JURAGAN ARJUNA

BAB 239



BAB 239

0"Saat kamu sedang koma beberapa waktu lalu, aku benar-benar merasa ditampar. Manis, dari pagi sampai ketemu pagi bahkan tidak mau pulang. Dia terus ada di sisimu, tidak mau makan dan tidak mau melakukan apa pun. Bahkan yang dia lakukan hanyalah berdoa, dan menangis. Memohon kepada Tuhan untuk keselamatanmu, dan hidupmu. Juga untuk kebahagiaanmu. Dia benar-benar seolah sudah lupa apa yang telah kita lakukan dulu, dia benar-benar sudah tidak peduli jika aku, madunya tinggal bersama dengan kalian. Bahkan di tengah-tengah kebingungannya dia masih memikirkanku, dia masih selalu memberiku makan tepat waktu juga dia memikirkan kesehatan anakku. Dan dia... menerimaku. Dia... Manis, istrimu itu, di saat semua orang yang ada di rumah enggan mengajakku ke rumah sakit padahal aku benar-benar khawatir denganmu, dia malah orang pertama yang mengajakku. Karena dia berpikir, barangkali jika aku ingin melihatmu, barangkali ada hal yang ingin kusampaikan denganmu. Di saat aku begitu buruk terhadapnya, tapi kenapa, dia begitu baik kepadaku, Arjuna. Hingga akhirnya aku sadar, saat di toko baju tadi pagi, saat kamu memilihkan gaun untuknya, kalian berdua adalah potret suami istri yang utuh dan bahagia, yang seharusnya tanpa aku. Tapi Manis, dengan besar hati dan lapang dadanya, selalu melibatkanku, dalam kebahagiaan kalian. Dia selalu mendapatkankan hal-hal secara adil darimu untukku jutga. Dan hal itulah yang benar-benar membuatku terharu. Jadi, aku ingat ucapanmu tadi pagi,"     

"Ucapan apa?"     

"Saat aku mengajak kalian makam malam romantis bertiga. Benar katamu, jika tidak akan pernah ada yang namanya makam malam romantis bertiga. Adanya hanya, makam malam romantis itu berdua. Dan yang satunya seharusnya tidak ada. Arjuna, maafkan aku, karena selama ini telah menyakitimu, menyusahkanmu, dan nyaris menghancurkanmu dengan perempuan yang begitu kamu cintai. Sampaikan maafku ini juga kepada Manis. Aku tahu jika dia benar-benar terpukul dengan kejadian ini. Tapi percayalah, hal ini adalah yang terbaik untuk kita semua. Aku tidak bisa melihatmu bersama yang lain jika aku masih hidup, kan? Jadi, biarkan aku mencintaimu dengan caraku sendiri, Arjuna. Biarkan—"     

"Jadi, maksudmu apa? Apa yang ingin kamu katakan kepadaku Widuri? Apakah kecelakaan itu, apakah kepergianmu ini, adalah keputusanmu dengan cara sadar? Apakah berarti, ini bukanlah sebuah kecalakaan? Tapi kamu sengaja mengakhiri hidupmu hanya untuk melihatku bahagia bersama dengan Manis? Iya? Coba katakan kepadaku, Widuri, katakan!"     

Widuri kembali menunduk, kemudian dia tersenyum simpul. Andai, dia bukan setan, pasti sudah kutampar agar seendhaknya dia itu sadar, jika apa yang dilakukan adalah keliru. Sebab apa yang dia pikir, dengan mati bisa untuk menyelesaikan semua hal, itu adalah salah besar. Jadi, tatkala aku menerikinya untuk segera pergi itu artinya dia sengaja untuk singgah? Untuk diam saja dan pasrah karena dia ingin mati saat itu juga? Bodoh!     

