagi abdi dari perempuan lemah itu," lanjutku.     

Aku yakin jika Suwoto tahu, siapa perempuan lemah yang kumaksud. Ya, siapa lagi kalau bukan Manis.     

Suwoto kembali menundukkan wajahnya, tampak rahangnya mengeras karena ucapanku. Tapi untuk kemudian, dia tersenyum ke arahku dengan begitu tenang.     

"Juragan, benar jika saya adalah abdi pribadi Juragan. Sebab saya, akan mengabdikan diri sepenuh hati kepada trah pertama keturunan Hendarmoko dan itu adalah Juragan Arjuna. Namun demikian, saya juga bisa menilai, saya juga tahu apa yang harus saya lakukan, Juragan. Sebab, saya ndhak bodoh. Juragan bukankah tahu apa arti dari abdi itu sendiri, toh?" tanyanya, aku diam, benar-benar ndhak paham dengan ucapannya yang berbelit-belit itu. "Seorang abdi itu, ndhak hanya mengabdikan jiwa, raga, dan hidupnya kepada seorang Juragan. Bukan pula hanya mengikuti ke mana pun, serta perintah apa pun dari seorang Juragan. Tapi kendatinya, tugas sejati dari seorang abdi adalah, untuk memastikan keselamatan seorang Juragan, dan berdiri di samping seorang Juragan guna untuk membuat Juragannya sukses. Sukses dalam hal apa pun."     

"Aku benar-benar ndhak paham dengan apa yang hendak kamu sampaikan. Sebab pertanyaanku adalah sangat sederhana. Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu membawaku ke arah kamar Manis? Apa benar ada Ucup di sana? Atau malah kamu mau menjebakku agar aku berada dalam satu kamar dengan Manis malam ini?"     

Dan pertanyaanku itu pun tanpa jawab, meski untuk kemudian, ada Ucup, dan Paklik Sobirin, yang benar-benar keluar dari kamar Manis.     

Aku benar-benar ndhak paham, bagaimana bisa kedua orang itu berada di kamar Manis? Bukankah Manis adalah seorang Ndoro? Pantang bagi seorang abdi masuk ke kamar pribadi seorang Juragan, dan Ndoronya. Terlebih mungkin sekarang Manis sedang sendirian di sana.     

"Juragan cepatlah! Ada banyak berkas yang harus Juragan pelajari ini!" kata Ucup setengah berteriak.     

Aku langsung mengabaikan kecurigaanku, langkahku kupercepat membuat Suwoto tersenyum aneh ke arahku.     

Setelah aku berada tepat di depan pintu, Ucup pun menunjukkan setumpuk kertas di atas meja yang berada di dalam kamar Manis. Untuk kemudian, dia menggaruk tengkuknya sembari tersenyum lebar.     

"Apa-apaan itu? kenapa banyak sekali kertas di sana? Apa itu adalah rancangan dari pabrik yang hendak di bangun?" tanyaku.     

Suwoto, Ucup, dan Paklik Sobirin ndhak menjawab. Membuatku kebingungan. Tapi bisa kulihat dari ekor mataku, Ucup seolah memberi isyarat kepada Suwoto dan Paklik Sobirin. Kemudian...     

Bruk!!!     

Aku didorong paksa masuk ke dalam kamar Manis dengan paksa, untuk kemudian kamar itu dikunci rapat-rapat dari dalam. Sialan memang mereka! Kenapa bisa aku diperdaya seperti ini oleh mereka bertiga!     

"Juragan Arjuna tahu, tugas terpenting dari seorang abdi adalah untuk memastikan keselamatan seorang Juragan. Dan hal inilah yang sedang kami lakukan untuk kebaikan Juragan. Juragan ndhak usah panik, semua jendela dan celah-celah yang ada di kamar Juragan sudah kami tutup rapat-rapat sehingga Juragan ndhak punya celah untuk keluar. Jadi, nikmatilah malam Juragan bersama dengan Ndoro Manis! Asal Juragan tahu, Ndoro Manis adalah satu-satunya perempuan yang pantas untuk Juragan, ndhak ada yang lainnya lagi! Dan kami hanya ingin menyebut Ndoro kepada seorang perempuan, yaitu Ndoro Manis. Bukan perempuan mana pun lagi!" teriak Suwoto dari luar.     

Sialan, sialan, sialan! Bagaimana bisa mereka memperdayaiku dengan seperti ini?! Bagaimana bisa mereka menjadi sebrengsek dan se ndhak tahu diri ini? Sialan!     

"Dasar para abdi ndhak tahu diri! Buka pintunya!" teriakku, menggedor-gedor pintu kamar Manis dengan sangat kencang.     

"Maaf, Juragan, untuk sekarang kami ndhak bisa! Nikmati dulu malam ini dengan istri sahmu! Jika burung Juragan terlalu gatal untuk ingin dipuaskan, bukankah istrimumu lebih berhak memuaskanmu? Dari pada orang lain yang bahkan bukan siapa-siapamu!" teriak Paklik Sobirin.     

Kurang ajar benar dia, bagaimana bisa dia mengatakan hal selancang itu kepadaku, seorang Juragan. Perkataan yang benar-benar nhak pantas untuk diucapkan oleh seorang abdi dalem sepertinya.     

"Juragan, Juragan bisa mandi dan tidur. Itu sudah cukup. Selama ini yang dilakukan Manis hanyalah menangis karena memikirkanmu. Tidak bisakah kamu membuat hatinya tenang meski dalam waktu satu malam saja?"     

Aku langsung diam, mendengar ucapan Ucup itu. Rahangku kembali mengeras. Aku sama sekali ndhak ingin di sini, aku ingin bersama dengan Widuri. Terlebih, dia sudah berjanji kepadaku untuk mengabiskan malam kami yang panas berdua. Aku ingin bibir Widuri, aku ingin dada Widuri, aku ingin Widuri yang memuaskanku, dan aku ingin Widuri yang memberikan kenikmatan untukku. Bukan perempuan mana pun di dunia ini, apalagi Manis.     

"Ohya Juragan, kami lupa bilang. Kalau selama semalam, kami akan berdiri di sini. Dan di belanag sudah ada para abdi lainnya untuk berjaga-jaga," jelas Suwoto.     

Sepertinya, mereka telah menyusun rencana ini dengan sangat matang. Tampak jelas dengan bagaimana mereka bisa untuk mengelilingi kamar ini dengan para abdi dalem.     

Aku lantas membalikkan badanku, kutangkap sosok Manis yang sudah berdiri di sisi ranjang. Kuputar bola mataku, aku pun memilih untuk duduk di kursi kemudian membaca-baca dengan ndhak minat isi dari tumpukan kertas yang ada di meja depanku.     

"Kangmas...," kata Manis, suaranya terdengar parau, kulirik sekilas wajahnya, benar-benar tampak kurus dan ndhak terurus, dengan mata yang benar-benar sembab. Aku menghela napas, kemudian memiringkan wajahku, mengabaikannya. "Kangmas mandilah, dan tidur. Pasti Kangmas sangat lelah karena banyak hal tadi," Manis kemudian berjalan ke arah lemari, mengambilkkan handukku untuk kemudian diletakkan di atas meja. Dia tampak tersenyum getir.     

"Di kamar sudah ada kamar mandi. Jadi, Kangmas bisa mandi di sini. Mandila...," katanya lagi. Melihat aku yang ndhak bergerak dari tempatku dia pun tersenyum kecut. "Tenang, Kangmas, aku ndhak akan memberimu apa-apa. Air mandinya pun ndhak kuberikan bunga tujuh rupa, ndhak akan ada bau kemenyan juga dupa. Jadi, mandilah, dan tidur. Aku juga ndhak akan menganggumu malam ini. Sebab benar perkataanmu, aku memang perempuan yang ndhak menarik, dan ndhak mampu menyenangkanmu."     

Entah kenapa, mendengar sindiran dari Manis benar-benar membuat hatiku aneh. Kulihat Manis kembali duduk, kemudian dia merajut. Aku pun memutuskan untuk berdiai, kemudian mandi. Benar memang jika tubuhku sudah benar-benar ndhak enak. Sebab, setelah kejadian aku bercumbu dengan Widuri di rumahnya, sampai detik ini aku pun belum mandi.     

Kuambil handuk yang ada di atas meja, kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Ini adalah kamar mandi baru, dan benar-benar sangat bersih. Ndhak ada barang-barang aneh memang di sini. Toh, kata Widuri pun, yang ndhak boleh aku lakukan hanya makan, dan minum, kan? Kemudian, aku tutup pintu dari dalam kemudian aku memutuskan untuk mandi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.