"Aku tidak punya cara lain, Arjuna. Memang cara apa yang baik untuk membuat semuanya baik? Untuk mengembalikan semuanya seperti pada posisinya sedia kala? Tidak ada. Sebab tidak ada yang pasti di dunia ini. Tuhan adalah satu-satunya yang paling benar. Dan itu bukan kita. Mungkin saat ini aku bisa menerimamu bahagia dengan Manis, dan aku cukup menjadi aku, yang kamu anggap ada, yang kalian rangkul untuk merasakan manisnya cinta kalian. Akan tetapi, kamu juga harus tahu, Arjuna. Aku ini perempuan, terlebih, aku adalah perempuan yang sangat mecintaimu. Apa kamu pikir aku benar-benar bahagia dan bisa selalu tersenyum melihat kamu setiap hari mengumbar kemesraan dengan Manis? Apa kamu pikir aku baik-baik saja? Aku mengandung anakmu, dan dulu meski caraku buruk aku juga selalu melayanimu di atas ranjang. Dan sekarang, jangankan melayani, bahkan untuk sekadar kamu genggam tanganku pun kamu tidak sudi. Apa kamu tahu rasanya jadi aku beberapa bulan ini? Aku kesepian, Arjuna. Di saat aku hamil, di saat aku butuh perhatian lebih, di saat aku butuh sosok lelaki yang selalu ada di sisiku untuk menyayangi dan memanjakanku. Tapi, itu semua tidak ada. Aku menjalani masa hamilku yang sulit sendiri, aku bahkan memenuhi hasrat birahiku sendiri. Aku sendirian, aku kesepian, dan kamu tidak ada di sampingku. Arjuna, aku bukanlah orang baik seperti Manis. Kamu keliru. Aku bukan benar-benar baik-baik saja secara utuh. Aku sakit, aku cemburu, aku hancur dengan apa yang kamu dan Manis lakukan di depanku. Tapi, aku berusaha untuk sadar diri, aku berusaha untuk memposisikan diriku sebagai orang yang salah di sini. Tapi aku takut, aku takut kalau anak yang ada di kandunganku lahir, aku menjadi kembali tamak, aku kembali menginginkan lebih atas dirimu, aku kembali meronta meminta hakku sebagai perempuan yang telah melahirkan anakmu. Aku benar-benar tidak mau itu terjadi. Jadi... jadi, dari pada aku terus sakit, dari pada aku terus hancur, dan tersiksa, bukankah lebih baik aku pergi untuk selama-lamanya. Sebab aku tahu kamu, aku tahu meski aku menangis, dan memohon, meski aku berdarah-darah, kamu tidak akan pernah menjadikanku sebagai istri keduamu. Iya, kan? Karena cintamu hanya untuk Manis, karena kamu tidak mengkhianatinya lagi dalam bentuk apa pun."     

Aku diam, ndhak bisa berkata apa-apa lagi, perkara aku telah menerimanya tinggal di rumah, ndhaklah dia perlu tahu. Jika dia tahu, dia akan menangis meratapi nasibnya dan akan menjadi setan penasaran sampai nanti. Lebih baik aku diam, membiarkan dirinya dengan pikirannya sendiri itu. Toh apa yang dia katakan sejatinya adalah benar, sampai bumi runtuh, bahkan dengan semua rasa kasihanku kepadanya, aku benar-benar ndhak akan mungkin menikahinya.     

"Arjuna, aku bisa minta tolong kepadamu? Sebelum aku dikuburkan, mintakan sama Nenek, untuk melepas pengasihan yang ia tanam di tubuhku. Agar aku bisa pergi dengan tenang. Setelah itu, kuburkan aku dengan layak. Terimakasih, Arjuna. Terimakasih untuk semuanya, terimakasih karena telah pernah mencintaiku meski itu semu. Terimakasih telah sempat memberikan benihmu kepadaku, meski sekarang aku ajak pergi. Terimakasih,"     

Setelah mengatakan itu, sosok yang ada di sampingku tibat-tiba lenyap begitu saja. Membuat jantungku bagaikan ditarik dari dadaku. Air mataku kembali menetes, dan entah kenapa itu bisa terjadi. Rasanya, aku benar-benar telah melakukan dosa yang sangat besar. Apakah aku merasa bersalah kepada Widuri?     

"Arjuna...."     

Aku menoleh, kulihat sosok Romo Adrian sudah berdiri di depanku. Dengan tangis terpecah aku langsung berdiri kemudian memeluk erat tubuh Romo Adrian. Aku benar-benar ndhak tahu apa yang ada di dalam hatiku sekarang. Kenapa semuanya menjadi meluap-luap dan ndhak karuan. Semuanya seperti bercampur aduk di dalam dadaku.     

"Romo... aku ini kenapa, Romo? Aku ini kenapa?" lirihku, yang masih memeluk Romo Adrian erat-erat.     

Pyar!!     

Aku langsung kaget, tatkala mendengar seperti sebuah benda jatuh dengan sangat nyaring. Dan saat aku tahu jika Biung sudah berdiri di ujung lorong, aku kembali kaget. Biung tampak mematung, matanya tampak nanar, memandangku? Bukan... Biung bukan memandangku.     

"K... Kangmas?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.